Kejaksaan Simalungun Jerat Trafficking yang Meragukan

Jaksa Penuntut Umum Pengganti Janmaswan Sinurat SH

Majelis Sidang yang diketuai AM.Siringoringo SH dan Panitera pengganti Boby

Penasehat Hukum Terdakwa Aslia Robianto Sembiring SH



Para terdakwa dari kiri ke kakan, Linda, Dinar, Sonty, V.S.Moorthy dan Isterinya Malathi Alagu





Jerat Trafficking yang Meragukan
Awal Januari 2008 lalu, Linda boru Sijabat dan saudaranya Dinar boru Panjaitan sengaja berkunjung ke Saribudulok, Simalungun. Tujuan kedua warga Jalan Medan, Pematangsiantar ini adalah untuk bertahun baru ke rumah mertuanya. Tak ada persoalan saat itu. Namun kunjungan ke rumah mertua tersebut, akhirnya menjadi persoalan rumit. Tak hanya mereka berdua yang terlibat, saudaranya yang lain, Sonty boru Sijabat, warga Tebing Tinggi, serta sepasang suami-isteri, V Sathia Moorty dan isterinya Malathi Alagu alias Melati, keduanya warga Petaling Jaya, Malaysia, turut terlibat.
Kelimanya didakwa terlibat dalam kasus trafficking (perdagangan orang) dengan ancaman hukuman sepuluh tahun penjara. Namun ada yang aneh dalam kasus ini. Kelima terdakwa menuding, mereka sengaja dijebak oleh seorang oknum polisi yang ingin melakukan pemerasan terhadap kenalan mereka, yakni pasangan suami-isteri asal negeri jiran tersebut. Persoalan pun bergulir hingga ke Pengadilan Negeri Pematangsiantar, masing-masing dalam berkas terpisah. Pekan lalu, giliran Sathia Moorthy dan isterinya Malathi Alagu alias Melati yang disidang walau sidangnya batal karena Jaksa Penuntut Umum terlambat hadir.Benarkah kasus ini adalah rekayasa oknum-oknum tertentu untuk memperoleh sejumlah uang dengan cara tak halal?
Versi Jaksa Penuntut Umum
Dalam surat tuntutan Jaksa dikatakan, kasus yang melibatkan kelima terdakwa bermula pada 8 Januari 2008 lalu. Linda dan Dinar yang sedang berkunjung ke rumah mertuanya di kawasan Saribudolok, bertemu dengan Loraida boru Haloho, warga Dusun Salbe, Simalungun. Saat itu menurut versi Jaksa, perempuan yang dikatakan baru berumur 15 tahun itu sedang berada di kantin sebuah pabrik kerupuk ubi di Pematang Purba Simalungun. Tujuanya untuk berlindung dari guyuran air hujan yang turun saat itu.
Secara kebetulan, Linda dan Dinar bertemu dengan Loraida di kantin itu. Sambil menunggu hujan reda, mereka terlibat dalam obrolan. Lima belas menit berselang, Linda menawarkan sebuah pekerjaan di sebuah koperasi simpan pinjam di Kota Siantar, sedangkan Dinar menawarkan pekerjaan di sebuah perusahaan VCD di Siantar. Mendengar tawaran kedua wanita itu, Loraida mulai curiga. Namun atas bujuk rayu kedua wanita ini, akhirnya saksi korban bersedia untuk ikut ke Kota Siantar.
Sesampai di Siantar sekitar pukul 18.30 WIB, Linda boru Sijabat, Dinar boru Panjaitan dan Loraida boru Sihaloho bertemu dengan Sonty boru Sijabat. Ketika melihat Loraida, Sonty tiba-tiba menawarkan pekerjaan sebagi pembantu rumah tangga di negeri Malaysia kepada saksi korban. Gajinya mencapai satu juta perbulan, plus dibelikan baju dan kalung baru. Namun korban tidak menjawab. Kecurigaannya makin bertambah. Malamnya, sekitar pukul 21.00 WIB, Sonty mengajak Loraida ke Kampung Manggis, Tebing Tinggi, yang menjadi kediaman Sonty selama ini. Sesampai di sana, Sonty kemudian mengontak Malathi Alagu di Malaysia via telepon seluler. "Ini loh kak, aku udah punya beberapa budak yang ingin dipekerjakan di Malaysia," ucap Sonty saat itu. Kemudian Malathi Alagu menyuruh wanita ini mengontak seseorang bernama Martha di Kota Medan.
Mendengar ucapan itu, Loraida makin ketakutan dan ingin melarikan diri. Belum sempat menghubungi Martha, tiba-tiba seorang tetangga memberitahukan kalau Linda ditangkap polisi karena anak yang dibawa Sonty ke rumahnya tidak punya ijin dari orangtuanya. Tak lama berselang, suami Dinar boru Panjaitan, Antonius Sihite, kembali menghubungi Sonty dan meminta agar Loraida dipulangkan. Dinar pun menyuruh hal yang sama. Tetapi sebelum saksi korban pulang, Sonty sempat berpesan agar Loraida tidak memberitahukan kalau dirinya akan dikirim sebagai pembantu ke Malaysia.
Malam itu juga, Antonius menjemput Loraida dari kediaman Sonty dan menyerahkan korban ke Mapolres Simalungun.
Begitu sampai di Mapolres, Antonius kembali menghubungi Sonty dan memberitahukan kalau dirinya sudah bertemu dengan orangtua Loraida. Sayangnya orangtua Loraida menolak berdamai. Kamis 10 Januari 2008, sekitar pukul 17.00 WIB, petugas kepolisian menjemput Sonty dari rumahnya dan menahan wanita itu. Untuk menyelidiki kasus ini, Jumat 11 Januari 2008, petugas kepolisian melakukan jebakan dengan membawa terdakwa untuk bertemu dengan Malathi Alagu dan Sathia Moorthy yang berjanji akan datang ke Medan pada 11 Januari 2008 untuk melihat Loraida.
Di tengah perjalanan, telepon genggam Sonty berdering. Ternyata yang menghubungi adalah pasangan suami isteri asal Malaysia tersebut. Mereka berjanji untuk bertemu di Hotel Antares, Jalan Sisingamangaraja, Medan. Terdakwa dan kenalannya asal Malaysia tersebut akhirnya bertemu di loby hotel. Tak lama kemudian, mereka meluncur ke Kota Siantar. Sesampai di jalan Pendeta Wismar Saragih, Sonty menuju sebuah rumah dan menunjukkan tujuh orang perempuan yang menunggu di sana. Salah satunya adalah Loraida. Kedua pasangan suami-isteri itu masih sempat menasehati ketujuh wanita yang akan dipekerjakan di negaranya tersebut. Tak lama kemudian, mereka berbincang dengan Sonty untuk menyepakati pembayaran. Saat itu Malathi Alagu menyerahkan uang sebesar 600 Ringgit Malaysia kepada Sonty dengan perjanjian kekurangannya akan ditransfer melalui bank. Melihat tangkapannya sudah masuk jebakan, petugas kepolisian kemudian melakukan penggerebekan. Petugas menangkap ketiga teradakwa bersama barang bukti berupa uang kontan senilai 600 Ringgit Malaysia, sebuah Hp merek Nokia type 6070 dan sim card-nya.
Banyak Kejanggalan
Menyimak tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), kuasa hukum kelima terdakwa, Aslia Robianto Sembiring SH menyatakan, kelima kliennya sengaja dijebak dan dijadikan sasaran pemerasan oleh beberapa orang oknum polisi.
Menurut Robianto, kasus ini bermula pada 6 Januari 2008 lalu sekitar pukul 16.30 WIB. Saat itu, Loraida dimarahi orangtuanya karena menghabiskan uang sekolahnya. Dua hari berselang, wanita itu memutuskan pergi dari rumah untuk mencari pekerjaan. Akhirnyanya dia memutuskan untuk pergi ke pabrik pembuat keripik ubi di Pematang Purba, Simalungun. Ternyata di sana tidak ada lowongan pekerjaan. Sore sudah tiba, Loraida kebetulan bertemu dengan Dinar Panjaitan dan Linda Sijabat.Saat itu, saksi korban sambil menangis memohon kepada kedua wanita itu agar dia ikut bersama mereka. Melihat kondisi itu, Loraida pun dibawa ke rumahnya di Siantar. Sesampai di Sintar, tepat menuju simpang ke rumahnya, mereka bertemu dengan Sonty Sijabat, kakak kandung Linda br Sijabat. Sonty memang sengaja datang ke rumah adiknya tersebut untuk menanyakan kenapa tak datang bertahun baru ke rumahnya di Tebing Tinggi.
Setelah mendapat penjelasan kalau mereka baru saja pulang dari rumah mertuanya di Saribudolok,
Sonty kemudian menanyakan siapa wanita yang bersama mereka. Keduanya pun menceritakan soal keberadaan Loraida. Mendengar kisah Loraida yang sengaja lari dari rumah karena dipukuli bapaknya, Sonty menawarkan agar saksi korban tinggal di rumahnya untuk menjaga anak-anaknya dan ibunya yang sedang sakit. Loraida pun setuju dan akhirnya berangkat ke Tebing Tinggi bersama Sonty.
Namun pada 9 Januari 2008 malam, suami Dinar Panjaitan menjemput wanita tersebut dari rumah Sonty dan selanjutnya diserahkan ke kantor Polres Simalungun. Setiba di sana, ayah Loraida sudah menunggu. Esok harinya Loraida pulang ke kampungnya bersama orangtuanya. Pada 11 Januari 2008, Loraida kembali ke kantor Polisi. Di kantor Polisi Loraida mengaku, dia ikut dengan Linda dan Dinar untuk mencari perlindungan karena tidak ada tempat tinggal. Namun beberapa saat kemudian, Loraida dibawa oleh seorang anggota Polisi bernama Suwandi Sinaga ke salah satu rumah dengan mengendarai mobil kijang warna merah. Sesampai di rumah tersebut, dia mendapatkan enam orang perempuan yang dia tidak kenal. Dari sinilah kasus ini bermula.
Anehnya menurut Jaksa Penuntut Umum, Malathi dan Suaminya V.Sathia Moorthy tiba di Pematangsiantar pada 8 Januari 2008. Padahal, sesuai dokumen atau paspornya, kedua terdakwa baru tiba di Kota Medan pada 11 Januari 2008 pukul 8.30 WIB. Tujuan kedua terdakwa pun bukan untuk mengurus Loraida yang ingin bekerja di Malaysia, melainkan mengunjungi keluarganya yang baru saja kemalangan, Rama Moorthy, yang tinggal di Medan.
Keanehan lainnya, Kata Robianto, dalam surat tuntutannya, Jaksa menyebutkan Sonty Sijabat berserta Malathi dan suaminya V.Sathia Moorthy ditangkap di Jalan Pendeta Wismar Saragih saat melakukan transaksi atas tujuh perempuan--termasuk Loraida--untuk diperkejakan di Malaysia. Rumah yang dijadikan tempat kejadian perkara adalah rumah milik seorang oknum polisi, bukan rumah milik Sonty seperti disebutkan dalam tuntutan.
Lebih jauh dipaparkan kuasa hukum terdakwa, setelah dikembalikan kepada orangtuanya, pada 11 Januari 2008, tiba-tiba Loraida sudah berada di salah satu rumah di Jalan Pendeta Wismar Saragih. Keberadaan perempuan itu di sana setelah dibawa seorang petugas kepolisian bermarga Sinaga. Memang di sana, Loraida bertemu dengan enam perempuan lainnya yang sama sekali tak dikenalinya. Tak lama kemudian, atas petunjuk Loraida, Sonty bersama kedua warga negara asing itu datang ke rumah itu.
"Polisi sengaja menjadikan Loraida sebagai umpan untuk menjebak klien saya. Tak mungkin terdakwa (Malathi dan Sathia Moorthy,red) bisa membawa ketujuh perempuan itu karena mereka tidak punya paspor.Kalau pun dikatakan mau diurus, keduanya cuma punya waktu dua hari di Indonesia. Hal ini sesuai dengan boking tiket yang dimiliki keduanya. Lagi pula, kunjungan dua hari kedua terdakwa adalah hari libur, jadi sangat tak mungkin untuk mengurus adminitasi paspor ketujuh perempuan itu," paparnya.
Kejanggalan lain, lanjut Robianto, barang bukti berupa uang yang dijadikan polisi sebagai barang bukti adalah hasil rekayasa juga. Keberadaan uang itu bermula ketika ketiga terdakwa berada di rumah tersebut. Menyadari mereka dijebak, ketiga terdakwa tidak bisa berbuat apa-apa. Saat itu, Teddy Purba dan Surjit Saputra--keduanya petugas kepolisian--memaksa agar Sonty meminta uang kepada Sathia Moorthy. Jika uang tak diberikan, kedua pasangan suami-isteri itu tak bakal diijinkan kembali ke Medan. Mendengar ancaman itu, Sathia Moorthy pun menyerahkan uangnya sebanyak 600 Ringgit Malaysia kepada Sonty. Begitu uang berada di tangan Sonty, polisi langsung melakukan penangkapan.
"Dalam surat tuntutannya, Jaksa menyebutkan kalau saat itu Sathia Morthy sempat memfoto ketujuh perempuan yang akan diberangkatkan ke Malaysia tersebut. Tapi dalam sidang, kamera milik terdakwa tidak disita sebagai barang bukti dalam perkara ini. Dalam kasus traficking, bukti foto merupakan bukti sangat penting dalam persidangan. Lagi pula, enam perempuan lainnya yang disebut-sebut juga akan dikirim ke Malaysia tidak dapat dihadirkan dalam sidang dengan alasan sudah pindah dan alamatnya tidak diketahui. Surat keterangan dari Lurah yang menyebutkan mereka sudah pindah sangat berbeda dengan surat keterangan standar kelurahan di Pematangsiantar. Selain itu, si pemilik rumah yang dijadikan sebagai tempat kejadian perkara tak diperiksa sebagai saksi. Rumah yang disebut sebagai TKP juga tak jelas nomornya, RT atau RW. Yang dijelaskan hanya alamat rumah itu di Jalan Pendeta Wismar Saragih. Apakah memang rumah atau pasar, itu juga tak dijelaskan. Jadi patut kita duga, kasus ini sarat dengan rekayasa antara kepolisian dan kejaksaan," sebutnya.
Robianto juga memaparkan, Malathi Alagu memang bekerja sebagai agensi P&V SDN.BHD yang resmi dari pemerintah Malaysia. Tugasnya menyalurkan tenaga kerja sesui dengan prosedur resmi dari pemerintah Indonesia dan Malaysia. "Bukti soal pekerjaan Malathi juga kita lampirkan dalam sidang. Logika lainnya, tak mungkin pasangan suami-isteri itu sengaja hadir ke Siantar atau Medan hanya untuk menjemput Loraida. Tentunya dari segi biaya, jelas sangat tidak ekonomis," katanya.
Hal lainnya, lanjutnya, sesuai keterangan ayah Loraida, Jawardin Sihaloho, pada 6 Januari 2008, dirinya memang memarahi anak perempuannya karena menghabiskan uang sekolahnya dan kemudian lari dari rumah untuk mencari pekerjaan di pabrik kerupuk ubi di Pematang Purba. Setelah dicari, 9 Januari 2008, Loraida ditemukan di kantor polisi. Besoknya, pria itu membawa anaknya pulang ke kampungnya di Dusun Salbe. Namun pada 11 Januari 2008, dia kembali membawa anaknya ke kantor polisi untuk kepentingan pemeriksaan.
"Loraida juga bukan berumur lima belas tahun seperti disebutkan Jaksa dalam tuntutannya. Dia lahir 19 April 1992 sesuai dengan bukti dalam berkas perkara," katanya.
Tak Tepat Waktu
Sidang perkara kasus traficking yang melibatkan kelima orang terdakwa, memang cukup melelahkan. Penyebabnya, sejak sidang perdana digelar beberapa waktu lalu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) sering kali terlambat hadir dalam sidang. Tak tanggung-tanggung waktunya. Jadwal sidang yang seharusnya direncanakan pukul 11.00 WIB, malah molor jadi sore harinya sekitar pukul 17.00 WIB. Bahkan pekan lalu, sidang ditunda karena Majelis Hakim bosan menunggu JPU yang tak juga hadir dalam persidangan hingga sore hari.
Dalam gelar sidang Selasa pekan lalu, Ketua Majelis Hakim, AM.Siringoringo SH memerintahkan kepada JPU, Maria Magdalena Sembiring SH dan Janmaswan Sinurat SH, agar tepat waktu hadir dalam sidang selanjutnya. Jaksa Penuntut Umum berjanji akan tepat waktu seperti yang sudah disepakati yakni pukul 11.00 Wib pada tanggal 29 Juli 2008 mendatang. Sebelum sidang dibatalkan, kedua JPU sempat membujuk rayu Ketua Majelis Hakim di depan Kantor Pengadilan Negeri Pematangsiantar untuk menggelar sidang, namun ditolak. (tumanggor)

Kesaksian Sonty
Saya Dipaksa dan Diancam
Kepada localnews, Sonty Sijabat menceritakan: Pada 10 Januari 2008 lalu, saya ditangkap polisi saat berbelanja di Kota Tebing Tinggi. Saat di perjalanan menuju kantor polisi, HP saya diminta polisi. Tak lama kemudian ada pesan yang masuk ke HP saya. pesaitu berasal dari Malathi yang mengatakan kalau besoknya dia turun ke Medan. Saya bermaksud membalas SMS tersebut untuk mengatakan, tak boleh jumpa dengan saya karena saya ada masalah. Tapi polisi menyuruh saya agar membalas SMS tersebut dengan mengatakan: datanglah kak biar saya jemput. Lalu Malathi menjawab: Oke!
Besok paginya saya dipaksa Polisi untuk menjemput Malathi ke Medan. Di sepanjang perjalanan, saya diintimidasi dengan mengatakan: Kamu harus bisa menjerat Malathi, kalau tidak kamu akan susah. Kalau kamu bisa membawa Malathi ke Siantar, kamu akan tertolong. Saya selalu menangis karena saya terus diancam Polisi. Polisi kemudian menyediakan dua buah mobil, lalu saya dipaksa untuk mengatakan kepada Malathi setelah ketemu nantinya kalau mobil satu lagi saya sewa dan satu lagi sponsor untuk membuat paspor. Saya selalu menangis karena Polisi merencanakan sesuatu yang tidak benar, padahal si Malathi tidak tau apa-apa.
Di perjalanan kami masuk ke satu rumah yang tak saya kenal di Kota Medan. Di bawah ancaman, saya disuruh ganti baju dan ganti kolor. Setelah saya memakai pakaian yang disediakan Polisi, kami pergi ke Hotel Antares, Medan. Sebelum sampai di Hotel Antares, saya kembali dipaksa Surjid Syahputra dan Teddy Purba (oknum Polisi) untuk mengatakan kepada Malathi kalau mereka itu pembantu saya. Saya berhasil membawa Malathi dan suaminya ke siantar. Setelah sampai di Siantar, kami masuk ke salah satu rumah. Tiba-tiba kami melihat perempuan tujuh orang. Enam diantaranya tak saya kenal, sedangkan salah satunya adalah Loraida. Polisi Menyuruh saya meminta uang kepada Malathi dan suaminya. Saat itu saya mengatakan uang tersebut untuk membayar sewa mobil. Awalnya Malathi tidak mau memberikan uang itu karena dia bilang dia tidak punya uang.
Namun karena saya di bawah ancaman, saya memaksa Malathi memberikan uang itu untuk membayar sewa mobil. Dalam keadaan terpaksa, akhirnya Malathi menyerahkan uang sebanyak RM 600. Setelah uang itu dikeluarkan Malathi, mereka langsung buat penangkapan untuk kami dan uang itu dijadikan barang bukti. (tumanggor)

Kesaksian Malathi dan Suaminya V.Sathia Moorthy
Kami Dicoba Diperas
Bagaimana sebetulnya hubungan pasangan suami-isteri asal Malaysia ini dengan Sonty boru Sijabat? Kepada localnews, kedua wara negara tetangga ini memaparkan, awalnya mereka mengenal Sonty pada akhir Desember 2007 lalu, melalui tetangganya di Malaysia bernama Sanggeetha. Sang tetangga merupakan teman Sonty. Sebelum berangkat ke Indonesia, Malathi memang menghubungi Sonty agar menjemput mereka di Bandara Polonia.
"Kami boking tiket berangkat tanggal 11 Januari 2008 dan pulang kembali tanggal 12 Januari 2008. Saya dan suami saya tiba di Medan tanggal 11 Januari 2008 Pukul 08.30 Wib. Saya dan suami ke Indonesia untuk kunjungan keluarga ke rumah saudara kami bernama Rama Moorthy. Isterinya baru meninggal dunia. Itu bisa dibuktikan dari paspor kami," tandasnya.
Karena Sonty belum datang, pasangan suami isteri ini memutuskan berangkat ke Hotel Antares Medan dengan menyewa taxi. Dari Hotel Antares, Malathi kemudian menghubungi Sonty untuk memberitahukan posisi mereka di hotel yang berada di Jalan Sisingamangaraja, Medan tersebut. Beberapa saat kemudian Sonty datang dengan membawa mobil. Ternyata di dalam mobil ada dua orang laki-laki, masing-masing menyopiri kedua mobil jenis kijang itu. "Kami berjumpa dan berbicara di loby hotel. Saat itu saya membatalkan kunjungan ke rumah rekan saya bernama Martha di Medan karena Sonty mengajak kami berkunjung ke rumahnya di Tebing Tinggi. Namun dalam perjalanan, saya dan suami bukannya ke rumah Sonty, tetapi dibawa ke Pematangsiantar. Selama di perjalanan, saya bersama suami memang sudah curiga, tetapi karena si Sonty meyakinkan, kami mengikut begitu saja. Sesampai di salah satu rumah di Kota Siantar, saya mendapatkan di rumah tersebut ada tujuh orang perempuan yang tidak kami kenal," sebut Malathi.
Di rumah tersebut, Sonty memaksanya menyerahkan uang dengan alasannya untuk membayar sewa mobil yang mereka gunakan tadi. Saat itu saya menjawab kepada Sonty,“ Kenapa tidak di Medan saja kamu minta uangnya, di sini kan saya tidak bawa uang". Beberapa saat kemudian salah seorang dari pria yang menyopiri mobil itu mengatakan kepada wanita ini, jika uang tersebut tidak diberikan, mereka tidak akan mengantarkan pasangan itu kembali ke Medan. "Dalam keadaan terpaksa, saya pun menyerahkan uang kepada Sonty. Saat saya menyerahkan uang itu, datanglah sejumlah Polisi menangkap kami," katanya.
Di tengah perjalanan, papar Malathi, oknum Polisi tersebut meminta uang kepada dirinya. "Kita runding atau nego saja disini,” kata terdakwa menirukan ucapan si oknum polisi tadi. Lalu saya menjawab,”Kalau saya salah, bawa saja saya ke kantor polisi. Belakangan menurut pengakuan Sonty kepada saya, dia melakukan semua itu karena dipaksa dan diancam oleh oknum Polisi tersebut. Akhirnya dibawa kami ke Polres Simalungun," sebutnya. (tumanggor)

Kasus Trafficking di Sumut
Setahun sudah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) disahkan oleh Pemerintah Indonesia. Kehadiran UU ini membawa angin segar bagi aparat penegak hukum dan penggiat pendampingan korban perdagangan manusia dalam menangani kasus-kasus perdagangan manusia yang terjadi saat ini. Meskipun demikian, masih banyak pihak terutama stakeholder (pengambil keputusan) yang terkait dalam penanggulangan trafficking memiliki pemahaman terbatas tentang trafficking. Oleh mereka, trafficking masih dipahami sebatas perdagangan perempuan Indonesia untuk tujuan eksploitasi seksual atau dijadikan sebagai pekerja seks komersial (PSK). Trafficking juga juga dalam bentuk pekerja rumah tangga baik di dalam maupun di luar negeri, situasi kerja paksa, eksploitasi ekonomi, menjadikan sebagai pekerja anak jalanan, atau pengambilan dan penjualan organ tubuh yang sangat sulit dalam pengungkapan kasusnya.
Propinsi Sumatera Utara sebenarnya merupakan salah satu propinsi yang cukup terdepan dalam advokasi penanganan permasalahan trafficking. Tiga tahun sebelum disahkannya UU No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO tersebut, Pemprovsu telah mengeluarkan 2 (dua) Peraturan Daerah, yaitu Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2004 tentang Larangan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak dan Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak. Setahun kemudian, Pemerintah Propinsi Sumatera Utara mensahkan Rencana Aksi Propinsi Sumatera Utara untuk Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAP.P3A) dengan Peraturan Gubernur No. 24 Tahun 2005. Pengesahan tersebut diikuti dengan dibentuknya Gugus Tugas Propinsi sebagai Pelaksana Rencana Aksi dimaksud, yang merupakan kolaborasi dari unsur pemerintah, aparat penegak hukum, akademisi dan lembaga swadaya masyarakat.
Kendati sudah banyak upaya dilakukan oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Utara untuk memerangi aksi trafficking tersebut, namun kasus traffciking di daerah ini justru tidak mengalami penurunan yang signifikan. Walaupun diketahui peningkatan itu juga dipengaruhi letak geografis Sumut yang menyandang tiga fungsi, yaitu sebagai daerah pemasok (asal), daerah transit dan daerah tujuan sindikat perdagangan manusia di Indonesia. Dalam kenyataannya, banyak korban yang berasal dari daerah Jawa dan Nusa Tenggara yang menjadi korban atau terungkap kasusnya di Propinsi Sumatera Utara.
Pertanyaannya adalah, apakah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara tidak bertanggung jawab terhadap korban yang bukan merupakan warganya dan sejauhmana pertanggungjawaban tersebut yang tentu akan banyak berimplikasi pada persoalan yang lain misalnya dana untuk rehabilitasi dan reintegrasi korban. Misalnya kasus 14 (empat belas) korban trafficking asal Jawa Barat dan Jawa Tengah yang didampingi Pusaka Indonesia pada Februari 2008 lalu. Pusat Pelayanan Terpadu Penanganan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang berfungsi sebagai shelter tidak maksimal memberikan pelayanan kepada korban karena minimnya dukungan yang diberikan APBD. Demikian juga untuk dana reintegrasi korban ke keluarganya, tidak ada satupun instansi yang dapat menjamin pengalokasiannya karena tidak adanya cost untuk kegiatan tersebut. Kondisi ini tentu mengalami penurunan di banding Tahun Anggaran 2006 yang mengalokasikan dana bagi penanganan korban trafficking.
Dengan telah disahkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), Peraturan daerah No. 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Traffciking) Perempuan dan Anak, serta Rencana Aksi Propinsi tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAP.P3A) dan Pembentukan Gugus Tugas sebagai pelaksana RAP, tentu bukan merupakan akhir dalam menjawab kasus-kasus trafiking. Hal yang paling penting adalah komitmen untuk tetap melaksanakan isi RAP.P3A sesuai dengan tupoksi lembaganya masing-masing, serta melakukan evaluasi terus menerus terhadap kinerja yang dilakukan guna memberikan perlindungan bagi korban trafiking dan mengeliminir jatuhnya korban traffciking.
Deskripsi Temuan
Berikut dikemukakan beberapa data yang menjunjukan bahwa kasus-kasus trafficking kerap terjadi di Sumatera Utara, terhitung sejak 1 Januari – 31 Maret 2008. Dalam kurun waktu tiga bulan pertama terdapat 34 kasus trafficking. Angka-angka tersebut merupakan hasil inventaris berita (kliping) dari tiga harian yakni Sumut Pos, Analisa, dan Waspada serta kasus-kasus yang ditangani Pusaka Indonesia.
NO USIA KORBAN JUMLAH
1 01 - 03 Tahun 2
2 13 - 14 Tahun 1
3 15 - 16 Tahun 9
4 17 - 18 Tahun 4
5 19 - 20 Tahun 4
6 21 - 22 Tahun 4
7 23 - 24 Tahun 4
8 24 - 25 Tahun 2
9 25 Keatas 3
10 Tidak diketahui
Total 34
Dari 34 kasus trafficking yang terdata dapat disimpulkan, setiap bulannya rata-rata terjadi 12 kasus trafficking tiap bulannya. Dari 34 kasus tersebut, 18 diantarnya ditangani oleh Pusaka Indonesia dan sampai saat ini kasus tersebut masih ditangani oleh pihak Poldasu. Tiga tersangka sudah ditahan Poldasu diantaranya pemilik lokalisasi, supir ALS, dan satu orang yang merupakan kaki tangan yang menjemput korban dari terminal bus antarkota di Medan untuk dibawa ke lokalisasi Barak EKA di Bandar Baru. Ketiga tersangka diancam dengan UU No. 21 tahun 2007 tentang Perdagangan Manusia dengan ancaman 3 -15 tahun penjara.
Hasil investigasi Pusaka Indonesia dan proses pendataan terhadap korban diketahui, anak dan perempuan jadi korban trafficking biasanya mereka sulit keluar dari situasi yang membelenggu mereka. Hal ini karena latar belakang pendidikan yang rendah, kurangnya akses terhadap perlindungan hukum, dan keberanian untuk melawan atau lari dari jaringan yang mengeksploitasinya. Data Pusaka Indonesia menyebutkan, usia korban yang rentan menjadi korban traffciking adalah usia 15-16 tahun sebanyak 9 kasus, berikutnya usia 17 – 24 tahun masing-masing 4 kasus.
Selain itu Pusaka Indonesia juga mencatat, perdagangan bayi di triwulan pertama ini mulai menebar ancaman bagi kita semua. Dari tabel di atas dimana terlihat perdagangan bayi yang berusia 0-3 tahun telah ditemukan 2 kasus, dan ini menjadi warning bagi kita semua, mengingat kasus-kasus trafficking seperti gunung es.
NO USIA PELAKU JUMLAH
1 Dibawah 20 Tahun 1
2 21 – 25 Tahun 3
3 26 – 30 Tahun 1
4 31 – 35 Tahun 2
5 36 – 40 Tahun 5
6 46 – 50 Tahun 1
7 51 – 55 Tahun 1
8 Tidak diketahui 11
Total 25
Terdapat perbedaan jumlah korban dengan jumlah pelaku, hal ini disebabkan karena ada beberapa kasus yang pelaku satu tetapi korban lebih dari satu. Berdasarkan tabel diatas pelaku trafficking yang paling menonjol berusia 36 – 40 tahun dan paling sedikit berusia 51-55, Tidak diketahui usia juga menjadi catatan, karena kebanyakan beberapa media diatas acap kali tidak menyebutkan usia pelaku.

NO HUBUNGAN PELAKU JUMLAH
1 Calo/Agen 8
2 Teman 2
3 Teman Baru Kenal 5
4 Germo 1
5 Famili 1
6 Orang Tidak dikenal 6
7 Majikan 2
Total 25
Karesteristik traficker (pelaku) yang paling menonjol adalah para calo atau agen ditemukan 8 kasus, umumnya calo atau agen menjanjikan pekejaan dengan gaji yang cukup mengiurkan. Kasus yang menimpa 4 ABG asal Jawa Barat yang ditangani Pusaka Indonesia awalnya mereka dijanjikan bekerja menjadi Pembatu Rumah Tangga di Medan dengan gaji Dollar, tergiur dengan gaji tersebut akhirnya korban terbuai dan menjadi korban. Teman baru kenal menempati urutan kedua, modus ini dilakukan para traficker untuk membujuk korban, biasanya dilakukan dengan cara mengajak jalan-jalan, makan, setelah terjalin saling percaya maka traficker selanjutnya membujuk korban. Anehnya korban mau saja apa yang diminta oleh traficker tersebut, seolah-olah korban sudah dihipnotis.
Modus baru yang dikenal juga dengan ilmu gendam ini dengan cara seorang perempuan (calon korban) di tepuk pundaknya, diajak berjabatan tangan dan semacamnya oleh orang yang tidak di kenal, lalu korban tidak sadar dan akan menuruti perintah atau ajakan dari si pelaku gendam. Korban baru sadar dan kaget setelah dirinya berada di kompleks lokalisasi. Meskipun modus ini sulit di buktikan dan tidak ditemukan langsung siapa yang menjadi korban, tetapi menurut penuturan para nara sumber pola ini banyak merambah wilayah di Jawa Timur. (Kebijakan dan Program Penanggulangan Women and child Trafficking. Belajar dari Kasus Propinsi Jawa Timur, Bagong Suyanto, Majalah Pledoi Vol. 1 No. 1 Edisi April 2006).
NO DAERAH ASAL JUMLAH
1 Deli Serdang 1
2 Langkat 1
3 Medan 8
4 Serdang Bedagai 1
5 Simalungun/P. Siantar 1
6 Luar Pulau Sumatera 17
7 Tj. Balai 1
8 Binjai 1
9 Tebing Tinggi 1
10 Lampung 1
11 Pekan Baru 1
Total 34
Dari 34 kasus tersebut, 17 diantaranya berasal luar Pulau Sumatera, yakni Jawa Tengah, Lombok, Jawa Barat, diurutan kedua daerah asal korban berasal dari Medan. Hal ini di dasari bahwa Sumatera Utara selain pemasok korban trafiking juga merupakan daerah transit untuk tujuan ke Malaysia dan Riau, daerah ini juga mempunyai lokalisasi yang cukup mengiurkan bagi lelaki hidung belang. Ada dua lokalisasi yang terkenal di wilayah Sumatera Utara yakni Bandar Baru Deli Serdang dan Bukit Maraja Simalungun selain tempat tempat objek wisata lainnya seperti Parapat yang dikenal Danau Tobanya, Berastagi dan lainnya. Hal ini dapat dilihat dari tabel dibawah dimana lokalisasi Bandar Baru Deli Serdang Sumatera Utara menjadi urutan pertama tujuan traficker untuk menjual para korban trafficking.
NO DAERAH TUJUAN JUMLAH
1 Bukit Maraja / Simalungun 3
2 Bandar Baru /Deli Serdang 14
3 Pekan Baru/Dumai/Riau/Kepri 4
4 Batam 1
5 Malaysia 11
6 Tidak diketahui 1
Total 34
Tujuan akhir korban yang paling dominan dalam kurun tiga bulan terakhir adalah menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK). Dari kasus yang ditangani Pusaka di triwulan pertama ini 14 orang menjadi PSK dan 4 orang yang belum diketahui tujuan akhirnya, karena sebelum sempat berangkat ke Malaysia pihak Poldasu terlebih dahulu mengamankan 4 orang ABG asal Lombok dan Jawa Barat
NO TUJUAN AKHIR JUMLAH
1 PSK 23
2 Pembantu Rumah Tangga 4
3 Perdagangan Bayi / Penculikan anak 2
4 Organ Tubuh -
5 Tidak diketahui 5
Total 34
Kesimpulan dan Rekomendasi
Untuk menanggulangi kasus-kasus trafiking tidak hanya diserahkan kepada pemerintah saja, betapapun telah tersedia sejumlah peraturan perundang-undangan dan kebijakan lokal jika tidak diimplementasikan dengan baik, maka jiwa dan tujuan dibentuknya suatu peraturan tentu tidak akan tercapai. Peran masyarakat sangat dibutuhkan, baik secara kelembagaan maupun perseorangan.Orang tua, guru, tokoh agama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, harus bahu membahu menyadarkan para pihak yang berpotensi terjadinya tindak pidana trafiking.
Dari catatan triwulan pertama diatas perlu dilakukan segera dalam upaya penanganan terhadap korban-korban trafficking diantaranya :
1. Setiap korban trafficking tanpa memandang asal usul kedaerahannya harus diberikan perlindungan dan penanganan yang baik, sehingga korban dapat kembali ke masyarakat, termasuk memberikan jaminan perlindungan dari ancaman pelaku trafficking yang mungkin mengancam keselamatan korban.
2. Upaya penegakan hukum dan penuntutan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap pelaku trafiking, perlu diimbangi dengan memberikan dukungan terhadap para korban trafficking, terutama dalam mencari bukti, perlindungan saksi untuk kebutuhan sidang di Pengadilan.
3. Adanya komitmen dari masing-masing stakeholders yang terlibat dalam Gugus Tugas Propinsi Sumatera Utara untuk mengimplementasikan RAP.P3A yang telah disusun secara bersama, sesuai dengan tupoksinya masing-masing.
4. Perlunya membangun jaringan dan mengembangkan peran dari berbagai stakeholders dalam rangka kerjasama antar Propinsi baik dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi korban, tetapi juga dalam hal pemutusan jaringan trafiking antar Propinsi. (***)

Tidak ada komentar:

Gallery

Gallery