Pemerasan di Balik Biaya Balik Nama
Beberapa bulan lalu, tepatnya Rabu 12 Desember 2007, sekira pukul 21.00 WIB, salah satu rumah makan yang menyajikan menu burung goreng di Jalan Medan, Km 10, Kampung Beringin, Kecamatan Tapian Dolok, Kabupaten Simalungun menjadi saksi bisu atas penangkapan dua orang oknum pelaku pemerasan. Keduanya adalah Yudi Irwanda, Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Pematangsiantar bersama rekannya Zulkarnain Saragih, Pejabat Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di daerah Simalungun. Kejadiaan memalukan ini membuat warga kota ini heboh. Selidik punya selidik, kasus yang menimpa kedua oknum itu ternyata bertujuan untuk meraup keuntungan materi bermoduskan kepengurusan sertifikat tanah. Tertangkapnya oknum PNS dan Notaris ini pun akhirnya menimbulkan asumsi, kalau kantor BPN disinyalir sebagai sarang korupsi, kolusi dan nepotisme alias KKN.
Belakangan, kedua oknum tak bertanggungjawab itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mereka menjadi terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Simalungun atas tuduhan melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan dengan maksud menguntungkan diri sendiri ataupun orang lain. Keduanya menyalahgunakan kekuasaan, memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran untuk mengerjakan sesuatu bagi diri mereka.
Awal Peristiwa
Awal kasus ini bermula pada 5 Nopember 2007 lalu. Saksi, Yoko Vera Mokoagow SH mengunjungi saksi Darianus Lungguk (DL) Sitorus di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Subang. Setiba di sana, dalam perbincangan mereka, DL Sitorus menyampaikan keinginanya untuk membeli sebidang tanah yang ada di Kota Pematangsiantar. Sang pengusaha sawit itu kemudian memperlihatkan lima berkas fotocopy-an sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) No 315/Tambun Nabolon seluas 1.367 M2. Kemudian berkas HGB No 316/Tambun Nabolon dengan luas lahan 5.678 M2. Lalu, HGB No 317/Tambun Nabolon seluas 2.584 M2, berkas surat berstatus HGB No 318/Tambun Nabolon seluas 41.421 M2 serta Sertifikat Hak Milik No 285/Tambun Nabolon seluas 21.615 M2.
Permintaan DL Sitorus pun diamini oleh saksi Yoko Vera Makoagow SH. Dia lalu menyuruh salah seorang stafnya, Yulia Rossi membuat lima lembar surat kuasa dari saksi DL Sitorus. Tujuannya untuk dan atas nama pemberi kuasa, dirinya berhak menandatangani akte jual-beli di hadapan Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) untuk pembelian kelima bidang tanah tersebut.
Setelah itu, Yoko Vera menyuruh stafnya Yulia Rossi untuk menghubungi seseorang bernama Zulkarnaen Saragih SH yang dikenal sebagai Notaris dan PPAT melalui telepon. Maksudnya guna mempertanyakan apakah Zulkarnaen Saragih mampu menguruskan akte jual-beli dan memberitahukan apa saja syarat yang harus dilengkapi. Lalu, Zulkarnaen menjawab, dirinya mampu memenuhi permintaan saksi, sekaligus menyampaikan syarat yang perlu dilengkapi berupa surat-surat yang berhubungan dengan pengurusan akte jual beli tadi.
Setelah mendapat petunjuk dari Zulkarnaen, surat-surat yang berhubungan dengan pengurusan akte jual-beli segera dilengkapi oleh saksi, Yulia Rossi. Wanita ini kembali menghubungi Zulkarnaen Saragih melalui telepon sembari menyampaikan pesan bahwa, Yoko Vera akan datang menemuinya ke Kota Pematangsiantar pada 12 Nopember 2007 lalu. Disebutkan, kedatangan Yoko diserta rombongan, masing-masing Isden Burhanuddin Siregar, Isban Burhanuddin Siregar, Ismer Siregar, Dahniar dan Sonya Perwira Kurniawan Iskandar Muda.
Mereka pun tiba di kantor Zulkarnaen Saragih SH. Saksi Yoko Vera Mokoagow bersama rombongannya lalu menyerahkan berkas-berkas yang dimintakan Zulkanaen. Saat itu juga, Yoko Vera melakukan pembayaran biaya akte jual-beli, balik nama. Selain itu, biaya engembalian batas-batas di lima bidang tanah masing-masing pada empat bidang tanah milik Siregar dan satu bidang tanah lagi atas nama Dirhamsyah sebesar Rp20 juta, turut dibayarkan. Untuk biaya pemecahan sertifikat HGB No 318 yang terletak di Tambun Nabolon atas nama Siregar dan kawan-kawannya dibayar sebesar Rp4 juta. Lalu, biaya perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas nama DL Sitorus untuk pembelian tanah milik Dirhamsyah sebesar Rp23, 6 juta, biaya PPh atas nama Dirhamsyah sebesar Rp24, 6 juta dan biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) milik Siregar dkk juga sebesar Rp61,9 juta. Jumlah keseluruhan yang telah dibayarkan saksi Yoko Vera Mokoagow saat itu mencapai Rp134,1 juta. Pembayaran itu dilengkapi dengan kuitansi pembayaran.
Setelah melakukan transaksi, Yoko Vera kemudian pulang ke Jakarta sembari menunggu perkembangan proses balik nama kelima sertifikat itu dari Zulkarnaen Saragih. Pada 20 Nopember 2007, Zulkarnaen segera menghubungi saksi Yoko Vera melalui telepon selularnya. Saat itu dia mengatakan, biaya balik nama untuk ke lima sertifikat ini berubah menjadi Rp100 juta. “Kok mahal sekali, mana mungkin pihak pembeli nanti setuju. Biaya yang akan mereka bayarkan sampai dua kali,” kata Yoko terheran menjawab telepon dari Zulkarnaen.
“Kata orang BPN, kalau tidak segitu uangnya nanti tidak diproses,”jawab Zulkarnaen menimpali ucapan Yoko.
“Apa nggak bisa kurang lagi,” pinta Yoko.
“Kata orang BPN memang harus segitu, kalau tidak, nggak bisa diproses. Begitu pun, nanti biar kucoba hubungi lagi orang BPN itu mana tahu masih bisa kurang,” ucap Zulkarnaen.
Merasa terlalu mahal, Yoko mencoba memberi tawaran dalam perbincangan lewat telepon itu. Permintaannya, biaya itu dikurangi menjadi Rp50 juta dan itu pun harus didiskusikan terlebih dulu dengan DL Sitorus. Berselang beberapa hari, tepatnya akhir Nopember 2007, Zulkarnaen kembali menghubungi Yulia Rossi dan memberitahukan nilai tawaran dari oknum BPN untuk biaya balik nama kelima sertifikat itu turun menjadi Rp75 juta. Yulia Rossi pun menjawab hal itu akan diberitahukan kepada Yoko Vera. “Ialah pak nanti saya beritahukan kepada ibu,” sebut Yulia Rossi.
Keesokan harinya, Yulia Rossi langsung memberitahukan tawaran Rp75 juta yang diajukan pihak BPN itu kepada Yoko sesuai perbincangannya melalui telepon dengan Zulkarnaen. Anehnya, tak berapa lama, pada awal bulan Desember 2007, Zulkarnaen kembali menghubungi Yulia Rossi dan mengatakan, sesuai informasi dari pihak BPN, biaya balik nama kelima sertifikat itu kini hanya sebesar Rp60 juta. Yulia Rossi juga memberitahukan hal tersebut kepada Yoko. Lalu Yoko memberitahukannya kepada DL Sitorus.
Sabtu 08 Desember 2007 sekira pukul16.00, ditemani saksi Hendrik.R.E ASSA dan saksi Saimin, mereka menemui DL Sitorus di Lembaga Pemasyarakatan Subang, Jawa Barat. Dalam pertemuan itu, Yoko memberitahukan biaya yang diminta oknum pegawai BPN yakni sebesar Rp60 juta. Saat itu DL Sitorus terheran. “Kok mahal sekali?,” tanya DL Sitorus.
Yoko kembali mengutarakan, apabila pihaknya tidak menyerahkan uang sebanyak itu, pihak BPN tidak akan memproses surat tersebut. DL Sitorus pun memerintahkan saksi Hendrik dan saksi Saimin berangkat ke Kota Pematangsiantar untuk mengambil alih pengurusan balik nama sertifikat tanah itu.
Menanyakan Besar Biaya
Rabu 12 Desember 2007, Hendrik dan Saimin tiba di Pematangsiantar dan langsung menuju kantor BPN. Sesampainya di Kantor BPN yang beralamat di Jalan Dahlia, Pematangsiantar, Hendrik dan Saimin mencoba menelusuri berapa sebenarnya biaya untuk bea balik nama sebuah sertifikat kepada pegawai BPN yang ada di sana. “Pak, saya mau tanya berapa biaya balik nama sebuah sertifikat?” tanya Hendrik.
“Sebenarnya pak kalau sesuai peraturan, biaya resminya hanya sebesar Rp25 ribu per sertifikat,” jawab staf BPN itu. “Terimaksih ya pak,” sebut Saimin begitu mengetahui berapa sebenarnya biaya mengurus surat tersebut.
Setelah mereka mendapat informasi dari salah seorang pegawai BPN, mereka segera berangkat menuju Kantor Notaris Zulkarnaen Saragih. Ketika tiba di kantor si notaris, mereka melihat salah seseorang berpakaian dinas PNS di sana. Belakangan setelah berkenalan, oknum PNS itu dikethui bernama Yudi Irwanda.
“Bapak ini PNS dari BPN Siantar, namanya Yudi Irwanda,” kata Zulkarnaen memperkenalkan terdakwa kepada tim suruhan DL Sitorus.
Saat itu, Zulkarnaen masih mengatakan kepada Saimin, biaya pengurusan balik nama sertifikat itu Rp75 juta. Tetapi, setelah mendapat petunjuk dari pimpinan di BPN, akhirnya diberikan diskon 15 persen sehingga biaya turun menjadi Rp60 juta. Saksi Saimin sempat menjawab, biaya itu terlalu mahal sedangkan pengalamannya mengurus surat hak di Jakarta tidak semahal dana yang ditekankan pihak BPN Siantar. “Kok mahal sekali, jadi lebih mahal disini daripada di Jakarta,” komentar Saimin.
“Itu hanya untuk atasan saya dan kepala BPN, sedangkan untuk saya belum. Saya juga capek dan biaya keluar uang minyak,” sebut terdakwa Yudi Irwanda mencoba memberi keterangan kemana jalur duit itu akan diserahkan.
“Memangnya kamu dekat dengan kepala BPN?,” tanya Hendrik kepada Yudi.
“Iya. semalam saya baru pergi sama kepala,” kata Yudi meyakinkan Hendrik.
“Kalau uangnya diserahkan sekarang, kapan sertifikatnya siap?” tanya Hendrik lagi.
“Mungkin hari Jumat ini sudah siap pak,” jawab Yudi dengan yakin.
Kemudian Hendrik mengatakan, dia tidak mungkinkan mengambil uang dari bank dalam jumlah besar karena hari sudah sore. Setelah mendapat keterangan seperti itu, Yudi dengan sedikit nada menggertak mengatakan mereka tidak serius. “Bapak serius nggak? Kalau uangnya tidak ada sore ini, tidak akan saya proses,” katanya menegaskan.
“Mana mungkin saya jauh-jauh dari Jakarta kalau tidak serius,” ucap Hendrik menimpali Yudi.
Melapor ke Polisi
Setelah berdebat sebentar, Saimin dan Hendrik beranjak keluar dari kantor notaris itu, demikian juga dengan Yudi. Namun Saimin dan Hendrik pergi dari lokasi itu bukan pulang ke Jakarta. Merasa ada indikasi pemerasan dilakukan Yudi Irwanda, Saimin segera melaporkan hal ini ke Mapolres Simalungun sebelum menyerahkan uang yang diminta oleh Yudi. Adegan yang terjadi selanjutnya, tepatnya sekitar pukul 17.00 WIB, Hendrik kembali menghubungi Yudi. Sayangnya saat itu Hand phone-nya tidak aktif. Lalu Hendrik menghubungi Zulkarnaen Saragih agar dirinya menghubungi Yudi karena mereka akan menyerahkan uang tersebut di rumah makan burung goreng Kampung Beringin.
“Pak Zul, ini saya. Tadi kami hubungi Yudi, tapi HP-nya tidak aktif. Tolong ya Pak Zul hubungi Yudi lah, bagaimana caranya kami menyerahkan biaya itu sama dia. Kalau boleh sekarang saja di rumah makan burung goreng dekat kantor Bapak. Soalnya, saya besok mau buru-buru mengejar pesawat pulang ke Jakarta,” kata Hendrik meminta pengertian Zulkarnaen untuk menghadirkan Yudi di rumah makan burung goreng.
Permintaan itu langsung dipenuhi Zulkarnaen. Akhirnya mereka bertemu dengan Yudi di sebuah warung kopi dan memberitahukan keinginan dari pihak Hendrik, sekaligus meminta Yudi mengaktifkn telepon selularnya agar bisa dihubungi Hendrik. Mendapat kabar menggembirakan itu, Yudi langsung beranjak pulang ke rumahnya dan menghidupkan kembali HP-nya. Tak berapa lama, suara HP-nya berbunyi. Ternyata Hendrik yang menghubungi dengan mengatakan uang yang dimintakan akan diserahkan kepadanya. “Kalau begitu kita mau jumpa dimana?,” tanya Yudi.
“Di rumah makan burung goreng yang di Kampung Beringin saja. Jam sembilan malam,” sebut Hendrik dari seberang teleponnya.
“Iyalah! Kalau begitu nanti saya datang,” jawab Yudi mengamini permintaan Hendrik.
Sebelum berangkat ke tempat pertemuan yang telah disepakati, Yudi juga menghubungi Zulkarnaen dan memberitahukan jadual pertemuan mereka. Setiba di sana, Yudi langsung menuju rumah makan burung goreng bersama salah seorang temannya, bernama Deni. Sekira pukul 20.45 WIB, Saimin dan Hendrik datang menemui mereka sembari memesan burung goreng. Ketika mereka sedang menunggu pesanan makanan, tiba-tiba HP milik Yudi berbunyi pertanda ada sebuah pesan singkat yang masuk ke HP-nya. Pesan itu berasal dari Zulkarnaen Saragih. “Yud, saya telat datang, mobil saya mogok di Rindam, mana lagi sepi disini, saya sendirian lagi, urusannya tolong kamu tangani dulu,” tulis Zulkarnaen dalam pesan singkatnya.
Lalu Yudi menunjukkan pesan itu kepada temannya Deni. Setelah mereka selesai bersantap, Saimin mulai membuka perbincangan. “Apa nggak sebaiknya kita tunggu pak notaris,” kata Yudi.
Saimin mengatakan hal itu tidak jadi masalah dan memberitahukan uang yang mereka bawa saat itu baru sebesar Rp20 juta dan kekurangannya akan dipenuhi esok harinya. “Baiklah pak.Bagi saya tidak ada masalah,” jawab Yudi sedikit gembira.
Saimin pun akhirnya menyerahkan uang itu yang dibalut dalam bungkusan plastik hitam berisi uang pecahan Rp50 ribu itu.“Jangan ditransfer ya pak, besok harus cash,” kata Yudi kepada Saimin tentang kekurangan uang itu sembari menerima uang yang ada di hadapannya.
“Ialah, kalau gitu hitunglah dulu uang itu, mana tahu kurang,” kata Hendrik memancing Yudi.
Saat Yudi menghitung uang, tiba-tiba datang anggota kepolisian dari Polres Simalungun, Rio Siahaan dan Kaspar Napitupulu. Saat itu, Rio bertindak menjepret Yudi yang sedang asik menghitung uang itu dengan sebuah kamera, sedangkan Kaspar Napitupulu bertindak menyergap Yudi. Oknum PNS itupun ketakutan dan harus pasrah diboyong ke Mapolres Simalungun guna mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Belakangan, Zulkarnaen Saragih juga turut diciduk Akibat perbuatan, kedua pria itu disidangkan di Pengadilan Negeri Simalungun dengan berkas terpisah. Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Siantar di Simalungun Junaidi Lubis SH, telah menghadirkan mereka ke hadapan majelis hakim bersama saksi lainnya dalam agenda membacakan dakwaan kepada Yudi dalam sidang yang digelar pekan lalu.(man)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar