Surat Sakti Dari Kejati Sumut


Surat Sakti Dari Kejati Sumut
Penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Simalungun Tahun 2004 sebesar Rp5,3 miliar yang melibatkan ketua DPRD Simalungun SS beserta 17 mantan anggota DPRD Simalungun periode 1999-2004 sudah berlangsung sekitar empat tahun. Walau mereka sudah ditetapkan sebagai tersangka, kasus ini akhirnya menguap alias tak jelas ujung pangkalnya.
Padahal, dari 18 tersangka yang sudah ditetapkan Kejari Simalungun sejak tahun 2004 lalu, lima orang di antaranya malah terpilih kembali menjadi anggota DPRD Simalungun periode 2004-2008, yakni SS, JS, DS, ND dan SAS. Satu tersangka lainnya berinisial PS bahkan menjadi anggota DPRD Provinsi Sumut. Tersangka lainnya adalah NT, PS, SN, MS, JS, AS, RD, FAS, PN, JLSP, RTM, dan JS.
Kasus korupsi dana APBD Kabupaten Simalungun ini pertama kali terungkap Juli 2004 berdasarkan laporan masyarakat. Kejari Simalungun yang saat itu dijabat Hazairin Lubis SH sudah memeriksa 12 saksi, termasuk pihak sekretariat kabupaten, sekretariat DPRD, asisten III bupati hingga kepala dinas perhubungan.Namun, meski pemeriksaan terhadap saksi-saksi ini hampir selesai, Kejari Simalungun beralasan saat itu kesulitan melengkapi berkas para tersangka ini karena belum adanya laporan hasil audit dari BPK.
Menurut Hazairin, pihaknya sudah tiga kali berkirim surat kepada Kantor Perwakilan I BPK Medan untuk segera memberikan hasil audit yang dimintakan.Tanpa audit BPK tersebut, Kejari Simalungun kesulitan melakukan penyidikan lanjutan. Bahkan untuk menindaklanjuti surat yang dikirim ke BPK, konon Hazairin dan Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Simalungun yang saat itu dijabat Tomo SH, telah tiga kali mendatangi Kantor Perwakilan I BPK Medan. Namun hasilnya nihil.
Belakangan, muncul lagi perintah menghentikan penyelidikan dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut). Melalui surat Kejati Sumut No B-05/N.2/Fd.1/01/2007 dinyatakan, penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi atas nama tersangka SS dkk yang sudah dilakukan sejak 21 Juli 2004 dihentikan. Alasannya, penanganan perkara yang dilakukan dengan menggunakan instrumen PP No 110 Tahun 2000 tentang kedudukan keuangan DPRD telah dinyatakan tidak berlaku berdasarkan keputusan Judicial Review Mahkamah Agung RI nomor 04/G/HUM/2001 tanggal 9 September 2001.
Hal ini dibenarkan L Alex Sinuraya SH, Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasie Pidsus) di Kejaksaan Negeri (Kejari) Simalungun ketika ditemui Localnews di ruang kerjanya pekan lalu. Menurutnya, sesuai surat yang mereka terima dari Kejati Tanggal 3 Januari 2007, isinya dengan jelas mengatakan agar penyidikan perkara dugaan korupsi atas nama tersangka SS dkk dihentikan. Akibat surat tersebut, penyidik dalam perkara tersebut saat ini kehilangan payung hukum atau etentuan formil tentang adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para tersangka.
Dari dokumen yang diperoleh localnews disebutkan, perkara ini tidak mungkin dilakukan pemeriksaan ulang, baik terhadap saksi maupun terhadap tersangka dengan mengesampingkan atau mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan PP No 110 Tahun 2000. Apabila dilakukan pemeriksaan ulang terhadap perkara tersebut, patut diduga akan mendapat hambatan. Terhadap perkara ini sudah pernah dilakukan gelar perkara di Aula Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara pada 3 Oktober 2006 . Pendapat dan masukan para peserta gelar perkara saat itu secara aklamasi menyetujui agar penyidikan perkara ini dihentikan. Secara bersamaan juga diminta persetujuan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus terhadap usul penghentian penyidikan perkara ini"
Tembusan surat tersebut disampaikan kepada, Jaksa Agung RI sebagai laporan, Ketua KPK, Jaksa Agung Muda Intelijen, Jaksa Agung Muda Pengawasan, Direktur Penyidikan, Kejari Siantar-Simalungun serta arsip. Surat tersebut ditandatangani oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Jaksa Utama Madya Jakaria SH MH
Awal Persoalan
Munculnya persoalan yang menyeret 18 mantan anggota DPRD Simalungun periode 1999-2004 itu bermula dari pengajuan anggaran sebesar Rp5,3 miliar lebih yang akan dibagikan kepada 45 anggota dewan yang sudah habis masa purna baktinya. Rinciannya, setiap anggota dewan akan menerima uang pesangon sebesar Rp120 juta/orang sebagai imbal jasa selama lima tahun menjadi anggota DPRD.
