Membongkar Sindikat IPKTM
Sang Dalang Tak Tersentuh Hukum
Bicara soal pencurian kayu hutan, tentu tak terjadi begitu saja. Ada sejumlah pemodal dan penadah di baliknya. Jalinan organisasi pencuri kayu hutan ini demikian tertata. Pencuri, pengangkut dan penadah bekerja dengan rapi. Praktek seperti ini juga terjadi di kawasan hutan Simalungun, tepatnya di hutan Juma Pulut, Dusun Huta Raja, Nagori Pamatang Purba Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun.Aksi penebangan penebangan kayu secara brutal ini, diduga melanggar payung hukum yakni Peraturan Daerah (Perda) No 10/2006 tentang Ijin Penebangan Kayu Tanah Milik yang biasa disingkat dengan IPKTM.
Dari penelurusan yang dilakukan localnews pekan lalu, lokasi penebangan ini terbilang jauh dari perkampungan warga. Lima jam lamanya waktu perjalanan untuk tiba di kawasan itu. Sebelum tiba di lokasi, harus terlebih dahulu memasuki kawasan perkampungan yang jaraknya berkisar lima kolometer dari jalan utama. Ketika tiba di perkampungan, terlihat dengan jelas satu unit truk ukuran besar sedang parkir dan bermuatan kayu yang siap untuk diberangkatkan keluar dari perkampungan itu. Warga di sana menyebutkan kayu itu milik MS, salah seorang warga Tobasa.
Memasuki kawasan hutan, perjalanan terpaksa ditempuh dengan berjalan kaki sepanjang tujuh kilometer. Jalan menuju lokasi penebangan memang rusak parah. Masih menurut informasi dari warga, jalan itu dibuka oleh si penampung kayu dengan menggunakan alat berat. Pemandangan yang membuat mata terbelalak, di sepanjang jalan, terlihat jelas kayu-kayu yang berasal dari hutan alam yang selama ini dilindungi, diletakan. Sebagiannya lagi tertumpuk rapi di pinggir jalan. Diameter kayu yang sudah ditebang itu sekitar 10 sampai 70 centimeter. Di sekitar lokasi itu juga terlihat dua unit alat berat yang biasa dipakai untuk menarik dan mengumpulkan kayu-kayu.
Ironisnya, tidak sedikit kayu yang ditebangi dari lahan yang kemiringannya berkisar tujuh puluh hingga sembilan puluh derajat. Tentu saja kondisi ini bertentangan dengan apa yang dituangkan dalam Perda No 10/2006 tentang IPKTM. Jika posisi kemiringan lahan hutan lebih dari 45 derajat, jelas tidak boleh ditebangi. Namun jika melihat bekas penebangan dan gundukan kayu, disinyalir penampung kayu sudah meraup ribuan ton kayu jarahan dari 25 hektar hutan yang dirambah di sana.
Informasi lain yang diterima koran ini, penebangan kayu di Juma Pulut yang nota bene sudah berakhir pada Mei 2008 lalu. Nyatanya aturan tersebut tak dijalankan. Di lokasi, secara tak sengaja wartawan localnews bertemu dengan salah seorang pegawai kehutanan yang disebut-sebut bernama Haryono. Dia bekerja di bagian pemetaan atau pengukuran. Saat itu, si pegawai kehutanan sedang berjalan sambil berbincang-bincang dengan tiga orang temannya yang dikenali bukanlah warga di sana. Ketika localnews menanyakan dalam rangka apa dirinya di lokasi itu, dia langsung menunjukkan sikap menghindar. “No Comen..Nocomen,” katanya sembari mengangkat dan melambaikan tangan kanannya menghindari localnews lalu pulang dari lokasi tersebut.
Setelah itu, Localnews menapaki lokasi penebangan lebih menjauh lagi, terdapat sebuah jerigen berisi minyak solar. Di badan jerigen, tertulis nama Mangatas Silaen dilengkapi dengan nomor hand-phone. Saat pemilik nomor itu dicoba dihubungi, si pemilik nomor langsung bekelit dengan mengatakan dirinya tidak tahu-menahu soal penebangan kayu di lokasi itu. Kemudian HP-nya langsung dinon-aktifkan. (ren)
Harus Ijin Pak Kadis!
Bagaimana sebenarnya pengawasan yang dilakukan Dinas Kehutanan Simalungun selaku pihak yang memiliki wewenang mutlak merekomendasikan setiap IPKTM yang ada di daerah ini. Sayangnya ketika ditemui, Kadis Kehutanan tidak berada di ruang kerjanya. Selidik-punya selidik bagian mana sebenarnya di Dinas Kehuatanan ini yang paling berperan dalam menerbitkan rekomendasi IPKTM, salah seorang staf di sana langsung menunjukkan ruangan Kepala Seksi Pengusahaan Hutan, Midin Sitindaon yang sedang bicara dengan rekan sekerjanya, Sahman Purba.
Awalnya, kedatangan localnews hangat oleh mereka. namun. Ketika ditanya soal kondisi penebangan kayu di Juma Pulut, Huta Raja Kecamatan Purba, mereka langsung merubah sikap dan berupaya untuk tidak memberi keterangan. Hanya saja menurut Midin, lokasi sungai yang ada di Juma Pulut masih jauh dari lahan penebangan kayu. “Kami rasa ada sekitar lima ratus meter lagi jarak sungai itu dari lokasi penebangan kayu. Jadi kami rasa tidak ada yang menyalahi disana,” sebut Sahman Purba mencoba memberi keterangan. Namun, ketika ditanya tentang penebangan yang dilakukan si pemegang IPKTM di kemiringan berkisar enam puluh sampai delapan puluh derajat, pria ini langsung saja mengatakan,“Kalau mau keterangan soal itu minta dululah ijin dari Pak Kadis. Kami tidak mau memberikan penjelasan”.
Menanggapi sikap yang dipertontonkan pegawai Dinas Kehutanan ini, Jaberlin Sinurat, salah seorang staf LSM Halilintar dan juga ikut turun ke lokasi penebangan menyatakan sikap pegawai kehutanan tersebut telah mencoreng tujuan luhur reformasi yang nota bene akses informasi menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak tidak boleh dipersulit.
“Sikap ini saya anggap adalah sebuah indikasi kalau ada sesuatu hal yang disembunyikan mereka untuk menghindari sorotan publik dan indikasi pelanggaran hukum. Apabila kelak ditemukan indikasi yang lebih mengarah ke permasalahan ini, pihak penegak hukum berhak melakukan proses penyelidikan dan penyidikan. Jika memang benar IPKTM yang direkomendasikan oleh Dinas Kehutanan untuk penebangan di lahan Juma Pulut itu sesuai dengan persyaratan yang dituangkan dalam Perda tentang IPKTM, pegawai kehutanan itu semestinya memberi akses informasi secara benar tanpa mekanisme birokrat yang berbelit-belit,” ungkap Jaberlin dengan nada kesal. (ren)
Tak Pernah Terima Laporan SKT
Secara terpisah, guna mengetahui bagaimana sebenarnya standar penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang selama ini dilakukan oleh Pangulu Nagori termasuk Camat dan hubungannya dengan lembaga Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Simalungun, kenyataannya sangat jauh dari perkiraan masyarakat. Mungkin selama ini masyarakat beranggapan, dalam pengurusan SKT dari Pangulu maupun Camat selalu diberitahukan kepada pihak BPN. Sebaliknya, BPN mengaku tidak pernah menerima ataupun mendapat laporan dari tiap Pangulu ataupun Camat.
“Selama ini kami memang tidak pernah menerima laporan soal SKT, baik itu dari Pangulu maupun Camat. Yang selalu kami urus adalah bagaimana menerbitkan hak sertifikat atas tanah,” ungkap Kepala Seksi Pendaftaran Hak BPN Simalungun, Ismu Broto saat ditemui localnews pekan lalu di ruang kerjanya.
Sementara itu, sesuai peta daerah Kabupaten Simalungun yang terpangpang di ruang kerjanya, terlihat lokasi hutan Juma Pulut di Nagori Pamatang Purba masuk dalam zona status kawasan hutan konservasi. Hanya saja soal penetapan tapal batas tentang lokasi ini belum dapat dipastikan. Pasalnya dinas kehutanan sendiri tidak bersedia memberi keterangan. “Saya tidak berkapasitas mengomentari soal kawasan hutan. Yang lebih tepat ke Dinas Kehutanan,” sebutnya. (ren)
Kejahatan Pelaksanaan Hukum
Dalam kondisi berbeda, tetapi masih memiliki hubungan dengan penebangan kayu di Juma Pulut, pekan lalu salah seorang terdakwa , Japestaman Purba, melalui kuasa hukumnya Marulam Pandiangan SH, secara tegas menolak kesimpulan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Hal ini disampaikan melalui pledooi (Pembelaan) di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Kota Pematangsiantar.
Marulam pun menegaskan agar majelis hakim juga memahami kalau kliennya, Japestaman Purba, adalah korban permainan hukum yang dilakukan aparat penegak hukum dari kepolisian dan kejaksaan bersama dengan sindikat mafia kayu. Dikatakannya, beratnya tuntutan terhadap kliennya yakni 4 tahun kurungan badan alias penjara, dipicu oleh sebuah upaya persekongkolan kejahatan pelaksana hukum antara penyidik dan penuntut umum.Japestaman justru dikorbankan untuk melindungi pelaku kejahatan yang sebenarnya. Tim penyidik dalam hal ini justru tidak melakukan pengusutan siapa sebenarnya pemilik alat berat seperti doser, skider serta Chainaw, termasuk peralatan lainnya di kawasan Hutan Juma Puput.
Siapa otak pelaku untuk melakukan dan menyuruh pengambilan kayu di tempat kejadian perkara (TKP). Kenapa alat-alat itu tidak pernah dijadikan sebagai alat bukti di persidangan juga menjadi bahan penegasan Marulam Pandiangan saat memberi pembelaan terhadap kliennya. Jaksa juga dianggap bertindak diskriminatif. "Pelaku yang lainnya, termasuk mafia penebangan kayu itu bebas berkeliaran dan tidak tersentuh hukum. Keterangan yang diperoleh dari sepuluh orang saksi termasuk dari pemilik lahan justru mengatakan kalau Japestaman tidak ada kaitan menyuruh melakukan penebangan kayu pinus milik Marsinta Uli br Purba yang ditebangi bulan Nopember tahun 2007 lalu. Japesman digiring ke kursi pesakitan hanya berdasarkan keterangan dari empat orang saksi lainnya yang menyatakan Japestaman yang menyuruh melakukan penebangan kayu tersebut," kata Marulam.
Masing-masing empat orang saksi yang memberatkan Japestaman adalah Kosmas Manik, Ardin Manalu, Dimpos Sinaga serta Basri Siregar. Jaksa sendiri dalam menetapkan tuntutan kepada pelaku pengerusakan hanya menuntut satu setengah tahun hukuman penjara. “Perbedaan tuntutan ini sangat fantastis! Data mengenai hal ini akan kami buat tersendiri untuk kami jadikan sebagai bahan laporan ke Komisi Kejaksaan dan ke Komisi Kepolisian. Permasalahan ini juga akan kami ajukan dalam Forum Hukum Nasional,” tegas Marulam yang juga menjabat sebagai ketua Ikatan Advokad Indonesia (Ikadin) cabang Kota Pematangsiantar ini.
Pria ini juga menuding Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut kasus tersebut dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Siantar-Simalungun, Josron S Malau SH, diduga melakukan tebang pilih menetapkan tuntutan terhadap masing masing terdakwa. Japestaman Purba yang semula dikenakan tuntutan empat tahun penjara, akhirnya diputuskan oleh majelis hakim dengan pidana dua tahun penjara. Hukuman ini dianggap pilih kasih jika dibandingkan dengan tuntutan hukuman bagi terdakwa lainnya yang hanya dituntut satu setengah tahun sehingga putusan majelis hakim jatuh menjadi pidana sepuluh bulan penjara bagi Kosmos Damanik, Ardin Manalu, Dimpos Sinaga serta Basri Siregar.
“Sementara mereka ini yang bertindak membabat kayu milik Masrinta Uli boru Purba, begitu juga mafia kayu yang sebenarnya pelaku utama kasus ini malah dilindungi,” ungkap Marulam.
Kronologis perkara ini, kata dia, berawal dari seorang pengusaha kayu bernama Mangatas Silaen, oknum anggota DPRD di Tobasa. Lelaki ini diketahui adalah warga jalan Komando, Kecamatan Sitalasari Kota Pematangsiantar. Mangatas kemudian menjalin kerjasama dengan Japestaman Purba dan Ramson Purba. Keduanya kemudian menyuruh empat orang yang telah dipidana tersebut untuk menebang dan memotong kayu milik Marsinta Uli boru Purba dengan menggunakan alat berat milik Mangatas Silaen. Sebagi upah, sang pengusaha memberi keempat buruh lepas tersebut upah sebesar Rp250 ribu per kubik.
Belakangan, korban Marsinta Uli selaku pemiliki kayu, merasa keberatan kayunya dijarah. Kemudian wanita itu mengadukan aksi penebangan itu pada 12 Nopember tahun 2007 lalu ke Polres Simalungun dengan nomor pengaduan No Pol:LP/712/XI/2007 Simalungun. Mendapat laporan pengaduan ini, petugas kepolisian langsung mengincar dan berhasil menangkap keempat pelaku itu untuk diproses secara hukum. Namun, dari hasil pemeriksaan kepolsian, keempat pelaku pencurian kayu ini menuduh Japestaman Purba alias Pestaman Purba (31), yang juga warga di Huta Raja Nagori Pematang Purba, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun, yang menyuruh mereka mencuri kayu tersebut. Sedangkan pengakuan Japesman Purba sendiri bahwa dirinya tidak ada menyuruh bahkan tidak mengenali ke empat pencuri kayu itu.
Akibat adanya keterangan seperti itu, Japestaman pun akhirnya ditangkap dan ikut menjalani proses hukum, sedangkan Ramson Purba yang dikenal sebagai oknum pengaju IPKTM di sekitar lahan tersebut sampai saat ini tidak juga disentuh oleh hukum.
Setelah sebulan ditahan, keluarga Japestaman mendatangi kantor Ikatan Advokad Indonesia (Ikadin) Kota Pematangsiantar memohon bantuan hukum. Sejak itu kasus ini langsung ditangani ketua Ikadin Siantar melalui Marulam Pandiangan. Saat itu Marulam langsung meminta kepada Kapolres Simalungun agar Kosmos Damanik dkk serta Si pengusaha, Mangatas Silaen ditahan beserta alat-alat yang digunakan di TKP. Sialnya, pihak Polres Simalungun tidak sepenuhnya memenuhi permintaan ini dan hanya menahan Kosmos Damanik dkk sementara Mangatas Silaen tidak ditahan. Alat yang digunakan mencuri kayu itu juga tidak disita. Kondisi ini akhirnya menimbulkan kecurigaan, apalagi setelah berkas mendadak dilimpahkan ke Kejaksaan yang ditangani Jaksa, Josron S Malau. Melihat kejangalan ini, Marulam berasumsi, jaksa telah melakukan persekongkolan dengan penyidik Polres Simalungun.
Setelah kasus bergulir ke pengadilan, majelis hakim manjatuhkan hukuman kepada Kosmos Damanik dkk sepuluh bulan penjara. Khusus Japestaman, dia diputus dua tahun penjara. Mendapat putusan yang dianggap tidak mencerminkan keadilan itu, Japestaman melalui kuasa hukumnya menyatakan banding. Alasannya, keterangan para saksi korban dan sembilan orang saksi lainnya dalam dipersidangan tidak ada yang menyatakan Japestaman menyuruh melakukan aksi pencurian dan pengerusakan kayu tersebut.
Selain itu merasa dirinya diperlakukan secara tidak adil, Japestaman Purba melalui penasehat hukumnya Marulam Pandiangan, langsung mengadukan Josron S Malau ke Komisi Kejaksaan dengan tembusan surat ke Jaksa Agung. tak ketinggalan, penyidik dari Polres Simalungun turut diadukan ke Komisi Kepolisian. (ren/man)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar