Lahan dan Pemukiman Petani Malah Dirampas

Lahan Warga yang terletak di Nagori Raya Bosi, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun. Pematangsiantar yang saat ini menjadi persoalan karena dirampas oleh pemerintah



Dilema SK Menhut No 44/2005
Lahan dan Pemukiman Petani Malah Dirampas
Terbitnya peraturan Menteri Kehutanan, MS Kaban, melalui Surat Keputusan (SK) No 44/2005, tentang pengaturan zona kehutanan di beberapa kabupaten--termasuk Kabupaten Simalungun-- ternyata menimbulkan persoalan baru. Keputusan itu dinilai hanya memperburuk perekonomi, khususnya masyarakat petani. Pasalnya, surat keputusan sang menteri telah mengkavling lahan petani menjadi kawasan hutan di beberapa nagori (desa) sejak 2005 lalu.
Sejak terbitnya SK Menteri ini, tidak sedikit warga terpaksa mendekam di Lembaga Pemasyarkatan (LP) dengan tuduhan menggarap lahan hutan secara liar. Warga pun dilanda keresahan. Meski demikian, masyarakat tetap bersikukuh menolak kebijakan Menteri Kehutanan. Kondisi tak menyenangkan ini juga dirasakan langsung oleh 110 Kepala Keluarga (KK) warga yang tinggal di Nagori Raya Bosi, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun. Kelompok Tani Juma Tidahan yang mereka bentuk, tidak mendapat kesempatan menerima bantuan lunak yang sedang diprogramkan pihak Bank Sumut pada 2007 lalu.
"Kami sangat kecewa. Bank Sumut tidak mau menyalurkan bantuan kepada kami karena Dinas Perkebunan mendapat keterangan dari Dinas Kehutanan, kalau lahan kami masuk kawasan hutan dalam SK empat-empat," keluh Ketua Kelompok Tani Juma Tidahan, Amer Sinaga, didampingi warga kepada localnews pekan lalu.
Padahal, sambungnya, lahan persawahan dan perladangan, termasuk pemukiman warga--berkisar 600 Ha--yang mereka kelola dan tempati saat ini merupakan peninggalan nenek-moyang mereka sejak jaman kerajaan, kolonial Belanda dan Jepang. Warga kemudian menuding terbitnya SK Menteri Kehutanan ini bukan mennyejahterakan kehidupan warga, tapi sebaliknya merampas hak petani yang bermukim di sana.
"Informasi yang kami dengar, tak hanya Raya Bosi yang masuk kawasan hutan. Ratusan hektar lahan perkebunan PTPN IV Mardjanji, termasuk Kantor Bupati yang baru ditempati Bupati Simalungun di Sondi Raya, juga masuk kawasan hutan. Kalau gitu apanya sebenarnya alasan Menteri Kehutanan membuat peta kawasan hutan dalam SK empat-empat itu?" kata mereka serentak dengan raut wajah kekecewaan.
Merugikan Masyarakat
Menyikapi hal ini, Ketua Komisi I DPRD Simalungun, Iskandar Sinaga, yang membidangi masalah pertanahan dan kehutanan, turut menyesalkan terbitnya SK No 44/2005 Menteri Kehutanan. Dia menyadari, dengan terbitnya keputusan itu, banyak keluhan yang disuarakan masyarakat karena lahan mereka diklaim sebagai kawasan hutan.
"Memang kita sadari, SK empat-empat itu sudah banyak merugikan masyarakat. Apalagi sebelum SK itu diterbitkan, banyak rumah warga yang sudah dibangun secara permanen. Saya pun bingung bagaimana lahan dan rumah masyarakat yang sudah permanen ditetapkan jadi kawasan hutan," kata Iskandar saat ditemui di ruang kerjanya.
Menyangkut kepentingan petani di Nagori Raya Bosi yang gagal menerima bantuan lunak dari Bank Sumut setelah terbitnya SK 44, Iskandar hanya bisa memberi dukungan agar warga Raya Bosi lebih giat secara swakelola meningkatkan hasil pertanian mereka. "Kita juga tidak bisa berbuat apa-apa. Pihak Bank Sumut tidak bersedia menyalurkan bantuan jika terganjal SK Menteri Kehutanan. Begitupun, kalau ada penolakan masyarakat terhadap kebijakan menteri itu, kami tetap siap membantu, dengan catatan harus sesuai koridor yang berlaku," sebutnya. (ren)