Walaupun rancangan anggaran Rp5,4 miliar lebih belum ditetapkan, namun keinginan anggota dewan tersebut menjadi isu dan merebak di tengah-tengah masyarakat umum di daerah ini. Kalangan pengamat di Simalungun mengatakan, pengalokasian dana anggaran itu patut dipertanyakan. Kalau pengadaan dana itu berasal dan diperoleh dengan cara menciutkan anggaran pos pembangunan lainnya
Bahkan Kabag Keuangan Pemkab Simalungun yang saat itu dijabat Thamrin Simanjuntak, tidak membantah adanya rencana pemberian uang purna bhakti bagi 45 anggota DPRD Simalungun yang akan ditampung di dalam buku APBD Simalungun tahun 2004.
Ubaya membagi-bagi uang ini akhirnya menjadi persoalan hukum. Aparat Kejaksaan Negeri Simalungun pun melakukan penyelidikan. Hasilnya18 mantan anggota dewan ditetapkan sebagai tersangka.(man)
Kita Akan Gugat Kejatisu!
Pernyataan pemberhentian penyidikan atas kasus dugaan korupsi APBD Kabupaten Simalungun terhadap 18 mantan anggota DPRD yakni SS dkk oleh pihak Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) disikapi serius oleh organisasi non pemerintah dari Komite Nasional Pemuda Simalungun (KNPSI).
Menurut Ketua KNPSI, Jan Wiserdo Saragih, organisasinya merupakan pihak pelapor yang menyerahkan berkas bukti permulaan kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Simalungun karena diduga melanggar Peraturan Pemerintah (PP) No 110/2000. Ironisnya, surat pemberhentian penyidikan ini pun tidak diberitahukan kepada KNPSI sebagai pelapor. Padahal, selama proses pemeriksaan dilakukan pihak Kejari Simalungun, tahap demi tahap perkembangan pemeriksaan selalu diberitahukan kepada KNPSI.
Tahap pertama informasi resmi yang diterima KNPSI dalam surat Kejari Simalungun No:B-1366/N.2.24/Fd.1/08/2004 memberitahukan, sesuai surat KNPSI No: DPP-KNPSI/58/Lap/Sim/VIII/04 tertanggal 6 Agustus 2004 lalu, pihak Kejari Simalungun saat itu sedang menindak lanjuti laporan KNPSI dan posisi kasus pun sudah pada tahap penyidikan.
Selanjutnya, KNPSI juga menerima tembusan surat dari Kejari Simalungun yang ditujukan kepada BPK-RI tentang permintaan hasil audit BPK. Kemudian, Kejari Simalungun kembali melayangkan surat kepada KNPSI memberitahukan kalau 18 mantan anggota DPRD Simalungun telah ditetapkan sebagai tersangka.
"Waktu itu kita menyerahkan data hasil audit BPK kepada pihak kejaksaan Simalungun. Cuma, kata mereka, pihaknya tidak boleh menerima data resmi dari LSM. Kami bisa memakluminya. Begitupun, kopian data audit itu tetap kami berikan. Lantas, surat terakhir yang kami terima tahun 2005 lalu, pihak Kejaksaan Simalungun sudah menetapkan mereka sebagai tersangka," sebut Serdo.
Lebih lanjut dikatakannya, pra terbitnya pengganti PP 110/2000, pihak Kejaksaan Agung sendiri telah menekankan, proses hukum atas kejahatan melanggar PP 110/2000 tetap dijalankan. Artinya, pasca terbitnya PP yang baru tidak serta merta menghilangkan perbuatan pelanggaran PP 110/2000 itu.
"Kita memiliki data faktual. Sebanyak 26 mantan ketua dan anggota DPRD periode tahun 1999 sampai 2004 lalu di sejumlah daerah di Indoesia telah divonis oleh Mahkamah Agung sebagai terpidana. Kebanyakan mereka diberi ganjaran hukuman dari delapan bulan sampai delapan tahun. Jadi apa dasar Kejaksaan Tinggi Sumut menghentikan kasus ini dengan alasan PP 110/2000 tidak berlaku lagi? Atas kejadian ini kami akan menggugat Kejaksaan Tinggi Sumut agar terungkap ada apa sebenarnya antara Kejaksaan dan mantan delapan belas anggota DPRD Simalungun ini. Kenapa di daerah ini bisa aman sedangkan di daerah lain sudah dihukum!" kata Wiserdo dengan nada tinggi.
Kontroversi PP 110 Tahun 2000
Dipandang dari pemenuhan rasa keadilan terutama bagi rakyat di daerah, permintaan anggota DPR untuk menghentikan kasus korupsi APBD merupakan kelakuan yang sangat menciderai citra DPR di mata publik. Anggota DPR sebagai perwujudan rakyat seharusnya membela kepentingan rakyat dengan menuntut hukuman seberat-beratnya, bukan malah berupaya menyelamatkan para tersangka pencuri uang rakyat dari jeratan hukum.
Hal ini menimbulkan kecurigaan publik akan kemungkinan persekongkolan elit politik pusat dan daerah terkait dengan penyelamatan pundi keuangan partai politik di daerah. Apa sebenarnya faktor utama yang mendasari upaya sistematis menghentikan kasus korupsi yang terkait dengan PP 110 tahun 2000. Apakah hanya sekedar bentuk solidaritas politik dari elit pusat dan daerah untuk menyelamatkan pengaruh ekonomi-politik terhadap anggaran daerah. Ataukah memang ada problem hukum di dalam penggunaan PP 110 tahun 2000 sebagai dasar hukum dalam menangani kasus korupsi APBD di daerah sehingga perlu ada peran signifikan institusi sekaliber MA.
Lain Api Lain Asap
Jauh sebelum mencuatnya tekanan untuk menghentikan kasus Korupsi APBD, para politisi daerah sebenarnya sudah sering mengeluh mengenai adanya diskriminasi dalam proses hukum kasus korupsi APBD. Yang terjerat kenapa hanya kalangan DPRD saja, seakan selalu menjadi incaran utama untuk diperiksa. Padahal yang berperan dalam perencanaan APBD tidak hanya kalangan DPRD, tetapi juga Pemerintah Daerah (Pemda), yaitu kepala daerah dan unsur panitia anggaran Pemda. Bahkan kasus di beberapa daerah, DPRD hanya menjadi tukang stempel saja dan tidak terlibat cukup intensif di dalam pembahasan dan kritisi APBD. Jika problemnya diskriminasi hukum, harusnya tuntutan yang dilayangkan ke MA adalah proses hukum yang tidak pilih kasih, imparsial dengan memeriksa dan mengadili semua pihak yang berperan dalam jamaah korupsi di daerah. Lain api lain asap jika justru tuntutannya meminta MA menghentikan pemeriksaan kasus korupsi.
Di sinilah titik permasalahan utamanya. Pembelokan arah tuntutan dari semula menginginkan adanya persamaan hukum (equality before the law) menjadi pemberhentian proses hukum mengesankan kasus PP 110 tahun 2000 hanyalah titik masuk untuk menyingkirkan proses hukum semua kasus korupsi APBD di daerah. PP 110 tahun 2000 memang sempat dimasalahkan dan telah dicabut MA pada 9 September tahun 2002. Akan tetapi kasus korupsi APBD yang terjadi ketika PP ini masih berlaku tentu tetap layak ditindaklanjuti.
Tolak Satu Tolak Semua
Fakta kasus korupsi APBD di hampir semua daerah, selain pelanggaran PP 110 tahun 2000, terdapat juga kasus korupsi anggaran dengan modus operandi lain seperti modus penggelembungan anggaran (mark up), duplikasi anggaran, anggaran fiktif dan proyek daerah yang tidak melalui proses tender (penunjukan langsung). Beberapa modus ini dapat terjadi bersamaan dalam periode anggaran yang sama dengan keterlibatan aktor yang sama. Karena dalam perberkasan kasus korupsi dokumen pelanggaran PP 110 tahun 2000 dan modus korupsi lain seringkali disatukan, maka dikhawatirkan jika proses hukum korupsi yang berkaitan dengan PP 110 dihentikan maka dapat juga menyebabkan dihentikannya proses hukum terhadap dugaan korupsi dengan modus yang lain.
Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), pada tahun 2004, terdapat 102 perkara korupsi DPRD dengan total kerugian negara sebesar Rp 772 miliar. Dari 102 perkara korupsi DPRD yang terungkap, paling tidak sebanyak 1.437 orang anggota DPRD di seluruh Indonesia yang telah diproses secara hukum, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan hingga yang telah diputus oleh pengadilan. Pada periode hingga 2004 terdapat 1.115 anggota DPRD daerah yang menjalani proses pemeriksaan karena dugaan korupsi baik oleh kepolisian maupun kejaksaan. Umumnya, perkara korupsi seperti tersebut di atas merupakan pelanggaran terhadap PP 110 tahun 2000. Dapat dibayangkan jika seandainya perkara korupsi APBD yang berkaitan dengan PP 110 benar dihentikan akan menjadi malapetaka bagi daerah karena akan membebaskan secara massal para tersangka korupsi berjamaah di daerah.
Dalil Formil dan Materil
Pembatalan PP 110 Tahun 2000 oleh MA pada 9 September 2002 pada dasarnya tidak menyebabkan praktek korupsi yang didasarkan pada aturan ini diabaikan secara hukum atau bahkan menjadi alasan penghentian proses hukum bagi tersangka dengan alasan tidak ada aturan hukum yang dilanggar. Jika tindak korupsi dilakukan pada saat PP 110 masih berlaku dapat tetap diproses dengan menjadikan PP ini sebagai dalil formil (melawan hukum dalam arti formil). Selain delik formil terdapat juga perbuatan melawan hukum dalam arti materil sebagaimana penjelasan UU No. 31 Tahun 1999. Yaitu perbuatan yang dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma kehidupan sosial dalam masyarakat atau asas kepatutan. Dalil ini masih tetap bisa dipergunakan jika terbukti ada upaya sengaja untuk memperkaya diri, kelompok atau kroni dengan merugikan negara dan masyarakat.
Contoh Kota Cirebon dan Sumatera Barat sebenarnya dapat dijadikan sebagai rujukan (jurisprudensi). Putusan atas pelanggaran PP 110 tahun 2000 di dua daerah ini sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht), yaitu perkara korupsi yang melibatkan 33 anggota DPRD Sumatera Barat dan 10 orang anggota DPRD Kota Cirebon. Dalam putusan kedua perkara tersebut majelis hakim kasasi MA telah menyatakan para mantan anggota DPRD tersebut telah terbukti bersalah melakukan korupsi. Dalam kasus Sumatera Barat yang digunakan justru dalil materil bukan dalil formil.
Persekongkolan Politisi
Upaya paguyuban politisi daerah untuk terbebas dari perkara korupsi APBD adalah sebuah upaya sistematis dalam mempertahankan kebusukan di daerah. Penggunaan PP 110 tahun 2000 sebagai sebuah problem hukum hanyalah akal-akalan dan titik masuk untuk terbebas dari dugaan korupsi yang lain. Padahal pada sisi lain, kerugian rakyat daerah akibat korupsi APBD sangat kasat mata dalam bentuk buruknya fasilitas umum, mahalnya pendidikan dan kesehatan serta menurunnya daya beli akibat rendahnya produktifitas ekonomi.
Tekanan dengan menggunakan pengaruh elit pusat yang ada di DPR harus dibaca sebagai persekongkolan politisi dalam upaya pembelaan dan memberikan perlindungan politik terhadap koruptor di daerah. Karena itu MA harus tegas menolak permintaan ini dan justru mempererat koordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengusut korupsi APBD di daerah.(ibr)

Tidak ada komentar:

Gallery

Gallery