Mengatasi 'Rabun Dekat' Aset Daerah

Keberadaan dan pengelolaan aset milik pemerintah daerah dalam kondisi yang memprihatinkan. Banyak pejabat dan aparat daerah yang kurang peduli dan belum mengelola aset itu secara efektif, efisien dan profit. Akibatnya, tidak sedikit aset daerah yang pindah tangan secara tidak wajar atau dikelola oleh pihak lain dengan sewa yang sangat kecil. Kurangnya profesionalisasi manajemen aset daerah menimbulkan persoalan serius dibelakang hari.
Keberadaan aset daerah pada saat ini melahirkan paradoks dalam hal usaha peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pengelolaan aset daerah ibaratnya seperti penderita myopia atau rabun dekat. Akibatnya, potensi besar yang sudah ada di depan mata tidak tergarap secara optimal. Mereka justru mencari sumber PAD kemana-mana yang belum pasti hasilnya. Mestinya aset daerah yang luar biasa besarnya itu dikelola lebih baik sehingga menghasilkan keuntungan optimal. Alangkah baiknya jika Kepala Daerah mulai dari Bupati, Walikota, hingga Gubernur begitu dirinya dilantik langsung mengetahui dan memahami secara persis kondisi aset daerah lalu melaporkannya kepada rakyat secara berkala.
Kepala Daerah yang menjadi penanggung jawab utama aset daerah harus membangun Sistem Informasi Aset Daerah yang sesuai dengan regulasi. Sistem informasi itu sebaiknya sesuai dengan perkembangan konvergensi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) terkini yang berbasis internet. Sudah cukup banyak perangkat aplikasi untuk mengelola aset daerah yang harganya terjangkau dan hasil pengembang dalam negeri yang berbasis teknologi open sources software (OSS). Tidak bisa ditunda-tunda lagi bahwa aset daerah perlu segera diinventarisasi agar dapat dicegah adanya tindakan korupsi. Bahkan, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menyatakan cukup banyak modus sertifikat ganda yang telah menggerogoti aset negara dan menyebabkan ketidakjelasan status tanah yang berpengaruh terhadap pembangunan dan investasi.
Pokok pangkal dari kasus diatas karena banyak instansi pemerintah hingga pemerintah desa sangat teledor dan belum tergerak untuk mendaftarkan dan mengelola asetnya secara benar. Kalaupun ada, itupun hanya bersifat insidentil atau proyek sesaat dan belum sistematis dalam kerangka manajemen aset. Perlu diingat penyertifikatan tanah merupakan langkah yang tepat untuk menata aset negara dan sesungguhnya pendaftaran tanah di seluruh NKRI adalah kewajiban Pemerintah. Namun, karena keteledoran, hingga saat ini diperkirakan 75 persen bidang tanah aset pemerintah belum bersertifikat. Bahkan banyak kantor dinas yang hingga saat ini belum juga memiliki sertifikat tanah yang bisa menimbulkan berbagai modus penyerobotan dan penyalahgunaan.
Perlu disadari bahwa mengelola aset daerah jangan seperti menangani harta warisan nenek moyang yang bisa dilakukan seenaknya sendiri. Aset daerah merupakan titipan generasi mendatang yang membutuhkan profesionalisasi dan political will yang kokoh. Tidak bisa dimungkiri lagi bahwa manajemen aset termasuk aset pemerintah pusat dan daerah merupakan bidang profesi atau keahlian tersendiri. Sayangnya, pada saat ini belum berkembang dengan baik di lingkungan pemerintahan maupun di satuan kerja atau instansi. Dimasa yang akan datang manajemen aset itu terbagi menjadi lima tahapan kerja yang satu sama lainnya saling berkaitan dan terintegrasi.
Tahap yang pertama adalah Inventarisasi Aset. Terdiri atas dua aspek yaitu inventarisasi fisik dan yuridis atau legal. Aspek fisik terdiri atas bentuk,luas,lokasi,volume/jumlah,jenis,alamat dan lain-lain. Sedangkan aspek yuridis adalah status penguasaan, masalah legal yang dimiliki, batas akhir penguasaan dan lain-lain. Proses kerja yang dilakukan dalam tahapan pertama adalah pendataan, kodifikasi atau labelling, pengelompokan dan pembukuan.
Tahapan kedua adalah Legal Audit, merupakan satu lingkup kerja manajemen aset yang berupa inventarisasi status penguasaan aset, sistem dan prosedur penguasaan atau pengalihan aset, identifikasi dan mencari solusi atas permasalahan legal. Juga strategi untuk memecahkan berbagai permasalahan legal yang terkait dengan penguasaan ataupun pengalihan aset.
Tahapan Ketiga adalah Penilaian Aset. Merupakan satu proses kerja untuk melakukan penilaian atas aset yang dikuasai. Biasanya ini dikerjakan oleh konsultan independen. Hasil dari nilai aset tersebut akan dapat dimanfaatkan untuk mengetahui nilai kekayaan maupun informasi untuk penetapan harga bagi aset yang ingin dijual.
Tahapan keempat adalah Optimalisasi Aset. Merupakan proses kerja dalam manajemen aset yang bertujuan untuk mengoptimalkan (potensi fisik, lokasi, nilai, jumlah/volume,legal dan ekonomi) yang terkandung dalam aset tersebut. Dalam tahapan ini, aset-aset yang dikuasai Pemda diidentifikasi dan dikelompokan atas aset yang memiliki potensi dan tidak memiliki potensi. Aset yang memiliki potensi dapat dikelompokan berdasarkan sektor-sektor unggulan yang menjadi tumpuan dalam strategi pengembangan ekonomi nasional, baik dalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Tentunya kriteria untuk menentukan hal tersebut harus terukur dan transparan. Sedangkan aset yang tidak dapat dioptimalkan, harus dicari faktor penyebabnya. Apakah faktor permasalahan legal, fisik, nilai ekonomi yang rendah ataupun faktor lainnya. Hasil akhir dari tahapan ini adalah rekomendasi yang berupa sasaran, strategi dan program untuk mengoptimalkan aset yang dikuasai. Tahapan yang kelima adalah Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Aset sebagai wahana untuk pengawasan dan pengendalian aset. Melalui wahana tersebut transparansi dalam pengelolaan aset bisa terjamin. Sehingga setiap penanganan terhadap suatu aset bisa termonitor secara jelas. Mulai dari lingkup penanganan hingga siapa yang bertanggung jawab menanganinya.
Pakar manajemen aset Doli D. Siregar menyatakan bahwa filosofi dari manajemen aset adalah ”Optimizing the utilization of assets in terms of service benefit and financial return”. Yang mengandung pengertian bahwa pengelolaan aset membutuhkan minimalisasi biaya kepemilikan (minimize cost of ownership), memaksimalkan ketersediaan aset (maximize asset availability) dan memaksimalkan penggunaan aset (maximize asset utilization). Selain memahami filosofinya, pengelola aset daerah harus memahami secara benar pengertian mengenai Barang Milik Daerah versi yang terbaru.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.17 Tahun 2007. Prinsip dasar pemanfaatan barang daerah adalah tidak membebani APBD dari segi pemeliharaan dan penyerobotan oleh pihak lain. Dan menciptakan sumber PAD yang signifikan. Bentuk-bentuk optimalisasi pemanfaatan aset milik daerah tersebut dapat berupa penyewaan aset, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan (KSP), Bangun Guna Serah (BGS) dan Bangun Serah Guna (BSG). Yang dimaksud dengan optimalisasi pemanfaatan aset adalah usaha yang dapat dilakukan dengan pertimbangan untuk mengoptimalkan daya guna dan hasil guna barang milik daerah. Pemanfaatan barang milik daerah yang optimal akan membuka lapangan kerja baru, meningkatkan pendapatan masyarakat sekaligus mengatrol pendapatan daerah. Sayangnya, optimalisasi aset daerah pada saat ini masih jauh dari kenyataan. Yang terjadi justru banyak aset daerah yang dibiarkan terlantar, diserobot atau disewakan semurah-murahnya kepada pihak lain dengan cara di bawah meja.
Oleh sebab itu pentingnya evaluasi Optimalisasi Pemanfaatan Aset/Barang Milik Daerah dengan cara mengevaluasi secara detail terhadap pemanfaatan aset saat ini (existing use) dengan hal yang sama diluar aset daerah. Misalnya besarnya sewa, tingkat produksi, harga barang dan parameter lainnya. Juga pentingnya evaluasi perbandingan pendapatan dari aset atau Return on Asset (ROA). Dari hasil evaluasi terhadap penerimaan dari masing-masing aset tersebut dapat diambil tindakan tegas dan langkah strategis kedepan. (Oleh: Hemat DN, CEO ZamrudTechnology, alumni Universitas Paul Sabatier Toulouse Perancis)

Tidak ada komentar:

Gallery

Gallery