DR Ingwer Ludwig Nommensen




DR Ingwer Ludwig Nommensen
Tugas Terakhir di Kaki Pusuk Buhit
Tulisan ini dikutif dari berbagai sumber dan disarikan secara singkat dalam rangka menyambut Perayaan Paskah Raya Oikume Masyarakat Kabupaten Samosir yang akan digelar pada 20 April 2008 mendatang di Kawasan Pasir Putih Parbaba, Kecamatan pangururan, Samosir. Perayaan ini sendiri mengambil thema"Yesus Teladan Hidup Kita" dengan sub thema"Paskah Raya mengajak Kita membaharui perilaku Terhadap Sesama dan Lingkungan". Ketika Pendeta Munson dan Pendeta Lyman, missionar bangsa Amerika dibunuh di Sisangkak Lobupining (jalan antara Tarutung–Sibolga) oleh Raja Panggalamei pada tahun 1834, tahun itu juga, tepatnya 06 Februari lahir seorang bayi di sebuah pulau kecil bernama Marsch Nordstand, di pantai utara Jerman yang berbatasan dengan Wilayah Denmark. Ayah si bayi bernama Peter Nommensen dan ibunya bernama Anna. Bayi itu kemudian diberi nama "Ingwer Ludwig" artinya "Tumpuan Harapan". I.L. Nommensen adalah anak pertama dan satu-satunya laki-laki diantara 4 orang bersaudara. Ia lahir dari keluarga yang sangat miskin. Ibunya Anna dan ayahnya Peter, sering sakit-sakitan, yang selalu duduk di rumahnya memintal tali untuk bahan kaus atau menambal pakaian. Pada masa kanak-kanak, Ingwer Ludwig Nommensen, sudah rajin membantu orangtuanya seperti menggembalakan ternak. Hampir seluruh domba di desanya sudah digembalakannya, hanya untuk mengharapkan gaji demi membantu dan menghidupi keluarganya yang sangat miskin. Namun demikian, dia juga sangat rajin ke sekolah, walaupun masa sekolahnya hanya pergi pada musim winter/dingin (bulan Nopember – April) atau pada saat hewan-hewan yang sudah digembalakannya sudah masuk kandang. Di sekolah ia dikenal sangat simpatik pada gurunya Tuan Callisen, sosok guru yang berperan memotivasinya untuk menjadi seorang missionar kelak. Sang Guru sering bercerita tentang seorang missionar yang berjuang untuk membebaskan bangsa dari keterbelakangan, perbudakan dan paham animisme (penyembahan berhala). Pada usia 12 tahun, tepatnya tahun 1846, Nommensen mengalami kecelakaan yang membuatnya tidak dapat berjalan selama satu tahun. Dia lumpuh tidak dapat berjalan karena kakinya bernanah terus dan nampak seperti busuk sehingga dokter berkata kakinya harus dipotong jika hidupnya mau selamat. Nommensen tidak bersedia. Menjelang Natal tahun 1847, Nommensen yang selalu membaca Alkitab, merenung dan membaca ayat Alkitab Joh. 14:14 " Jika kamu meminta sesuatu kepadaKu dalam namaKu, Aku akan melakukannya." Dia sangat gembira setelah membaca ayat itu. Ia yakin akan hal itu, sehingga Nommensen semakin menguatkan janjinya/nazarnya kalau seluruh hidupnya akan diberikan untuk Tuhan bila sakitnya sembuh. Tak lama kemudian seorang dokter datang ke rumahnya, dan memberikan obat kepadanya. Ajaib Benar! Hanya beberapa hari saja sudah tampak perubahan pada kakinya. Akhirnya Nommensen dapat berjalan kembali. Sungguh besar mujizat, Tuhan. 2 Mei 1848, ketika Nommensen berusia 14 Tahun, ayahnya Peter Nommensen meninggal dunia. Diusianya 15 tahun tepat Minggu Palmarum tahun 1849, Nommensen naik sidi. Nats yang diterimanya adalah,"Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi ? Perkataan Mu adalah perbuatan hidup yang kekal " (Joh 6 : 68). Nats sidi tersebut tetap direnungi dan diwujudkannya dalam hidupnya untuk berserah kepada Tuhan saja. Setelah dia Naik Sidi, kedewasaan bagi dirinya semakin nampak, khususnya karena dorongan keluarga dan harus menggantikan posisi ayahnya untuk bertanggung jawab menghidupi keluarganya. Disamping sebagai penggembala domba dan lembu, Nommensen juga menjadi pekerja rel kereta api di kota kecil Hunsum dan Rendsburg, serta memperbaiki parit pengaman pulau yang rusak karena terpaan ombak di kampung halamannya. Dia sempat menjadi guru pembantu (penolong) di Risum di rumah keluarga Nahsen. Tahun 1854, Nommensen dipanggil untuk menjadi guru di Gotteskoog untuk mengajari 19 orang anak petani kaya. Di Risum, Nommensen tak ubahnya seperti pengemis. Dia berkelana dengan pakaiannya yang lusuh dan hanya dibungkus dalam sarung bantal dan berterompa (selop kayu).
Jalan Terbuka
Pendeta dari Nibul yang mengaguminya segera menghubungi inspektur Wallman di Barmen. Melalui bantuan Ephorus Versman, akhirnya Nommensen bisa diterima disana. Semakin terbukalah jalan bagi Nommensen untuk memenuhi janjinya pada Tuhan untuk menjadi missionaris. Agustus tahun 1857, Nommensen diterima di Missionhaus yakni Sekolah Pendeta asuhan RMG di Wuppertal, Barmen yang sering disebut kongsi Barmen. Di sini dia dipersiapkan menjadi seorang pendeta yang missionar. Selama Sekolah Pendeta Nommensen menunjukkan sikap seorang yang sangat rendah hati serta ramah kepada teman-temannya. Dia ditahbiskan menjadi Pendeta di Barmen pada 13 Oktober 1861, hampir bersamaan dengan berdirinya HKBP di Parausorat, Sipirok pada tanggal 07 Oktober 1861 oleh Heine, Klammer, Betz dan Van Asselt. Selanjutnya Mission Barmen langsung mengirim Nommensen menjadi missionaris di Tanah Batak. 24 Desember 1861, dengan menumpang kapal Pertinar, Nommensen berlayar menuju Padang Sumatera Barat melalui Nivwendiep. Setelah menempuh perjalananannya selama 142 hari, Nommensen berlayar bersama Nona Dina Malga (Calon istri Pdt. Van Asselt). Mereka tiba di Padang 16 Mei 1862 dan selanjutnya pada 16 Juni 1862 tiba di Sibolga dan dilanjutkan ke Barus sampai 25 Juni 1862. Di Barus dia memulai pekerjaannya. Setelah tinggal lebih kurang 6 bulan, Nommensen memutuskan berangkat ke Sibolga karena Resident Tapanuli tidak memberi izin untuk berdiam lebih lama di Barus. Tanggal 30 Nopember, Nommensen meninggalkan Barus menuju Sibolga. Nommensen dengan rombongannya kemudian pergi ke pedalaman menaiki gunung masuk hutan menuju Tukka dan Rambe. Disana dia mendirikan gereja. Nommensen ditemani orang Barus yang sudah sering berjumpa dengan raja dari pedalaman. Di tengah perjalanan yang sangat melelahkan, mereka sampai di Desa Sijungkang dan bermalam di sana. Di perjalanan, Nommensen sempat melihat setumpuk rambut perempuan yang masih berdarah, tergantung di atas kayu tetapi tubuhnya entah kemana. Dia sangat ngeri melihat pemandangan itu. Namun kengeriannya tidak diperlihatkan kepada temannya. Nommensen meneruskan pelayanannya ke daerah Tapanuli Selatan, persisnya ke Parau Sorat, Bunga Bondar dan Sipirok. Dalam perjalanannya dari Barus ke Sibolga dan dari Sibolga ke Sipirok, Nommensen juga mengunjungi Pdt. Heine ke Sigompulon Pahae dan Pdt. Van Asselt di Sarulla. Kemudian pada 30 Desember 1862, dia bertemu dengan Pdt. Klammer di Sipirok yang bekerja sebagai pengasuh sekolah pemerintah. Dari sana ia meneruskan perjalanannya ke Bungabondar, ke tempat Tuan Betz, orang Belanda yang diutus Witteveen dari Ermelo. Namun karena di daerah Silindung masih berkecamuk permusuhan, Nommensen ditugaskan melayani di Parausorat. Di sana ia mendirikan sekolah untuk anak-anak dan mengunjungi orang sakit. Tak lama berselang, ketika rapat pendeta bulan Oktober 1863 digelar, tersiar kabar kalau daerah Silindung sudah tenang dari permusuhan. 7 Nopember 1863, Nommensen memutuskan berangkat dari Bungabondar Sipirok ke daerah Silindung. Tujuannya untuk membuka perjalanan baru. Di tengah perjalanan menyelusuri hutan belantara--diantara hiruk pikuknya suara binatang buas--Nommensen tetap tegar. Mereka dijamu di rumah Ompu Gumara di kampung Banjarnahor. Pagi hari berikutnya, Nommensen meneruskan perjalannya melalui Simangambat, Pangaribuan, Sigotom dan Onan Sipinggan. Sekitar dan tiba di Sigompulon sekitar pukul 13.00 dan selanjutnya mereka sampai di Bukit Siatas Barita, dekat Lumban Baringin, Sitompul dan Pansurnapitu.
Inilah Tempat yang Kuimpikan!Dari tempat itu Nommensen jelas melihat lembah Silindung yang indah, padat penduduk tetapi masih menganut Animisme. Mereka beristirahat sekitar satu jam. Di tempat ini, Nommensen memanjatkan doanya. "Tuhan inilah tempat yang kuimpikan, biarlah saya mempersembahkan hidupku buat mereka, agar mereka menjadi milikMu yang abadi dan hidup atau mati aku tinggal di tengah-tengah bangsa ini, berdiam memberitakan firmanMu". Ketika Nommensen selesai berdoa, dalam pendengarannya seakan ada suara lonceng gereja saling menyahut dan suara anak-anak bermain di halaman sekolah. Dia seakan melihat orang-orang Batak sudah berpakaian bagus, masuk ke gereja yang banyak berdiri di Tanah Batak. Di tempat Nommensen berdoa, saat ini telah berdiri sebuah salib besar yang diberi nama Salib Kasih. Sesampainya di Silindung, banyak orang mengelilingi Nommensen. Mereka bertanya apa maksud kedatangan Nommensen. Warga juga heran melihat tampang manusia bermata biru (sibontar mata). Nommensen segera menjawab keingin tahuan warga, "Aku datang untuk kalian. Ingin hidup bersama – sama kalian. Aku membawa kabar baik, aku ingin mengajari kalian berhitung dan menulis agar kalian pandai. Aku membawa obat kepada kalian kalau kalian sakit." Begitu usai mengucapkan kalimat itu, tiba-tiba ada yang menyelutuk,"Di ho ma magom, naeng paoto-otoonmu hami? Mulak ma ho, ndang adong gunam. Matam songon matani hambing bontar mata! (Mampuslah kau, mau kau bodoh-bodohi kami? Pulang sajalah, tak ada gunanya kau di sini. Mata mu pun putih seperti mata kambing!-red". Mendengar itu, Nommensen tetap menjawab dengan lemah lembut. Dia tidak takut walaupun dia hanya ditemani oleh beberapa orang pembantunya, Si Punrau dan Si Jamalayu dan beberapa orang lainnya. Nommensen meyakinkan mereka kalau dia akan mengajari orang tanpa paksaan. Ada seorang anak kecil berumur 11 tahun yang bijak. Dia berkata kepada Nommensen, "Saonari didok lomomuna, muse dohononna ma lomonami (Sekarang kamu bilang suka kami, tapi nanti kamu bilang suka kalian-red". Penduduk pun tidak menerima kehadiran Nommensen di desanya. pengalaman ini berbeda dengan pengalaman Van Asselt dan Heine delapan bulan sebelumnya. Bahkan saat itu penduduk mengancam akan membunuh Nommensen bila dia tidak mau pergi. Namun berkat kepandaian berbahasa Batak untuk berkomunikasi dengan penduduk di Tanah Batak, serta dibantu oleh orang Batak yang sudah berpengalaman di luar tanah Batak yang membawa Nommensen ke jantung tanah Batak, akhirnya dia berhasil meyakinkan penduduk setempat. Nommensen pun semakin yakin atas kemampuannya menyebarkan injil dan kedamaian. Beberapa Pemuda tertarik karena penampilannya yang pandai bermain harmonika dan mengobati orang sakit. Akhirnya Nommensen diperbolehkan tinggal bersama mereka disana.
Ditipu Raja
7 Oktober 1863, Nommensen berangkat dari Angkola ke Silindung melalui jalur Simangambat, Liang, Banjarnahor, Sitarindak, Lumbansiagian, Hutagalung ke Desa (huta) Ompu Sumuntul dan tinggal di Sopo ni Raja Ompu Tunggul (Huta Bagasan) selama satu minggu. Ia memberitahukan rencananya kedatangannya untuk mengabarkan Injil. Kemudian ia meminta tanah untuk mendirikan sebuah rumah. Raja Ompu Tunggul berjanji akan memberikan kalau Nommensen dapat membawa barang-barangnya ke desa itu. Mendengar permintaan itu, 19 Nopember 1963, Nommensen kembali ke Bungabondar untuk mengambil barang-barangnya. Dia melalui Banuarea terus ke Nagatimbul, kampung Toga Suara. Kemudian ia kembali ke Silindung pada Mei 1864 dengan membawa barang-barangnya sesuai permintaan Raja Ompu Tunggul. Tetapi ketika sampai ke Huta Bagasan, dan Nommensen ingin masuk ke Sopo yang diberikan Raja Ompu Tunggul, ternyata dia tidak diizinkan oleh Raja Ompu Tunggul sendiri. Raja malah menyuruh Nommensen mencari sopo yang lain karena soponya akan dipakai sebagai tempat penyimpan padi. Kebetulan saat itu sedang panen. Ternyata Itu hanya alasan. Sebenarnya sudah ada kesepakatan diantara raja-raja Silindung agar tidak menerima Sibontar mata. Mereka kuatir Sibontar mata adalah suruhan kompeni. Diperlakukan seperti itu, Nommensen merasa kesal dan kecewa. Dia langsung membawa kopernya lalu duduk-duduk di bawah pohon beringin di Onan Sitahuru. Tak lama berselang, tiba-tiba muncul seorang laki-laki (Pajingkal Silalahi). Mereka segera terlibat dalam percakapan serius. Dalam pembiraan itu, Pajingkal memberitahukan kepada Nommensen kalau di daerah itu masih ada lagi seorang Raja yakni Raja Aman Dari (Keturunan Ompu Sumurung Lumbantobing). Namun sang raja sedang pergi ke Harean, ke rumah mertuanya karena istrinya sakit keras. Mendengar cerita itu, Nommensen segera mengatakan kepada Panjingkal kalau penyakit isteri Raja Aman akan sembuh dan meminta agar pesan ini supaya disampaikan. Ternyata benar, besoknya isteri Raja Aman Dari sembuh dari penyakitnya. Raja Aman Dari bersuka cita lalu memberitahukan kepada Panjingkal agar Nommensen tinggal di soponya di Huta Nabolon. Tak hanya itu, Raja Aman Dari juga membuat perjanjian dengan Nommensen kalau mereka akan sehidup semati (Sisada hangoluan, sisada hamatean). Untuk memperkuat perjanjian ini, Raja Aman Dari meminta kesediaan Raja Ompu Bungbung dari Parbubu dan Raja Ompu Sinangga dari Hutagalung Inaina untuk mendukung sikapnya yang telah menerima Nommensen. Mereka bertiga sepakat untuk menerima Nommensen dan juga bertekat juga sehidup semati dengan Nommensen . Raja Aman Dari kemudian memberikan tanah untuk tempat rumah Nommensen didirikan yang didukung oleh kedua raja tersebut. Tanah berpasir itu terletak di tepi Sungai Sigeaon. Nommensen diminta mendirikan rumahnya di situ. Tanah itu diratakan pada 29 Mei 1864 dan sejak itu berdirilah Huta Dame (Berdasarkan tanggal inilah Jemaat Gereja Dame HKBP dan Jemaat Gereja Dame GKPI di Saitnihuta selalu merayakan Ulang Tahun Kekristenan setiap tahunnya. Jubeleum 90 tahun Kekristenan di Saitnihuta telah dilaksanakan pada tanggal 29 Mei 1954 dan Jubeleum 100 tahun telah dilaksanakan 29 Mei 1964. Sebagai tanda untuk mengenang berdirinya Huta Dame, saat ini ini telah didirikan tugu yang terletak di Huta Dame I, Saitnihuta). Usai tanah itu diratakan, dibelilah rumah Ompu Balga dari sebelah Timur Pearaja. Kayu atau papan rumah itu digunakan sebagai bahan untuk mendirikan rumah Nommensen di lahan yang diberikan Raja Aman Dari. Menunggu rumah Nommensen selesai dibangun, dia tetap tinggal sampai tiga minggu lagi di Hutabolon. Dari situlah dia mengunjungi kampung,menjenguk orang yang sakit, berkhotbah dan berbaur dengan masyarakat sekitar. Setelah rumah selesai, Nommensen pindah dari Hutabolon ke rumah yang baru. Namun rumah itu hanya ditempati beberapa lama karena tak lama kemudian, terjadilah gempa di tahun 1860 yang merubuhkan rumah itu . Atas usulan Nommensen, dikumpulkanlah raja-raja, antara lain, Raja Bagot Sinta, Raja Baginda Mulana, Raja Illa Muda dan Raja Rangketua (semua raja ini diangkat Raja Sisingamangaraja). Di depan raja-raja tersebut, Nommensen membaca izin Gubernur Padang dan Gubernur General yang menyatakan kalau ia bisa tinggal di Silindung. Dalam rapat ini keputusan Raja Aman Dari, Raja Ompu Bungbung dan Raja Ompu Sinangga yang telah memberikan tanah kepada Nomemmensen didukung sepenuhnya. Sebagai pengganti lahan dan rumahnya yang rubuh akibat gempat, Nommensen kemudian diberikanlah tanah yang kondisinya juga tanah berpasir bekas jalan sungai Sigeaon. Di lahan ini kembali dibangun rumah tempat tingal Nommensen, tepatnya pada 12 Juni 1864. Inilah yang disebut sekarang sebagai Huta Dame II atau Huta Godung.
Hendak Dibunuh
Ketika Nommensen sakit keras, dia segrea dibawa berobat ke Padang Sidempua, 6 Juni 1871. Untuk pemulihan kesehatan,dia dipindahkan ke Sipirok hingga Maret 1872. Selama berobat, Huta Dame yang didirikan Nommensen telah luluh-lantak dihanyutkan arus Sungai Sigeaon yang meluap. Nommensen hanya bisa memandang sedih. Kemudian dia berpikir, ada baiknya membangun pargodungan ke tempat yang tinggi. Karena persahabatannya dengan Raja Pontas, raja itu segera membantu Nommensen untuk mencari pertapakan. Atas kebaikan Raja Pontas (Raja Obaja) dan Raja O. Ginjang (Raja Soleman), diberikanlah tanah yang cukup luas untuk mendirikan gereja di tempat yang lebih tinggi. Itulah bukit Pearaja. Di sinilah didirikan sebuah Gereja besar bernama HKBP Pearaja yang dimasuki (diompoi) tanggal 10 September 1872. Di komplek gereja inilah berdiri Kantor Pusat HKBP. Dalam kurun waktu enam bulan pertama Nommensen berada di Silindung, dia sudah beberapa kali hendak dibunuh. Salah satunya oleh pembantunya sendiri, Punrau yang dihasut orang yang tinggal di Silindung. Punrau memberikan racun kepada Nommensen yang diaduk dalam bubur. Namun Nommensen selamat dari cobaan itu. Yang mati justru anjing piaraannya. Akhirnya Punrau diusir . Cobaan lain datang dari Raja Panalungkup (seorang dukun) yang sengaja datang ke rumah Nommensen untuk membunuh dengan cara mencampurkan racun ke dalam makanannya. Namun racun yang diberinya malah menjadi obat bagi Nommensen. Akhirnya mereka menjadi sahabat. Raja Panalungkup kemudian dibabtis dengan nama Nikodemus. Suatu ketika, ada diantara penduduk yang berkata kepada Nommensen kalau pmbicaraannya cuma enak didengar namun hatinya berlainan dengan perkataannya. bahkan Nommensen dituding sebagai suruhan kompeni untuk menyelidiki daerah mereka. Kepala Nomennsen diancam akan dipenggal. Tetapi Nommensen menjawab dengan tenang. "Hal itu tidak mungkin kamu lakukan, seutas rambut pun tidak dapat diambil tanpa diizinkan Allah."
Sebuah Mukzijat
Pada September 1964, raja-raja Silindung berembuk menggelar sebuah pesta besar. Tujuannya untuk Mamele (memuja) Sombaon Siatas Barita. Uniknya, yang akan dikurbankan adalah Si Bottar Mata yang tak lain dari Nommensen sendiri. Nommensen merasa ngeri membayangkan bila masih ada manusia yang sampai hati memberikan manusia sebagai sesajen kepada setan. Nommensen berdoa, dia tidak takut. Dia yakin akan pertolongan Tuhan. Dia yakin ajalnya belum tiba. Dia tahu masih terlalu sedikit yang dituai. Nommensen memutuskan akan datang ke pesta tersebut. Dia tidak lari. Setelah berdoa dan berfikir sedemikian lama, Nommensen menulis surat yang diberikannya kepada raja-raja Silindung yang berkumpul di Onan Sitahuru. Isi suratnya adalah memberitahukan agar dalam pesta besar itu nantinya tidak boleh ada yang membawa senjata seperti biasa. Tidak boleh bermusuhan sesama raja. Ketika pesta digelar 23 September 1864, acara dilangsungkan seperti biasa dengan mempersembahkan kerbau dan kuda tanpa mempersembahkan manusia yang menjadi sesajen kepada Ompu. Penduduk menunggu dengan cemas. Lebih dari seribu orang berkumpul di Onan Sitahuru. Banyak diantara mereka memegang senjata. Nommensen kemudian mendatangi kerumunan tersebut dengan tenang dan berwibawa. Sesuai bunyi surat yang diberikan kepada raja-raja, Nommensen dan Pembantunya mengumpulkan semua senjata. Entah mengapa semua menurut. Di sekitar tempat pemujaan ada seekor kerbau yang dihias dan diikat. kerbau itu dituntun oleh seseorang yang berpakaian khusus dan mengelilingi Borotan Kayu (tempat mengikat kerbau) tujuh kali. melihat pemandangan itu, beberapa pengunjung bersorak-sorai bunuh," Si Bontar Mata!". Mereka menganggap kerbau hanya berupa simbol. Yang sebenarnya hendak dibunuh adalah Nommensen. Tetapi Allah melindungi dan melepaskannya. Tanpa terduga turun hujan lebat dan petir yang saling bersahutan saat pesta berhala itu digelar. Keajaiban muncul. Saat itu rasa permusuhan dan rencana menumbalkan Nommensen lenyap seketika. Melihat keajaiban itu, Nommensen kemudian memberi nama tempat itu sebagai Huta Dame (Kampung yang damai). Buah pertama pekerjaan Nommensen di Silindung adalah dibabtisnya 4 pasang suami-isteri serta 5 orang anak-anak menjadi Kristen, pada 27 Agustus 1865. Selanjutnya acara pembabtisan dilakukan untuk 20 hingga 50 orang dalam suatu acara ibadah. Diantaranya Jamalayu (pembantu Nommensen yang dibawa dari Sipirok). Pria itu diberi nama Yohannes dan istrinya Katharina. Setelah dua tahun memulai misinya di Silindung, sudah ada 220 orang yang dibabtis, termasuk Raja Pontas Lumban Tobing dengan nama baru Obaja pada tahun 1867. Tiga tahun berikutnya, perkembangan agama Kristen di Silindung jauh lebih pesat, meskipun para pengikut Nommensen dibenci oleh para pelbegu (pemuja setan).
Menikah di Sibolga
Di sela-sela kesibukannya sehari-hari, Nommensen merasa sangat capek dan merasa perlu bantuan. Suatu ketika dia mengirim surat ke Barmen (Dewan missionaris Jerman) untuk meminta bantuan. Nommensen juga mengirim surat kepada kekasihnya. Akhirnya Kongsi Barmen mengirim Pdt. Peter Heinrich Johansen beserta kekasih Nomemmnsen, Karoline Margareth. Tanggal 12 Januari 1866, Pdt. P.H Johansen dan Karoline tiba di Sibolga dengan kapal Excelsionn. Pada 16 Maret 1866, Nommensen menikahi Karoline di Sibolga. Sekembalinya dari Sibolga, Nommensen dan Johansen sepakat membangun tempat baru untuk Johansen. Penduduk di Pansur Napitu memberikan tanah di sekitar Sombaon Aek Namulbas, yang dianggap angker untuk tempat tinggal. Nommensen, beserta 30 orang temannya datang dari Saitnihuta untuk membantu Pdt. Johansen membangun rumahnya. Akhirnya rumah Johansen selesai dan pargodungan di Pansurnapitu ini dinamai Zoar. Pada 1867, Nommensen selesai menterjemahkan Alkitab Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Batak Toba dan pada tahun itu telah lebih dari 7000 orang di babtis di Silindung menjadi Kristen. Setelah Nommensen dan Johansen, Barmen mengirim Pdt. Mohri tahun 1870 dan tinggal di Sipoholon. Tahun 1874 datang lagi Pdt. Simoenent dan ditempatkan di Simorangkir. Kemudian dikirim Nona Hester Needham Tahun 1889 dan merupakan bibelvrouw pertama di Silindung yang dibantu oleh Nona Thora. Tahun 1873, Nommensen mempunyai ide Wanderschule (Sekolah Keliling) yang gurunya terdiri dari Nommensen di Pearaja Tarutung, Johansen di Pansur Napitu dan Mohri di Sipoholon. Empat tahun lamanya sekolah keliling ini berlangsung, sampai akhirnya berdiri seminarium (Sekolah Guru) Tahun 1877 di Pansur Napitu yang dipimpin oleh Johansen. Tahun 1884 Seminarium ini dilengkapi dengan Sekolah Pendeta pertama di Tanah Batak.
Isteri Meninggal Dunia
Tahun 1880, Nommensen beserta istri dan anak-anaknya pergi berlibur ke Jerman. Setahun kemudian, Nommensen pulang sendirian ke Pearaja karena istrinya kurang sehat dan anak-anaknya ingin bersekolah di Jerman. Nommensen sangat berharap isterinya sehat dan dapat mendampinginya kembali di Tanah Batak. Sebelum berangkat, dia meletakkan tangannya memberkati anak-anaknya dang mengecup kening isterinya yang sangat dikasihinya. Ternyata ini adalah perpisahan terakhir. Beberapa tahun kemudian, Karoline meninggal dunia tanpa meninggalkan pasan apa-apa kepada Nommensen. Di sela-sela kesibukannya, mengabarkan Injil di Toba, Nommensen mendapat kabar, kalau istrinya, Karoline, meninggal dunia di Jerman. Berita ini dia ketahui sebulan setelah istrinya meninggal. Alangkah pedihnya perasaannya. Si istri yang dikasihinya, pergi tanpa meninggalkan pesan. Namun Nommensen tetap tabah walau air mata membasahi pipinya. Pada Tahun 1881, Nommensen ditetapkan oleh Barmen menjadi Ephorus pertama HKBP yang digelari OMPU I EPHORUS. Setelah Nommensen yakin kalau kekristenan di Silindung sudah mulai mapan, dia ingin pindah ke daerah Toba. Nommensen menyerahkan tugasnya di Pearaja kepada Pdt. Metzler. Sudah sejak lama Nommensen merencanakan pengembangan misinya ke daerah Toba yang terkenal dengan keindahan alamnya dan danaunya. Pada tahun 1876, missionaries Johansen, Heine dan Mohri, sudah pernah berkunjung ke Toba. Mereka nyaris terbunuh oleh penduduk setempat yang masih pelbegu, namun Tuhan melindungi mereka. Pada tahun yang sama, Nommensen mengajak temannya P.H. Johansen dari Pansurnapitu untuk mengadakan kunjungan ke Toba. Mereka diantar oleh Raja Pontas. Selama dalam perjalanan, mereka bermalam satu malam di Sianjur, kemudian besoknya melanjutkan perjalanan ke Balige. Sesampainya di Balige mereka disambut baik oleh Kepala Kampung Balige dan mengajak mereka tinggal di Toba. Nommensen melihat, misi zending mereka pasti berhasil di daerah Toba. Seperti pengalaman sebelumnya, Nommensen sudah mengerti cara mendekati pelbegu. Mereka berdua dikerumuni orang banyak dengan segala sikap yang kurang bersahabat, tapi missionar unggulan ini tidak pernah takut. Banyak orang yang meminta obat dan banyak juga yang mencemoohkannya. Tidak beberapa lama mereka tinggal di Toba, mereka kembali lagi ke Pearaja Tarutung sebab di Balige terjadi perang antara pasukan Sisingamangaraja XII dengan pasukan penjajah Belanda. Pada 1881 dua orang missionar pertama yang dikirim ke Toba yakni Pdt. Pillgram dan Kassel. Kedatangan keduanya atas permintaan Raja Ompu Batu Tahan Siahaan di Balige. Selanjutnya Raja Ompu Batutahan Siahaan sangat berperan dalam perkembangan ke-Kristenan di daerah Toba. Pada tahun 1884, diadakan rapat tahunan yang dihadiri 16 orang missionar dengan 600 peserta lainnya yang terdiri dari guru, raja-raja dan penatua. Dua tahun kemudian didirikan tempat (pusat) missionar kedua di Toba, tepatnya di Laguboti yang dipimpin oleh Pdt. Bonn. Pada tahun 1886, Nommensen kembali datang ke Laguboti dan Sigumpar. Ia menggantikan Pendeta Bonn yang pindah ke Pangaloan. Di Sigumpar, sebuah desa di pinggiran Danau Toba terjadi perkara tanah antar penduduk. Kepada kedua belah pihakmeminta Nommensen agar tanah itu lebih baik diberi kepadanya. Ternyata kedua belah pihak yang berperkara setuju menyerahkan tanah itu kepada Nommensen. Sang misionaris berhasil memberitakan Injil kepada penduduk Sigumpar. Bersama dengan penduduk, ia mendirikan umahnya di atas tanah pemberian penduduk. Kemudian mendirikan gereja, sekolah dan balai pengobatan. Sigumpar menjadi basis penyebaran Injil di daerah Toba bahkan Pulau Samosir dan Simalungun. Dalam usaha penyebaran Injil di daerah Toba, Nommensen dibantu oleh beberapa orang Missionaris seperti Pendeta Steinsik di Laguboti, Pendeta Fohlig di Siantar – Narumonda, Pendeta Jung di Parsambilan, Pendeta Kristiansen di Parparean, Pendeta F. Brinkschonidt di Sitorang, Pendeta Qwentmeier di Lumban Pinasa, Pendeta Betz di Lumban Lobu dan juga dibantu oleh Pendeta Batak yang sudah tamat dari sekolah Pendeta di Pansurnapitu. Tahun 1892, Nommensen dan Johansen yang juga sudah menduda, pergi ke Jerman untuk berlibur, menjenguk anak-anaknya serta mencari pasangan baru. Nommensen menikahi anak Tuan Harder bernama Christine sedangkan Johansen menikahi Dora, anak Tuan Heinrich. Tak lama setelah mereka berkeluarga kembali, istri kedua Nommensen meninggal dunia pada Tahun 1909. Wanita itu memberikan tiga orang anak kepada Nommensen. Christine dimakamkan di Sigumpar.
Tugas terakhir di Pusuk Buhit
Setelah penginjilan dianggap sukses di daerah Toba, penginjilan dilanjutkan ke Pulau Samosir. Dari Sigumpar mereka naik perahu (Solu) mengarungi Danau Toba. Tahun 1893, Pendeta J. Warneck sampai di Nainggolan, tahun 1898 Pendeta Fiise di Palipi, tahun 1911 Pendeta Lotz di Pangururan, tahun 1914 Pendeta Bregenstroth di Ambarita. Nommensen melihat alangkah baiknya kalau Injil diteruskan ke Simalungun. Kemudian dia mengusulkan kepada RMG supaya diberi izin mengembangkan pelayanan ke Simalungun. Setelah mendapat restu, 16 Maret 1903 berangkatlah Pendeta Simon, Pendeta Guillaume dan Pendeta Meisel dari Sigumpar menuju Tiga Langgiung, Purba, Sibuhar-buhar, Sirongit, Bangun Purba, Tanjung Morawa, Medan, Delitua, Sibolangit, Bukum. Dalam perjalanan berikutnya, mereka bersama Nommensen berjalan melalui Purba, Raya, Pane, Dolok Saribu dan Onan Runggu. Mereka menyebarkan Injil sampai ke pedalaman Simalungun. Setelah sekian lama mengabarkan Injil ke pedalaman Simalungun, Nommensen kembali ke Sigumpar Toba. Dia menyerahkan tugas penginjilan kepada rekan-rekannya. Nommensen merenung dan bangga melihat benih yang ditaburkannya sudah berbuah dan siap dipanen. Dia berdoa kepada Tuhan, kiranya apa yang dia taburkan semakin dapat mengikis paradigma hasipelebeguon (pemuja setan) menjadi hakristenon (Kekristenan). Mengubah sikap kesombongan menjadi rendah hati, sikap kekerasan menjadi kelemah lembutan. Sabtu tanggal 18 Mei 1918, Nommensen diantar anaknya, Jonathan dari Sigumpar ke Balige hendak ke Pangururan. Tujuannya untuk mengikuti pesta Zending pertama di Dolok Pusuk Buhit. Saat Jonathan mengantar ayahnya ke Balige, dalam perjalanan, Nommensen mengharapkan agar Jonathan mengikuti jejaknya. Kemudian hari Jonathan menjadi Pendeta. Pangururan merupakan gerja termuda dan berniat mengadakan pesta zending pertama di kaki Dolok Pusuk Buhit. Rombongan mereka sampai di Palipi sekitar pukul 11.00 siang. Mereka disambut dengan musik tiup. Sekitar dua jam mereka di sana, perjalanan kemudian dilanjutkan ke Pangururan. Sore harinya setiba di pangururan, mereka disambut oleh banyak orang, ermasuk Tuan van Der Meuler, Kontreleur di Samosir, bersama Pdt. Eigenbroad dan Demang Henoch Lumban Tobing. Sebelum kapal mereka berlabuh, banyak orang berdiri di tepi pantai dan menyambut dengan ucapan "Horas di Ompu I!"Nommensen bersama Pdt. Eigenbrod dan pdt. O.Von Eigen dijamu Van der Meulen di rumahnya. Mereka bermalam di sana agar besoknya bisa mengkuti pesta zending di kaki Pusuk Buhit.Setelah ngobrol dengan akrab, Nommensen pamit dan mereka bermalam di rumah Pdt. Eigenbrod. Ketika semua orang sudah tertidur nyenyak, Nommennsen tiba-tiba terjaga dari tidurnya. Dadanya serasa ditusuk dan nafasnya sesak. Dia mencoba memberitahukannya dengan mengetuk-ngetuk dinding papan kamarnya. Pdt. Eigenbrod segera terbangun dan membantunya.Saat itu, Nommensen berkata kalau ajalnya sudah dekat. Pesta zending di Pangururan akhirnya kurang meriah karena Nommensen yang jatuh sakit dan rekannya Pdt. Eigenbroad serta O. Van Eigen tidak dapat hadir kerena merawat Nommensen. Keesokan harinya setelah Dr. Winkler dipanggil dari Pearaja Tarutung, bersama anaknya dari Sigumpar, kesehatan Nommensen sudah mulai pulih dan dapat kembali ke Sigumpar. Sampai 22 Mei Jam 18.00 kesehatan Nommnesen semakin membaik. Namun sekitar pukul 19.00, penyakitnya kambuh lagi. Pada Hari Kamis Tanggal 23 Mei 1918 pada umur 84 Tahun 3 Bulan 17 hari, Ompu i Nommensen menghembuskan nafasnya yang terakhir pada pukul 06.00 pagi di saat lonceng gereja Sigumpar berbunyi untuk mengingatkan orang berdoa sebelum memulai kegiatan mereka. Nommensen menutup mata untuk selamanya setelah berdoa " Bapa ke dalam tangan Mu kuserahkan rohku, Kau telah membebaskan aku. Amin ". Jumat sore, 24 Mei 1918, Nommensen dikubur di Sigumpar. Puluhan ribu orang datang untuk mengucapkan salam perpisahan. "Dia telah lama pergi, namun kita tetap merasakan yang telah dibuatnya dan patut mengenangnya. Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan Firman Allah kepadamu. Perhatikanlan akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka (Ibrani 13:7) Pemberitaaan injir yang disebarkan Nommensen telah sampai ke kaki Pusuk Buhit yang sangat disakralkan oleh orang Batak secara turun-temurun. Inilah penugasan terakhir dari Sang pencipta. Berita injil harus langsung dibawa Nommensen sampai ke penduduk di kaki Pusuk Buhit. Tugasnya berakhir di kala orang banyak berpesta zending merayakan kemenangan berita Injil. Sebelum ajal menjemputnya, menjeleng malam, Nommensen mendekati orgel. Dia memainkan lagu "Di Ingot Halak Dagang".

Ende No.339: Di Ingot Halak Dagang

Di ingot halak dagang, do sambulonna i,

Ai hira marsinondang, di si bintang i

(Bagaikan anak hilang,teringat bapanya,

Memancar bagikan bintang, ke sana hatinya)

Malungun di ibana, naeng tu donganna i,

sai naeng ma di rohana, lao mandapot hon i.

(Kini dia rindukan, Tuhan kekasihnya,

Hatinya ditujukan, ingin bersamaNya)

Dung i di dok rohana, di san do dongan hi,

Di lambung ni Amana, di hasonangan i.

(Hatinya pun berkata, di sana sobat ku,

Di sisi Alla Bapa, bersama Tuhanku)

Masihol ma rohana, tu na di ginjang i,

Naeng dohot ma ibana, tu hasonangan i.

(Kehidupan abadi, yang dirindukannya,

Kini siap menanti, akan penggilanNya)


(hut)

1 komentar:

BELAJAR BAHASA mengatakan...

keren abis artikelnya

Gallery

Gallery