Diskusi Politik Dengan Akbar Tanjung
Mampu Berbuat Tanpa Janji Muluk-muluk
Jalan panjang proses demokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak orde lama, orde baru, hingga era reformasi, masih memerlukan pembenahan secara bertahap sampai ditemukan solusi terbaik mentasi berbagai problem yang dialami negara saat ini. Kelak, masyarakat harus benar-benar merasakan dan menikmati hasil politik yang berimbang yakni, antara hak dan kewajiban dalam negara demokrasi.
Jika direnungkan yang terjadi sebelumnya, proses pendewasaan pemahaman politik--termasuk penerapannya selama ini--tidak sedikit menimbulkan kekecewaan, bahkan penindasan akibat kebijakan otoriter dari elit politik. Untuk itu, perubahan menjelang momen pesta demokrasi yang sudah diambang pintu, partai politik yang sudah dinyatakan lulus verifikasi oleh Departemen Hukum dan HAM serta Komisi Pemilihan Umum (KPU), diharapkan mampu berbuat nyata tanpa janji muluk-muluk. Keterpurukan bangsa yang tengah melanda negeri ini sudah cukup berat. Hutang luar negeri berkepanjangan, aset negara yang dikontrakan pemerintah justru tidak menguntungkan negara. Tak kalah pentinganya, dampak korupsi memerlukan tingkat kesadaran para penegak hukum untuk berpihak pada rakyat.
Baru-baru ini terungkap di berbagai mass media yang memberitakan oknum penegak hukum seperti Jaksa Urip di Kejaksaan Agung, justru terlibat dalam sindikat koruptor. Demikian juga keterlibatan orang terhormat yang duduk di kursi legislatif dan mantan anggota legislatif. Keadaan ini sangat memilukan. Memang beberapa diantara mereka teleh diseret ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menilep uang, seperti aliran dana Bank Indonesia dan dana lainnya.
Jika dicermati, uang yang dikorupsikan pun cukup besar, angka mencaai puluhan miliaran rupiah. Betapa senangnya masyarakat jika uang sebesar itu disalurkan untuk mengatasi keterupurukan ekonomi dan harga bahan makanan dan minyak bumi yang semakin melambung tinggi. Implikasi inilah yang perlu disadari oleh segenap bangsa dengan menyatakan komitmen memberantas pelanggaran hukum skala besar sampai ke tingkat daerah. Menurut kajian, faktor dominan yang bisa mengatasi itu, selain pemerintah, komitmen partai politik harus mengalami transisi dari sifat subjektif menjadi pola objektif. Kasus klasik inilah sebagai gambaran yang harus direalisasikan oleh anak bangsa.
Pernyataan ini disampaikan salah seorang tokoh politik nasional yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tandjung saat menghadiri acara Diskusi Pendidikan Politik Dalam Demokrasi, yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa dan Pemuda Simalungun (Himapsi) Kota Pematangsiantar, pekan lalu di Auditorium Universitas Simalungun (USI) di Jalan SM Raja Barat.
Hal ini disampiakannya, setelah menerima masukan dan kritisan peserta diskusi yang hadir dari berbagai latar belakang dedikasi dan profesi, yang mempertanyaan kira-kira seperti apa yang dapat dilakukan oleh seorang Akbar Tandjung sebagai politisi nasional dalam menentukan arah nasib bangsa ini kelak,.
Penentu Arah Kebijakan
Akbar Tandjung yang pernah diselimuti masalah pelanggaran hukum dan dinyatakan bebas oleh majelis hakim atas dalam dugaan KKN dana Bulog sekitar tahun 2000 lalu menyatakan, sudah saatnya keterpurukan bangsa ini diatasi dengan pembekalan pendidikan politik dalam demokrasi yang fair play (adil).
Menurut putra kelahiran Kota Sibolga ini, pendidikan politik merupakan penentu arah bangsa ini. Setelah ini dipahami, barulah demokrasi yang disuguhkan partai politik dapat dinilai seperti apa entry point yang akan dirasakan sebagai negara urutan ketiga terbesar di dunia. Perubahan baru dalam tatanan politik saat ini, kata dia, bukan hanya partai politik yang mempunyai wewenang dominan untuk menentukan siapa figur calon pemimpin bangsa yang patut diunggulkan masyarakat. Setelah terbitnya UU Pemilu No 10/2008, peraturan ini telah mengakoomodir calon perorangan independen untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin. Demikian seterusnya sampai ke tingkat daerah.
“Perubahan baru ini harus diketahui agar kelak rakyat tidak salah pilih dan tidak lagi merasa kecewa. Ada dua pilihan, apakah utusan dari partai politik atau calon perorangan. Mengenai calon legislatif, banyak pilihan yang akan disodorkan oleh partai politik mengingat jumlah parta yang lulus verifikasi mencapai 34 partai,” jelas Akbar Tandjung.
Akbar juga mengharapkan Kota Pemtangsiantar dan Kabupaten Simalungun dapat menjalankan hak politik melalui seleksi internal pribadi maupun kelompok untuk memilih siapa sebenarnya calon yang memiliki sifat kepemimpinan dan integritas. "Duduk di lembaga pemerintahan harus berbuat efektif dan responsif. Sebagai negara demokrasi, sudah masyarakat menentukan pilihannya sendiri. Artinya, sistim kelembagaan itu terlebih dulu diperkuat, kemudian menelurkan kebijakan mengatasi transisi politik ataupun rejim. Secara bertahap hal ini akan memperkuat institusi dan memperbaiki kekurangan dengan membangun sistim politik dan infrastruktur politik yang baik," sebutnya.
Disadari, dari transisi politik tahun 1999 sampai 2004 lalu, masyarakat masih diselimuti kekecewaan. Masa lalu, yang berdiri tegak hanya tiga partai politik yakni PDIP, PPP dan Golkar. Agar ada perubahan, sudah saatnya masyarakat menentukan pilihan tepat dengan bertambahnya partai politik menjadi 34 partai. Selain mencermati visi dan misi partai, masyarakat juga perlu mencermati kader partai yang diusung sebagai calon legislatif maupun kepala daerah, termasuk calon presiden.
“Apakah selama ini mereka sudah mempunyai prestasi politik untuk rakyatnya dan bagaimana selama ini perilaku dan integritasnya. Ini perlu kita cermati secara seksama,” tutur Akbar.
Pencitraan Diri
Selain itu, upaya pencitraan diri yang kini banyak dilakukan politisi semata-mata hanya untuk menggambarkan sosok politisi itu atau dengan kata lain hanya menampilkan dirinya saja. Pencitraan itu hanya bertujuan meraih kekuasaan dan akhirnya menghalalkan segala macam cara demi keuntungan pribadinya. Sebaliknya, upaya pencitraan yang ideal adalah bagaimana menampilkan diri dalam memperjuangkan kemajuan dan kepentingan masyarakat sesuai dengan apa yang dibutuhkan.
Berbicara tentang aset negara, pada prinsipnya, Akbar Tandjung mengatakan sumber daya alam (SDA) seperti bumi, air dan udara harus dikuasai oleh negara. Tetapi bukan berarti SDA ini tidak boleh diberi untuk dikelola oleh investor negara asing. Hanya saja pengalaman selama ini, kebijakan mengelola aset negara tidak mutlak dikuasai negara. “Kalau kita pelajari tentang ikatan kontrak yang sekarang dijalin dengan pemodal asing yang memproduksi minyak di Cepu, Exon Mobile, sudah sebaiknya dihentikan. Saya optimis dan yakin aset itu bisa dilepas oleh Exon Mobile dan ditangani oleh pihak Pertamina yang sudah mempuanyai pengalaman mapan. Kesempatan ini harus diutamakan pemerintah dalam rangka menggali SDA,” ungkap mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam ini.
Peran Legislatif
Saat mencermati peran lembaga legislatif yang memiliki fungsi hak budget (anggaran), hak pengawasan dan hak legislasi, lembaga ini memerlukan pembenahan akurat. Ketika DPR masuk dalam sistim pengambilan keputusan, sebaiknya terlebih dulu menganalisis tentang keseimbangan agar tidak menimbulkan asumsi berbeda.
“Peran partai politik itu, selain menerapkan seleksi calon pejabat politik, mesti diimbangi bagaimana kebijakan politik yang akan diterapkannya,” tukasnya.
Diskusi singkat Akbar Tandjung di Kampus USI selain dihadiri kalangan pelajar dan mahasiswa juga dihadiri perwakilan dari tokoh pemuda, akademisi dan tokoh politik. Sebelum Akbar meninggalkan lokasi diskusi, Ketua DPC Himapsi Kota Pematangsiantar, Jon Liben Saragih memberi siluah (cendera mata-red). Demikian juga Ketua DPRD Syahmidun Saragih menyematkan Hiou Pamotting (ulos) kepada Akbar Tandjung.
Sementara itu, dalam diskusi dengan Lembaga Pendidikan dan Pengkajian Pers Sumatera Utara (LP3SU), bekerjasama dengan Koalisi Media Pematangsiantar yang dipusatkan di Convention Hall, Siantar Hotel, Akbar memaparkan, dalam dunia politik, banyak oknum yang hanya mencari kekuasaan semata, bukan mau menjadi perwakilan rakyat. Perpolitikan di Indonesia tidak bisa mengangkat kehidupan masyarakatnya dari belenggu penderitaan, kemiskinan dan penggangguran. (ren/man)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar