Pergantian Direktur RSU Siantar Mengundang Polemik
dr Ria N Telaumbanua (ketiga dari kiri)
Tabir di Balik Pengunduran Diri Direktur RSU Siantar
Pasca terbitnya pemberhentian dr Ria N Telaumbanua dari jabatanya sebagai Direktur Rumah Sakit Umum (RSU) dr Djasamen Saragih, Pematangsiantar, sampai saat ini masih menyisakan kontroversi di tengah-tengah pegawai di rumah sakit tersebut serta di kalangan warga kota ini. Banyak kalangan menilai, pencopotan itu merupakan sebuah tindakan yang tidak bijaksana.
Satu sisi, Walikota Pematangsiantar RE Siahaan mengklaim, kebijakan yang telah dilaksanakannya yakni menggantikan posisi Ria Telaumbanua dari pucuk pimpinan di RSU dr Djasamen Saragih dengan menempatkan dr Ronald Saragih sebagai penggantinya, sudah tepat. Beredar informasi, alasan orang nomor satu di jajaran Pemko Siantar itu memberhentikan Ria karena dua tahun lalu pernah mengajukan pengunduran dirinya sebagai direktur. Begitupun, Surat Keputusan (SK) pemberhentian itu tidak diserahkan sekaligus oleh Walikota saat acara pelantikan yang digelar dua pekan lalu di Ruang Data Sekretariat Pemerintah Kota (Pemko) Pematangsiantar. Ria sendiri mengaku SK itu diserahkan kepadanya setelah dua belas hari usai acara pelantikan
“Dari segi jangka waktu penyerahan SK saja sudah terindikasi cacat hukum. Saya tidak pernah dipanggil ataupun diberitahukan oleh Walikota dan Sekda kalau saya bakal diberhentikan. Saya datang ke Siantar secara terhormat, pulangnya pun harus secara terhormat. Anehnya, ketika saya menanyakan apa alasan BKD memberhentikan saya, malah kepala BKD Siantar, Morris Silalahi hanya menjawab, Maklumlah bu...kita inikan sama-sama bawahan. Jawaban apa seperti itu dari seorang kepala BKD? Harusnya jawaban yang pantas kita terima dari dia apakah karena kinerja atau disiplin saya yang tidak baik."
"Saya menjabat sebagai direktur karena dipanggil oleh Gubernur dan Pemko Siantar. Bukan kehendak pribadi. Saat itu saya diberi dua pilihan apakah menjadi wakil direktur rumah sakit jiwa yang ada di Kota Medan atau di RSU Siantar. Waktu itu Pak Muhyan Tambuse mendesak agar saya membenahi rumah sakit ini. Akhirnya di sinilah pilihan saya. Kalau saya sudah diberi tanggungjawab, apapun akan saya lakukan demi terciptanya pelayanan yang betul-betul menyehatkan pasien".
"Janganlah kebijakan politis terjadi saat ini merusak hubungan persaudaraan. Soalnya, dokter Ronald itu adalah adik sepupu saya. Kami ini bersaudara. Kenapa kami berdua yang dibenturkan?. Mamak saya boru Purba dan saya lahir dibesarkan di Siantar. Mamak saya dulu bekas gurunya Pak Re Siahaan di SMA Dua Siantar. Tolonglah supaya ditegakkan keadilan dan kebenaran di rumah sakit ini. Saya tidak mau campuri urusan politik, yang saya mau bagaimana caranya membenahi rumah sakit ini secara terus-menerus sampai betul-betul sebagai rumah sakit pilihan masyarakat, termasuk pejabat agar tidak lagi pergi ke luar negeri memeriksakan kesehatan mereka,” kata Ria panjang lebar.
Intervensi Walikota
Menyinggung pemecatan dirinya, Ria menuding tindakan yang dilakukan Walikota merupakan sebuah kebijakan yang sangat tidak relevan. Dia mengaku, pengunduran diri dibuatnya secara pribadi kepada Walikota RE Siahaan dan Ketua DPRD Lingga Napitupulu dan bukan dalam surat resmi. Alasan dirinya kala itu mundur karenakan suatu hal yang sangat prinsipil dan berkaitan dengan indikasi pelanggaran hukum. Secara tegas dirinya menolak intervensi yang disampaikan Walikota melalui ajudannya bernama Bayu Tampubolon saat itu.
“Saya diintervensi oleh ajudan pak Walikota agar saya menyetujui pembayaran gaji tenaga honor dihitung sejak bulan Januari tahun 2006 lalu, sedangkan mereka baru ditugaskan bekerja di rumah sakit ini pada bulan September sampai Desember tahun 2006. Anehnya, bukan tenaga medis yang ditugaskan, tapi tenaga administrasi. Jelas saja saya menolak intervensi itu. Ini kan sama saja menyuruh saya melanggar hukum. Makanya waktu itu saya memilih mundur dari jabatan direktur,” tegas Ria N Telaumbanua.
Dikatakan Ria, bila pemberhentian ini dikaitkan dengan kinerjanya selama menjabat direktur, dia merasa tidak pernah melakukan kesalahan. Bahkan sejak dirinya memimpin di RSU dr Djasamen Saragih, pelayanan kesehatan mengalami perubahan total. Jika dulu bentuk pelayanan, fasilitas medis dan gedung di RSU ini sangat buram alias bobrok, kini tidak lagi. Masyarakat Siantar pun merasa lega berobat ke RSU dr Djasamen Saragih karena dilayani dengan baik. Artinya, konsep pelayanan kesehatan di RSU selama dua setengah tahun telah direformasi total.
“Situasi yang tidak kondusif ini bisa membuat dana bantuan dari APBN sebesar sepuluh miliar rupiah tertunda, bahkan bisa batal diberikan ke rumah sakit ini. Di Indonesia, dari ratusan jumlah rumah sakit, hanya enam rumah sakit yang mendapat model akreditasi, salah satunya rumah sakit kita ini,” ungkapnya.
Tetap Pegang Komando
Jika ditinjau dari segi hukum, tampaknya peluang bagi dr Ronald Saragih cukup sulit meraih jabatan direktur di RSU dr Djasamen Saragih. Pasalnya, dr Ria N Telaumbanua tetap bersikukuh menduduki jabatannya sebagai direktur. Dia juga menganjurkan Ronald Saragih tidak terlalu jauh terlibat dalam permasalahan yang sedang menyinggahi menejemen di rumah sakit itu.
Bahkan dukungan dari pegawai rumah sakit mengalir kepada Ria N Telaumbanua. Jumat Pekan lalu mereka ramai-ramai mendatangi Kantor Gubernur di Medan guna menyampaikan penolakan pemberhentian Ria dari jabatannya. Jika hal itu tidak direalisasikan, niat para pegawai ini akan memilih mogok kerja. Ronald Saragih dianggap menyerobot jabatan direktur setelah kondisi dan pelayanan rumah sakit sudah memadai. Selain itu, dukungan juga datang dari para tokoh masyarakat, LSM dan insan Pers. Hal itu sejalan dengan segudang prestasi yang diukir oleh Ria Telaumbanua selama ini.
Salah seorang tokoh masyarakat, Jomen Purba yang juga menjabat sebagai Ketua Partuha Maujana Simalungun (PMS) di Kabupaten Simalungun menyatakan dirinya prihatin atas kebijakan keliru yang dikeluarkan Walikota RE Siahaan. “Tampaknya ini tindakan yang disebut habis manis sepah dibuang. Begitu perjuangan sudah membuahkan hasil, barulah disingkirkan. Pemberhentian ini tanpa alasan yang krusial. Kalau dituduh melanggar disiplin PNS, justru tidak kita temukan. Malahan, selama dua setengah tahun ini dokter Ria membenahi rumah sakit dengan penuh semangat. Kenapa pula jasa itu dibalas dengan tuba. Saya minta jangan ada dusta diantara kita,” tegas Jomen.
Lebih lanjut dikatakannya, pelaksanaan mutasi dan pemberhentian pejabat eselon dua itu dinilai cacat hukum. Pasalnya, Gubernur belum pernah merestui alias merekomendasikan pelaksanaan mutasi tersebut. Jika mengacu pada UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) terdapat pada pasal 130 ayat 2 butir 2 menyatakan, pelaksanaan mutasi eselon dua harus mendapat rekomendasi dari Gubernur.
“Kenapa Walikota mengangkat Ronald Saragih sebagai direktur rumah sakit Djasamen Saragih dan memberhentikan Ria Telaumbanua tanpa rekomendasi dari Gubernur? Inikan sudah cacat hukum! Segala yang cacat hukum harus dihempang dari bumi Habonaron Do Bona ini!,” ucap Jomen dengan raut wajah geram.
Reformasi Total
Mengenang kembali keadaan RSU dr Djasamen Saragih, dulunya rumah sakit ini dikenal sangat buruk dalam hal pelayanannya. Sulit dibayangkan, selama 2,5 tahun di bawah kepemimpinan Ria, stigma buruk itu akhirnya berubah drastis. Kini pelayanan di rumah sakit tersebut makin profesional. Dulunya, keadaan ruangan dari tipe kelas tiga sampai kelas utama sangat memprihatinkan. Situasi buruk ini ditambah dengan ulah tenaga medis yang kerap enggan memberi pelayanannya kepada pasien.
Tak jarang keadaan itu jadi cibiran masyrakat kota berhawa sejuk ini. Sampai-sampai RSU Siantar ini dulunya penah dijuluki sebagai rumah hantu. Keadaan gedung peninggalan kolonial Belanda itu memang tidak pernah direnovasi alias diremajakan. Ruang jenazah saat hanya dilengkapi dua unit alat pendingin mayat. Selain menyimpat mayat, kulkas atau alat pendingin mayat itu pernah digunakan sebagai tempat menyimpan makanan sekaligus obat-obatan. Peralatan medis kebanyakan sudah berkarat, termasuk lampu sorot ruang bedah.
Lantai ruangan berlubang. Bahkan, air seni dari kamar mandi mengalir ke ruang pasien akibat bocornya tembok dinding sekat. Mobil ambulans pun hanya satu. Ruang gawat darurat dan peralatannya tidak memadai. Hampir semua sudut gedung dan lorong-lorong sangat memprihatinkan. Keadaan itu tidak lepas dari ragam intervensi pejabat teras di Kota Pematangsiantar. Buktinya, sampai tiga kali direktur diangkat dan diberhentikan, tetapi status mereka tidak pernah defenitip. Sebut saja dr Maruahal, dr Namso sampai Ichwan Lubis yang juga merangkap sebagai Asisten I di Pemko Pematangsiantar.
Tetapi itu adalah keadaan jaman dulu. Sekarang, wajah gedung, peralatan medis dan pelayanan kesehatan sudah mulai membaik. Tentunya untuk menciptakan keadaan ini bukanlah pekerjaan gampang. Untuk menciptakannya memerlukan sumber daya manusia (SDM) berkualitas serta seorang pimpinan yang memadai, punya kemampuan menjalin kerjasama yang harmonis dengan pegawai, termasuk dokter secara internal.
Kemudian, jerih payah mengambil simpati dari luar dari Kota Pematangsiantar harus dilakukan agar berbagai bantuan, baik dari Negara maupun swasta ikut mengalir. Akhirnya, RSU dr Djasamen Saragih ketika dibawah kepemimpinan Ria N Telaumbanua semakin percaya diri memberikan pelayanan bagi masyarakat yang berobat ke sana.
Dipaksa Setor Uang Rp1,5 M?
Sisi lainnya, Ria Telaumbanua juga memaparkan adanya intervensi yang memaksa dirinya untuk menyanggupi setoran dana sebesar Rp1,5 miliar yang diambil dari anggaran APBD RSU dr Djasamen Saragih tahun 2008 kepada Pemerintah Kota (Pemko) Pematangsiantar.
Konon, uang itu akan digunakan untuk menutupi dana tunjangan fungsional guru. Agar memiliki pertanggungjawaban yang sah dan tidak terjerat hukum, saat itu Ria meminta RE Siahaan membuat surat resmi apa alasan penyerahan dana yang diambil dari mata anggaran triwulan III dan IV itu. Dalam mata anggaran, dinyatakan ada proyek pembangunan yang harus melalui proses tender dan hingga saat ini terpaksa belum dilakukan menunggu revisi dan pengesahan DPRD atas perubahan APBD tahun 2008.
Alasan lainnya yang disampaikan Ria yakni apakah diperbolehkan dana dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) digunakan untuk menutupi tunjangan fungsional guru. “Saya tidak tahu entah sejak kapan ini berlangsung. Saya rasa akan sangat berbahaya kalau RSU ikut-ikutan menutupi uang tunjangan fungsional guru. Saya juga bisa dihukum karena tidak melaksanakan tender tepat waktu. Sudah jelas kalau menunggu PAPBD, saya tidak bisa melaksanakan tender. Ini berat bagi SKPD,” tukas Ria saat dihubungi Senin kemarin. Kemudian Ria mengatakan, alasan dirinya tidak mau memenuhi permintaan Walikota, karena pihak RSU Djasamen Saragih sangat membutuhkan dana itu guna merampungkan proyek ICU yang belum juga selesai, padahal konsep perencanaan sudah matang. “Kalau kami mau memenuhi permintaan itu, sudah pasti akreditasi 12 pelayanan di RSU ini tidak dapat kami capai. Makanya saya berkeras menolak memberikan uang itu,” bebernya. (ren)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
dokter ria lebih baik anda mundur saja. Jika anda terhina dengan cara cara seperti ini. ya terima saja. Hidup memang seperti ini. realistis saja lah. Yang anda lakukan sekarang tidak lebih baik. jauh lebih terhormat anda mundur dan berkarya ditempat lain. Ingat apa yang anda terima saat ini, adalah hasil yang anda tuai. saran saya, bertobatlah..!
Posting Komentar