Pro-Kontra Hak Angket DPRD



Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mencari solusi dari sebuah persoalan atau masalah tanpa menonjolkan kekuatan fisik. Tak bisa dimungkiri, solusi inilah yang hendak dicari untuk menuntaskan persoalan yang kini membelit lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif di Pematangsiantar.
Pekan lalu, dua kubu hampir saja terlibat bentrok fisik di Jalan Merdeka, tepatnya di depan Gedung DPRD Siantar. Komite Rakyat Bersatu (KRB) bersuara, keputusan yang diambil DPRD untuk menjalankan hak angket (hak penyelidikan umum-red) tidak tepat. Sementara kubu lainnya yang menamakan kelompoknya Masyarakat Pendukung Keadilan dan Kebenaran, memberi dukungan penuh atas kinerja DPRD untuk menjalankan hak angket agar penyelesaian dugaan KKN proyek rehab bangsal RSU gate segera diselesaikan secara hukum.
Sejak awal, DPRD Siantar telah mencium aroma KKN atas proyek itu dan semakin yakin setelah dipertegas melalui putusan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) yang sudah inkrah (punya kekuatan hukum tetap,red). Surat KKPPU menyatakan, kebijakan termasuk penggunaan wewenang dilakukan Walikota Siantar, RE Siahaan dan Wakil Walikota, Imal Raya Harahap yakni, penyimpangan pelaksanaan tender proyek rehab bangsal RSUD dr Djasamen Saragih yang menggunakan dana dari APBD Propinsi Sumatera Utara (Sumut) tahun 2005 lalu.
Penanganan kasus ini telah diselesaikan KPPU Pusat di Jakarta. Dinyatakan juga, selain pasangan Kepala Daerah Kota Pematangsiantar bersalah, turut juga pihak rekanan, Sudung Nainggolan serta panitia tender proyek ini dipersalahkan. DPRD pun merasa perlu berbicara dan bersikap tegas bagaimana kelanjutan penuntasan kasus ini.
Agar tidak simpang-siur, Jumat pekan lalu, DPRD Siantar menetapkan 17 anggota DPRD untuk diangkat sebagai anggota tim penggunaan hak angket atau yang biasa disebut hak penyelidikan umum untuk mengungkap tabir RSU Gate tersebut. Tim angket dilegitimasi dengan Surat Keputusan DPRD No 10 Tahun 2008 tertanggal 1 Agustus 2008. Surat itu ditandatangani Ketua DPRD Siantar Lingga Napitupulu, Wakil Ketua Saut Simanjuntak dan Sirwan Hazly Nasution.
Pemberlakuan Surat Keputusan ini membuat Komite Rakyat Bersatu (KRB) merasa gerah. Kelompok ini kemudian mendatangi Gedung DPRD guna menyampaikan aspirasi penolakan hak angket. Dengan menggunakan peralatan berupa satu unit mobil untuk mengangkut sound system, mereka menyebarkan kertas selebaran tentang pernyataan sikap mereka. Aksi itu dikoordinir Syamsudin Sembiring.
Kurang lebih satu jam mereka berorasi di depan gedung dewan. Arus lalu lintas pun macet dan memaksa pihak Kepolisian dari Mapolresta Siantar turun menertibkan jalur lalu lintas. Massa pendukung pelaksanaan hak angket berkerumun sambil memblokir gerbang masuk gedung DPRD agar massa dari KRB tidak memasuki gedung dewan. Di lokasi terlihat dengan sebuah keranjang ukuran besar yang biasa digunakan untuk mengangkut hewan ternak babi. keranjang itu ditempatkan persis di depan gerbang pintu masuk.
Mendapat perlawanan dari massa ini, akhirnya KRB bertahan di jalan raya membacakan penyataan sikap mereka sebagai bagian dari masyarakat Siantar. Mereka dengan tegas menolak dan tidak mengakui keberadaan panitia angket yang dibentuk DPRD karena dinilai bertentangan dengan hukum dan peraturan yang berlaku, baik dari sisi substansi maupun sisi tahapan prosedural. Selain menolak kebijakan hak angket, massa KRB juga menuding DPRD yang nota bene telah memberi persetujuan prinsip atas agenda ruilslagh gedung dan asset SMAN 4 malah tidak konsisten dan melempar tanggungjawab ke pihak eksekutif.
Tak hanya itu, tuntutan mereka ini juga semakin melebar yakni mengenai dugaan tindak pidana kasus notulen palsu yang harus ditindaklanjuti oleh penegak hukum. Selain itu, mereka menuntut DPRD untuk menjalankan tugas dan fungsinya dalam menindaklanjuti delapan draft Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) yang telah diajukan oleh Pemerintah Kota (Pemko) Pematangsiantar.
“DPRD jangan hanya terjebak pada kepentingan sempit dan sektoral tapi justru abai pada hal-hal dan kebijakan-kebijakan yang benar-benar dibutuhkan warga,” kata Syamsudin Sembiring saat menyampaikan pernyataan sikap mereka.
DPRD juga diminta menjalankan amanah PP 53/2005 tentang Pedoman Penyusunan Tata-tertib DPRD, Struktur dan Alat Kelengkapannya. “Selamat datang demokrasi sejati, silahkan pergi kepada wakil rakyat palsu, pelaku demokrasi palsu dan segala jenis kepalsuan,” teriak Syamsudin.
Sementara, juru bicara massa dari KRB, Torop Sihombing dan Rocky Marbun usai aksi, menyayangkan sikap kaku yang dipertontonkan anggota DPRD. Tak satu pun anggota dewan bersedia menerima kedatangan mereka. Sialnya lagi, kedatangan mereka malah dihadang oleh massa lain yang mengaku sebagai pihak pendukung hak angket. Maksud kedatangan massa KRB ini sebenarnya ingin mempertanyakan kenapa DPRD langsung menjalankan hak angket tanpa terlebih dulu menjalankan hak interpelasi.
“Kebijakan DPRD jangan meloncat-loncat. Kapan DPRD melakukan interpelasi? Kenapa langsung menggunakan hak angketnya? Kasus RSU sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Biar saja proses hukum berjalan. Kenapa DPRD menjalankan urusan yang bukan lagi dalam kapasitas mereka? Ada apa dibalik semua ini? Kenapa massa KRB mau menyampaikan aspirasi ke gedung DPRD malah dihalang-halangi oleh massa yang ada disana?" tanya Rocky Marbun.
Sementara itu, disela-sela aksi, juru bicara massa yang mendukung segera dilaksanakannya hak angket DPRD Siantar, Imran Simanjuntak menyatakan, mereka tetap komit mendukung DPRD untuk menjalankan hak angket. Pria ini juga menyayangkan aksi yang dilakukan KRB yang disinyalir sengaja mengeksploitasi warga untuk ikut turun ke jalan. Sikap KRB dituding berkaitan erat dengan kepentingan petinggi di Pemko Siantar yang sengaja mengarahkan mereka untuk menolak hak angket.
“Saya duga, mereka (KRB) merupakan perpanjangan tangan oknum-oknum di Pemko Siantar yang gagal dalam pertarungan politik di parlemen. Silahkanlah kalau mau bertarung, ya bertarung di parlemen. Jangan mengeksploitasi massa!” tegas Imran Simanjuntak.
Masih menurut pria yang pernah aktif di dunia aktivis ini, hak angket yang dijalankan DPRD merupakan bentuk keberpihakan DPRD sebagai gerakan politik menghempang kebijakan buruk yang dilakukan Pemko Siantar. “Saya rasa ini paradigma picik Walikota Siantar,” tukasnya.
Menyurati
Ketua DPRD Lingga Napitupulu kepada localnews mengatakan, sejauh ini DPRD telah menyurati pihak kepolisian dan Pengadilan sebagaimana juga dituangkan dalam UU No 6/54 tentang pelaksanaan hak angket. Salah satu unsurnya adalah mendaftarkannya kepada pihak pengadilan.
Dikatakannya, tim DPRD yang diangkat menjalankan hak angket telah bekerja dan telah berangkat ke Jakarta guna mendapatkan cara yang elegan menjalankan hak angket. Mengenai aksi masyarakat dari KRB, Lingga menyatakan sangat menyayangkannya.
“Saya sudah mengingatkan Pak Walikota semalam (sehari sebelum aksi massa) agar beliau jangan memulai hal-hal seperti ini lagi. Saya sudah bosan dengan cara-cara seperti ini. Sudahlah, jangan dipancing lagi!” sebut Lingga.
17 Orang Tim Hak Angket
Sementara itu, mengamati jalannya rapat paripurna istimewa di gedung DPRD, tampak jelas kata interupsi silih berganti. Mereka dominan meminta pimpinan DPRD Lingga Napitupulu dan Saud Simanjuntak segera mengakoomodir pelaksanaan hak angket DPRD.
Menurut Fraksi Barisan Nasional (Barnas) yang diketuai Maruli Silitonga, pihaknya menjamin empat orang anggotanya disertakan dalam tim, sedangkan Fraksi Perjuangan Kebangsaan sebanyak delapan orang dan Fraksi Demokrat lima orang. Saat itu, belum ada keputusan final apakah permintaan hak angket akan dijalankan. Namun berselang beberapa hari--setelah beberapa anggota DPRD pulang dari Jakarta melakukan konsultasi--kembali digelar rapat paripurna.
Hasilnya, Ketua DPRD Lingga Napitupulu, Wakil Ketua Saud Simanjuntak dan Sirwan Hazly Nasution akhirnya membubuhkan tandatangan dalam Surat Keputusan (SK) No 10/2008 tertanggal 1 Agustus 2008 dan mengangkat 17 anggota DPRD bekerja menjankan fungsi hak angket sejak surat putusan itu diterbitkan.
Tim ini diketuai Aroni Zendrato, Wakil Ketua M Yusuf Siregar dan Sekretaris Grace Christiane Saragih. Anggota tim terdiri dari Mangatas Silalahi, Maruli Silitonga, A Mangantar Manik, Mukhtar E Tarigan, Alosius Sihite, Julian Martin, Josmar Simanjuntak, Unung Simanjuntak, Pardamean Sihombing, Muslimin Akbar, Jonny Siregar, Tonggo Sihotang, Dapot PM Sagala serta Toga Tambunan.
Mulai Berjalan
Bahan lainnya yang sedang diselidiki sebagai bentuk proses hukum pidana kini tengah dikerjakan oleh pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Siantar. Lembaga yang dipimpin Nelson Sembiring SH MH ini sedang melakukan penelusuran alias penyelidikan. Ini dilakukan sejalan dengan pelimpahan wewenang penanganan kasus dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyerahkan kasus ini kepada Kejaksaan Agung (Kejagung). Kejagung kemudian melimpahkan tugas itu ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) dan beberapa hari yang lalu pihak Kejatisu menyerahkan tugas ini ke Kejari Siantar.
“Karena locus delictie-nya (tempat perkara) berada di Kota Siantar, Kejari Siantarlah yang akan mengusut kasus ini,” sebut Nelson Sembiring kepada localnews saat ditemui di ruang kerjanya Senin kemarin.
Hanya saja, Nelson belum bisa memberi penjelasan secara rinci apa kira-kira strategi yang akan dilakukan mengusut kasus RSU Gate ini. Demikian juga mengenai putusan dari KPPU yang sudah inkrah pada tahun 2007 lalu, juga belum bisa dikomentarinya berhubung pihaknya belum menerima berkas putusan dari KPPU itu.
“Saya masih baru bekerja di sini. Jadi saya belum paham betul mengenai kasus ini, apalagi soal putusan dari KPPU itu. Saya belum bisa memberi keterangan. Tapi yang jelas besok (hari ini Selasa), kami memulai pemeriksaan. Pokoknya kalian pantaulah di kantor ini siapa yang akan datang untuk diperiksa. Saya tidak bisa memberitahukannya sekarang pada kalian,” kata Nelson.
Putusan KPPU
Sementara, mengenai putusan dari majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada bulan Oktober tahun 2006 lalu telah menetapkan Walikota RE Siahaan dan Wakil Walikota Imal Raya Harahap terbukti bersalah melakukan tindakan persekongkolan dengan pihak rekanan dalam proses tender rehab bangsal Rumah Sakit Umum (RSU) Kota Pematangsiantar dengan menggunakan dana dari APBD tahun 2005 lalu sebesar Rp2 miliar.
Berbagai elemen masyarakat juga beberapa kali berbondong-bondong mendatangi gedung DPRD mendesak membentuk Panitia Khusus (Pansus) terhadap pelanggaran sumpah jabatan dilakukan Walikota RE Siahaan dan Wakilnya Drs Imal Raya Harahap. Desakan itu merujuk pada putuskan hasil pemeriksaan KPPU tertanggal 13 November 2006 yang telah inkrah pada 3 Mei 2007 lalu. Lintas fraksi-fraksi DPRD juga pernah melakukan klarifikasi di bulan Nopember 2007 lalu kepada pihak KPPU soal kebenaran putusan tersebut. Bahkan saat itu Fraksi ini mendapat jawaban bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum menindak lanjuti kasus tersebut sebagaimana rekomendasi dalam putusan KPPU. Barulah beberapa hari lalu di bulan Agustus 2008 pihak Kejari Siantar menerima tuga mengusut kasus ini secara hukum pidana.
Putusan KPPU itu tertuang dalam surat No 06/KPPU-L/2006 oleh majelis yang terdiri dari Erwin Syahril, SH sebagai Ketua Komisi, Dr. Pande Radja Silalahi dan Ir. Mohamad Iqbal sebagai anggota majelis. Merujuk pasal 35 huruf e UU No. 5 tahun 1999, KPPU merekomendasikan KPK mengambil tindakan hukum pidana terhadap Walikota, Wakil Walikota dan Hasudungan Nainggolan selaku pemborong atas kerugian negara senilai Rp 381. 440.000, termasuk panitia tender, Santo Simanjuntak SH dan Ichwan Lubis SH.
Isi putusan lainnya juga menghukum Sudung Nainggalan tak diperkenankan mengikuti tender diselenggarakan oleh Pemko selama setahun sejak putusan mempunyai kekuatan hukum 3 Mei 2007 lalu. Pemborong juga diwajibkan membayar ganti rugi dan menyetorkannya ke kas Negara sebesar Rp. 127.146.666,67 sebagai penerimaan bukan pajak.
Selain itu, surat itu memutuskan Walikota RE Siahaan dan terlapor lainnya secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 UU 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. (ren)

Tidak ada komentar:

Gallery

Gallery