Class Action
Gibson Antonius Purba


Dilema yang dirasakan warga setalah terbitnya SK No 44/2005, bukan hanya menimpa warga Raya Bosi, Kecamatan Raya. Masih ada beberapa Nagori (desa) lagi seperti Nagori Sondi Raya, Kecamatan Raya. Ironisnya, di nagori ini telah berdiri megah bangunan baru Kantor Bupati dan Kantor Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), gedung DPRD serta markas Polres Simalungun. Beberapa nagori di kecamatan lainnya seperti Silou Kahean, Raya Kahean, Pane dan Panombeian Pane ternyata masuk dalam zona SK 44/2005.
Salah seorang aktivis dari LSM Siantar-Simalungun Development Watch (SSDW), Gibson Antonius Purba SH mengutarakan, agar dilema ini tidak berlarut-larut tanpa penyelesaian, perlu dilakukan perjuangan hak secara hukum. Proses dimaksud adalah mengajukan gugatan class action (Gugatan massal) melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Proses hukum ini akan memutuskan apakah SK 44 tahun 2005 ini dapat ditinjau ulang atau dibatalkan demi kepentingan hidup dan kesejahteraan masyarakat petani. Kalau kita merujuk pada Undang Undang Pokok Agraria, petani justru diberi kesempatan untuk mendapatkan lahan pertanian serta membatasi penguasaan lahan yang sangat besar oleh perseorangan. Artinya, lahan pertanian yang telah dikelola masyarkat seharusnya tidak dirampas begitu saja melalui SK nomor empat-empat ini. Banyak pertimbangan sosial, termasuk sejarah pertanahan yang semestinya dicermati oleh Departemen Kehutanan tanpa merugikan kehidupan petani," ujarnya.(ren)
Menapaki Sejarah Raya Bosi
Pusat Markas Langit dan Harimau Liar
Menelusuri sejarah pertanahan dan pemukiman di berbagai daerah, tentunya selalu menyimpan catatan yang tidak boleh dilupakan begitu saja. Generasi penerus bangsa pun harus memahami bagaimana sebenarnya sejarah kehidupan nenek-moyangnya secara turun-temurun. Seperti halnya di Nagori Raya Bosi, Kecamatan Raya. Ternyata, wilayah ini dulunya memiliki sejarah yang sangat panjang ketika menghadapi penindasan yang dilakukan Belanda dan Jepang.
Salah seorang tokoh masyarakat di sana, St R Purba menuturkan, sejak dulu nama perkampungan ini sudah disebut sebagai Raya Bosi. Makna dari nama ini disebutkan karena masyarakatnya memiliki mental baja (Bosi) saat menghadapi kekerasan yang dilakukan Belanda. Dulunya wilayah ini dikenal sebagai penghasil buah durian dan buah petai. Di dalamnya terdapat empat lokasi pemukiman, masing-msing Kampung Marihat Buttu, Huta Durian, Huta Lattosan dan Huta Kodei.
Lokasi ini sudah didiami warga sejak dahulu, sebelum masuknya kolonial Belanda dan Jepang ke Indonesia. Saat itu masyarakat masih manganut sistim kerajaan yang dipimpin Raja Rondahaim Saragih sebagai pemangku Raja Raya. Ketika, pemerintah Belanda memasuki Indonesia dan menyebar ke berbagai pelosok negeri, termasuk ke Nagori Raya Bosi, ketenteraman yang dulu terpelihara mulai berubah jadi kekhawatiran.
Meski demikian, Raja Raya tidak diam begitu saja. Dirinya langsung mengutus panglima kerajaan bermarga Garingging didampingi Datu Bolon (Dukun Sakti) bernama Jarot Garingging,orang pertama membuka perkampungan itu. Mereka diutus untuk melindungi warga agar tidak diperlakukan semena-mena oleh penjajah. Sejalan dengan bergulirnya waktu, akhirnya kekuatan Belanda tidak terbendung. Saat itu, laskar kerajaan makin kesulitan melakukan perlawanan karena peralatan perang berupa bambu runcing dan keris tidak mampu mengimbangi senjata canggih milik Belanda.
Bermodalkan semangat juang dengan prinsip pantang menyerah, terbentuklah kesatuan laskar pejuang yang disebut Laskar Langit dan Laskar Harimau Liar. Kedua kubu ini berada di barisan depan menghadang kekuatan Belanda. Tidak sedikit nyawa yang gugur di medan perang. Ketika, agresi militer kedua terjadi sekitar tahun 1947, tentara Belanda mengusir masyarakat sipil yang bermukim di empat perkampungan tersebut.
Tujuannya untuk menemukan pejuang Laskar Langit dan Harimau Liar yang diduga bersembunyi di desat tersebut. Karena tidak ditemukan, tentara Belanda kemudian mengamuk dan membumihanguskan perkampungan. Akibat kejadian itu, warga sipil terpaksa mengungsi ke pelosok kampung yang mereka sebut Huta Gudang dan ke tepi Bah Bongir. Di daerah ini mereka secara gotong-royong membangun rumah petak memanjang.
Beberapa tahun kemudian, kekuatan tentara Belanda dilumpuhkan oleh tentara Jepang. Lahan perkebunan teh Mardjanji yang tadinya dibuka dan dikuasai kolonial Belanda akhirnya pindah tangan ke tentara Jepang yang saat itu dipimpin Tuan Aiyama. Ratusan hektar kebun Jeruk yang telah dibuka Belanda di Nagori Raya Bosi juga turut berpindah tangan.
Namun kekuatan tentara Jepang hanya bertahan beberapa tahun saja. Pada tahun 1945, sang proklamator Sukarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dan bermartabat. Setelah sekian lama terisolir, warga Raya Bosi kembali ke lokasi perkampungan dan meninggalkan Juma Gudang dan tepi Bah Bongir. Sejak itu warga kembali bercocok tanam palawija dan bertani padi sawah dan membangun secara gotong-royong tali air dari sungai Bah Bongir dan Bah Bakkuo, tepatnya 1968 silam.
"Namun sejak tahun 2005 lalu, Menteri Kehutanan malah merampas hak kami atas lahan di kampung ini dengan SK empat-empatnya. Sepertinya kami ibarat lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut singa dan sekarang masuk pula ke mulut macan. Kapan kemerdekaan ini bisa kami nikmati sampai ke anak-cucu. Pemerintah seharusnya melindungi, bukan menindas rakyatnya," ungkap warga penuh kekesalan (ren)

Tidak ada komentar:

Gallery

Gallery