Hutan Dibabat, Rakyat Meratap





strong>Hutan Dibabat, Rakyat Meratap
Indahnya kawasan hutan Juma Pulut dan Talun Sitora Huta Raja, Nagori Pamatang Purba, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun, akan tinggal kenangan, jika tindakan perusakan hutan tidak dicegah sedini mungkin. Hutan yang dulunya alami dengan keseimbangan ekosistem yang sempurna, kini porak-poranda akibat kepentingan segelintir oknum yang tidak bertanggungjawab. Masyarakat pun dilanda keresahan. Protes yang mereka lancarkan hanya dianggap angin lalu belaka.
Selidik punya selidik, sumber keresahan warga di kawasan huta itu bersumber dari selembar surat Bupati Simalungun, Zulkarnain Damanik. Surat bernomor 522/6495-Hut, dengan jelas memberi Izin Penebangan Kayu Tanah Milik (IPKTM) plus laporan peninjauan dari lapangan oleh tim teknis perijinan Kabupaten Simalungun, tertanggal 16 Agustus 2007. Surat itu juga diperkuat dengan surat Sekretaris Daerah Nomor :005/5906/K-PIT/2007.
Dalam surat IPKTM itu disimpulkan, lokasi yang dimohon berada di luar batas kawasan hutan. Nyatanya, ketika hal itu dibuktikan ke lokasi, tak sedikit praktek penebangan kayu yang bertentangan dengan surat bupati. Lahan hutan yang berada di kawasan Juma Pulut sendiri, diklaim sebagai milik masyarakat yang terdiri dari 20 kepala keluarga dengan luas lahan 25 hektar. Sementara, berdasarkan surat keterangan Pangulu Nagori Pamatang Purba yang diketahui oleh Camat melalui suratnya bernomor :475/70/PD/2007 menerangkan, jarak lokasi kegiatan pembersihan lahan dari pemukiman masyarakat lebih kurang 6 Km.
Sejak Nopember tahun 2007 lalu, aksi protes sudah dilancarkan masyarakat Huta Raja. Tujuannya agar IPKTM segera dicabut dan dibatalkan oleh Pemkab Simalungun. Masyarakat menilai, dampak yang ditimbulkan pemberian IPKTM ini hanyalah kerusakan lingkungan dan menjadi ajang pemusnahan satwa yang selama ini hidup di kawasan tersebut. Aksi protes warga kala itu disuarakan melalui Forum Komunikasi Pemantau Pembangunan Simalungun (FKPPS). Namun hingga kini, protes warga belum ditanggapi.
Melalui Ketua FKPPS, DSaragih dan sekretarisnya R. Sinaga kepada localnews, mereka menyampaikan penyesalan atas aksi pembabatan yang sudah berlangsung beberapa bulan ini. Hasilnya, areal hutan Talun Siaturuk sampai ke Juma Pulut telah dibabat habis. Aksi penebangan itu sama sekali tidak mengindahkan larangan yang tertera dalam Perda No 10/2006 tentang IPKTM. Kayu dibabat serampangan kendati berada pada kemiringan melampaui empat puluh persen. Bahkan lokasi penebangan berdekatan dengan Daerah Aliran Sungai (DAS ) seperti Bah Sibagari
Untuk membuktikan pengaduan masyarakat itu, pekan lalu, sepuluh orang anggota DPRD Kabupaten Simalungun turun meninjau ke lokasi, pekan lalu. Setiba di kawasan Hutan Raja dan Juma Pulut, raut wajah keprihatinan dibarengi rasa heran tergambar jelas di wajah anggota legislatif itu saat melihat banyaknya kayu yang sudah ditebangi secara serampangan. Lahan itupun sudah gundul.
Kesepuluh anggota DPRD itu dikoordinir oleh Ketua Fraksi DPRD, masing-masing Luther Tarigan selaku Ketua Fraksi Nasional, Burhanuddin Sinaga selaku ketua Fraksi Kerakyatan. Kemudian Pdt Antoni Tondang Ketua Fraksi PDS serta Tirto Naibaho ketua Fraksi Demokrat Plus. Turut mendampingi para ketua fraksi, masing-masing anggota DPRD, Ilham Nasution, Johan Arifin, Bajar Daulai, SM Simarmata, Nasom Damanik serta Sarman Purba.
“Tanaman di kawasan hutan ini merupakan ciptaan Tuhan yang sedemikian alami. Kayu yang tumbuh disini bukan ditanam manusia. Harusnya kita bertanggungjawab menjaga kelestariannya. Bukan tak mungkin jika hutan ini tidak dilestarikan akan berdampak fatal yakni timbulnya bencana alam,” kata Ketua Fraksi PDS, Pdt. Antoni Tondang sembari mengatakan kerusakan ini harus segera dicegah demi kepentingan semua pihak. (ded)

Mana Bukti Kampanye Reboisasi?
Nasom Damanik pun menimpali ucapan Pdt. Antoni Tondang. Dia menyesalkan kampanye pemerintah yang begitu gencar dalam menjalankan program reboisasi sebagai upaya mencegah pemanasan global, sekaligus pemberantasan praktik illeggal logging. Hanya saja, kampanye itu dinilai hanya retorika belaka. Sikap pemerintah Kabupaten Simalungun pun dipertanyakan. Apalagi menyangkut penerbitan IPKTM yang tidak disertai dengan aksi pengawasan yang ketat terhadap pemegang ijin.
“Saya kira apa yang terjadi di Kawasan Huta Raja sekarang ini merupakan rentetan leluasanya pengguna IPKTM melakukan praktek penebangan kayu secara serampangan. Pemkab Simalungun tidak selektif melakukan analisa dampak lingkungan. Kalau sudah begini tentu sulit melakukan rehabilitasi kawasan hutan yang telah rusak berat. Selama saya mengikuti perkembangan tentang pengunaan IPKTM, tak satupun yang menimbulkan dampak positif,” tukas Nasom yang juga menjabat sebagai ketua Badan Kehormatan Dewan (BKD) DPRD Simalungun ini.

Keterlibatan Camat dan Pangulu
Mata rantai rusaknya hutan alam di Huta Raja tidak lepas dari keterlibatan aparatur kecamatan dan nagori. Dua lembaga ini punya peran penting dalam menerbitkan surat keterangan tanah (SKT) serta rekomendasi ijin pengajuan IPKTM. Sangat disayangkan, tindakan mereka sama sekali tidak mengindahkan kondisi lingkungan di wilayahnya.
“Seharusnya aparat nagori dan kecamatan setempat memberi pengayoman bagi warganya. Bukan sebaliknya, warga yang menuntut penyelamatan lingkungan justru diacuhkan seolah tidak mau tahu ada kerusakan hutan di wilayahnya,” sebut Ilham.
Lebih lanjut dikatakannya, Pangulu Nagori dan Camat harus berani menolak aksi perusakan dan komit memperjuangkan wilayah yang dipimpinnya agar tetap lestari. Tidak seperti kejadian sekarang ini, lahan di kawasan itu kini porak-poranda.
"Bupati Simalungun seharusnya bertidak tegas ketika bawahannya tidak mampu memberi pelayanan dan pengayoman kepada warganya. Kerusakan kawasan hutan Huta Raja tidak lepas dari keterlibatan Pangulu Nagori Huta Raja dan Camat Kecamatan Purba,” tegasnya.

Bapedalda Tutup Mata
Merajalelanya praktek perusakan hutan di daerah ini dipicu oleh lemahnya pengawasan yang dilakukan Pemkab Simalungun yang secara teknis dilaksanakan Dinas Kehutanan, Kantor Pelayanan Ijin Terpadu dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup (Bapedalda). setidaknya fakta itu ditemukan tim DPRD saat menyaksikan aksi penggundulan hutan kawasan Hutan Huta Raja.
“Sungguh ironis, Dinas Kehutanan memastikan kalau kayu yang digarap dari kawasan ini tidak lebih seribu meter kubik dengan diameter rata-rata duapuluh satu centimeter. Namun aksi penebangan itu tidak diawasi dengan ketat. Analisis dampak lingkungan hidup yang seharusnya dilakukan Bapedalda, juga tidak jelas perwujudannya,” ungkap Johan Arifin.
Kerusakan ekosistem ini, sambungnya, jelas akan menimbulkan penyusutan debit air dan bila terus berlanjut, bukan tidak mungkin masyarakat yang bermukim di hilir sungai mengalami kekeringan, bahkan banjir mendadak akibat kayu alam di hulu sungai seperti di hutan Huta Raja sudah ditebangi.

Proses Hukum
Berbeda dengan penegasan anggota DPRD lainnya. SM Simarmata yang juga ketua komisi tiga ini mengatakan, jalan terbaik pertanggungjawaban kerusakan kawasan hutan di Huta Raja sebaiknya diserahkan sepenuhnya ke proses hukum. Sikap yang dilontarkan Simarmata juga diamini oleh tim anggota DPRD yang datang ke lokasi itu.
”Kita harus melaporkan hasil tinjauan lapangan ini ke Polres Simalungun agar mereka memeriksa siapa oknum-okum yang terlibat merusak dan merambah hutan di Huta Raja ini” tukas SM Simarmata.
Bila perlu tim ini juga akan menggunakan hak angket memanggil intansi terkait untuk dimintai penjelasannya. "Ada dua opsi yang akan kita pertanyakan yakni mengenai IPKTM dan keberadaan Sawmill yang beroperasi di kawasan hutan di Kabupaten Simalungun. Kita inginkan mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di kawasan hutan Simalungun ini,” tegas Simarmata dengan raut wajah serius (ded)

Sawmill di Hutan Aek Nauli Punya Siapa?
Selain fenomena IPKTM, Ketua Fraksi Kerakyatan, Burhanudin Sinaga juga menyoal upaya memberantas praktik illegal logging yang belum maksimal. Meski ada aturan hukum, tetap saja aksi penebangan sampai pengolahan kayu secara liar terus berlanjut.
"Pemkab Simalungun seharusnya bertanggungjawab atas tindakan mengeksploitasi hutan secara berlebihan. Di mana kayu-kayu itu diolah menjadi kayu yang siap pakai. Saya kira Pemkab harus bersikap tegas. Keberadaan Sawmill di sekitar Hutan Aek Nauli adalah sebuah tanda nyata. Apakah kilang itu memiliki legitimasi dari Dinas Kehutanan dan Kantor PIT? Apa benar memenuhi syarat dan layak beroperasi di sekitar kawasan hutan? Hal ini harus dijelaskan kedua instansi ini,” ungkap Burhan.
Dikatakannya, banyak pertanyaan yang mesti dijawab instansi terkait menyangkut persoalan ini, terutama mengenai asal–muasal dan letak lokasi perolehan kayu olahan. Diduga kayu jenis Meranti juga diolah menjadi bahan siap pakai di kilang tersebut. "Keberadaan kilang itu harus diusut tuntas!“ tegasnya. (ded)

Tidak ada komentar:

Gallery

Gallery