BSA, Becak Siantar Antik


Wujudkan Pematangsiantar Jadi Kota Pariwisata
Sabtu pagi pekan lalu, ratusan sepeda motor antik, berjejer rapi di Lapangan Haji Adam Malik, Pematangsiantar. Para pemilik kenderaan tua yang akrab disebut bikers bercampur dengan Abang becak Siantar, terlihat asyik ngobrol sambil mengamati setiap sepeda motor yang sudah terkumpul pagi itu. Mereka memang para pecinta dan kolektor sepeda motor tua merek Birmingham Small Army (BSA) yang sengaja berkumpul pagi itu untuk turut merayakan ulang tahun kedua BOM'S (BSA Owner Motorcycles) Siantar. Tak dapat dipungkiri, acara itu sekaligus menjadi ajang reuni bagi mereka.
Hingga siang menjelang, jumlah sepeda motor peninggalan perang itu makin bertambah. Mereka tak hanya datang dari Kota Siantar, tapi juga datang dari Medan,Binjai, Jakarta ,Surabaya dan masih banyak dari daerah lain. Memang tak semua motor langka itu merek BSA. Ada juga merek Honda, BMW, Ducati, ditambah Scooter atau yang lebih kita kenal sebagai Vesva. Bentuknya beragam, namun sebagian besar sudah mengalami modifikasi sehingga terlihat makin unik dan menarik. Kedatangan mereka memang sengaja diundang panitia untuk memeriahkan perayaan ulang tahun itu, sekaligus sebagai ajang silaturahmi para bikers maupun pencinta sepeda motor tua di Nusantara.
Menurut H Erizal Ginting, Ketua Umum BOM'S Pematangsiantar, sebenarnya perkumpulan pecinta sepeda motor tua ini terbentuk pada 25 Juli 2006 lalu. Namun karena sesuatu hal, acara perayaannya baru digelar pada 23 Agustus 2008 kemarin. Tujuannya, tentu saja untuk melestarikan keberadaan motor (baca becak Siantar) yang sarat dengan kandungan nilai sejarah perjuangan Indonesia, bahkan dunia tersebut. Selain mengenang sejarah, perayaan tersebut sekaligus dijadikan momen agar Pemerintah Kota Siantar menjadikan motor bermesin gede ini dijadikan ikon atau lambang kebanggaan kota berhawa sejuk ini.
"Kita harus melestarikan becak Siantar. Kota atau daerah lain lelah mencari ikon sebagai bentuk identitas kota mereka, kenapa Kota Siantar tidak menjadikan Becak Siantar sebagai ikonnya? Becak siantar merupakan satu-satunya di dunia yang digerakkan sepeda motor tua. Jadi sangat pantas kalau becak ini dijadikan lambang Kota Siantar," ucapnya saat memberi kata sambutan dalam acara itu.
Untuk melestarikannya, kata Erizal, ada beberapa opsi yang ditawarkan organisasi ini kepada penguasa Kota Siantar. Selain menjadikan Becak Siantar sebagai ikon kota ini, para pemilik BSA yang sebagian besar menggunakan kenderaan itu sebagai becak untuk menafkahi anak-isterinya harus diberi perlindungan khusus berupa pemutihan pajak. Untuk itu, Peraturan Daerah yang mengatur soal pemutihan tersebut harus segera digodok oleh pihak eksekutif dan legislatif.
"Pemutihan pajak becak Siantar mendesak dilakukan. Bayangkan saja, sebagian besar pemilik BSA di kota ini adalah Abang Becak. Berapalah penghasilan mereka. Jika pemutihan pajak tersebut resmi diberlakukan, tentunya akan sangat membantu Abang-abang becak di kota ini. Para Abang-abang becak pun tidak lagi punya niat menjual becaknya akibat ekonominya terdesak. Ini menjadi salah satu tuntutan kami," sebutnya.
Jika becak ini dapat dilestarikan, sambung Erizal penuh semangat, tentunya akan memberi konstribusi nyata kepada Pemko Siantar. Caranya, dengan menjadikan becak Siantar menjadi kenderaan wisata satu-satunya di kota ini. "Kantor Parawisata Siantar misalnya membuat semacam voucer seharga seratus lima puluh ribu rupiah bagi wisatawan yang berkunjung ke kota ini. Jadi para wisatawan akan menggunakan becak Siantar untuk mengunjungi objek-objek wisata di kota ini. Dari nilai voucer tersebut, Kantor Parawisata memotong lima puluh ribu dengan catatan, dua puluh lima ribu untuk Kantor Parawisata dan duapuluh lima ribu lagi masuk ke kas daerah sebagai pendapatan asli daerah," paparnya memberi analogi.
Apa tanggapan Pemko Siantar? Walikota Siantar RE Siahaan yang diwakili Kepala Kantor Parawisata Pematangsiantar, Gunawan Purba, menyambut baik usulan dari para abang becak tersebut. Bahkan dengan tegas dia menyatakan, Pemko Siantar komit melestarikan keberadaan becak Siantar. "Salah satu bentuk komitmen kami untuk mempertahankan dan melestarikan becak ini, pada November mendatang, Kantor Parawisata Siantar akan menggelar parade becak Siantar dalam rangka mengembangkan sektor parawisata di daerah ini. bagi pemenang, kami akan menyediakan sejumlah uang tunai. Tentunya uang tersebut akan membantu para Abang becak memelihara becaknya," katanya.
Bapak Asuh

Tawaran menarik dilontarkan Kompol Safwan Khayat, Wakopolresta Siantar yang hadir dalam acara itu. Salah satu solusi untuk mempertahankan keberadaan becak ini menurut dia adalah dengan menerapkan pola asuh bagi para pemilik becak Siantar. Artinya, kata pria yang juga aktif dalam perkumpulan sepeda motor tua ini, setiap instansi besar, baik pemerintah mapun swasta mengasuh beberapa becak.
"Tolong lestarikan becak Siantar. Misalnya STTC Siantar, perusahaan ini bisa mengasuh atau merawat sekian becak. Demikian juga perusahaan atau instansi lainnya yang ada di kota ini. Jika ini diterapkan, saya yakin keberadaan becak Siantar akan mampu dipertahankan. sekali lagi saya sangat setuju becak ini dijadikan ikon Kota Siantar," ujarnya.
Hal yang sama juga disampikan Sony salah seorang pecinta motor tua di kota ini yang sekaligus mewakili dari Telkom, "Kalaupun keberadaan becak Siantar harus mati, jangan mati karena ketidak pedulian kita. Mari kita lestarikan keberadaan becak kebanggaan warga Siantar ini," katanya.
Sayangnya, pihak legislatif Kota Siantar tak datang dalam acara tersebut. Padahal mereka sangat diharapkan hadir untuk menampung aspirasi para Abang becak di kota ini. Usai pemberian kata sambutan, acara kemudian dilanjutkan dengan berbagai perlombaan, hiburan dan lucky draw yang melibatkan para Abang becak serta para undangan.
Hadiah Istimewa

Johan Fathandy, Presiden SMS alias Presiden Seniman Modal Suara yang memberi hadiah istimewa pada perayaan hari ulang tahun BOM'S Siantar yang kedua. Pria brewokan tersebut menciptakan sebuah lagu yang dikhususkan bagi para penggila BSA dan Abang becak Siantar dimanapun berada. Uniknya lirik lagu berirama cepat dan gembira itu diciptakan dari huruf awal nama H Kusma Erizal Ginting, pria yang sering dipanggil dengan sebutan Presidan BSA itu. Berikut lirik lagu tersebut.
BOM (Barisan Orang Musik)
Himpun kesatuan, pacu semangat mu
Kawula tua muda bersatu padu
Ujudkan impian mu menjadi kenyataan
Seniman, Bikers, Bentar (Becak Mesin Siantar,red) seiring jalan
Melantunkan lagu, syair dan puisi
Ayo Bikers dan Bentar unjuk prestasi

Energik dan berani, serta percaya diri
Nyanyikanlah suara hati nurani
Ramaikan Siantar dengan musik dan Bikers-nya
Inilah salah satu cara menjalin rasa
Zahir dan bathin, ikhlas dan rela
Akan bersatu dalam suka-duka
Lagukan soneta, balada dan puisi

Gemuruh suara Bikers beraksi
Indah dan mesra, persahabatan ini
Nuansa damai meresap di hati
Tuhan bersama kita
Iman tagwa dan doa
Nyalakan semangat persatuan kita
Gebyar aktivitas BOM terdengar nyata.(hut/gor)

Terancam Punah
Ikon budaya Kota Pematangsiantar, becak bermesin sepeda motor BSA atau Birmingham Small Army terancam punah akibat ketidakpedulian Pemerintah Kota Pematangsiantar. Bahkan beberapa waktu lalu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah Kota Pematangsiantar berencana menerbitkan peraturan daerah yang memungkinkan sepeda motor baru buatan Jepang maupun China, menggantikan sepeda motor BSA.
“Dalih pemerintah kota dan DPRD ingin meremajakan becak motor ini. Padahal mereka tak sadar ini akan menghilangkan ikon budaya yang mestinya dijaga di Kota Pematangsiantar ini,” ujar Ketua Umum BSA Owner Motorcycles Siantar (BOM’S) Siantar H Kusma Erizal Ginting.
BOM’S merupakan wadah pengemudi becak motor BSA dan pemilik sepeda motor BSA di Kota Pematangsiantar. Erizal mengatakan, becak siantar punya sejarah panjang yang ikut mewarnai perjalanan Kota Pematangsiantar. “Di dunia ini, satu-satunya becak motor dengan kapasitas mesin besar. Bahkan pabrik BSA-nya di Inggris pun sudah tutup,” kata Erizal.
Semua becak siantar menggunakan sepeda motor merek BSA dengan tahun pembuatan rata-rata tahun 1941 hingga 1956. Di Pematangsiantar, becak bermesin awalnya menggunakan sepeda motor lama yang ditinggalkan tentara sekutu maupun pengusaha perkebunan dari Eropa, seperti Norton, Triumph, BMW hingga Harley Davidson.
Namun sejak tahun 1960, pengemudi becak bermesin di Pematangsiantar hampir semuanya menggunakan BSA. “Kami dulu mencoba semua merek sepeda motor, dan terbukti BSA yang kemudian efisien serta lebih mudah perawatananya,” ujar salah seorang pemilik bengkel yang juga pelopor becak Siantar," Muhammad Rohim.
Pemerintah Kota Pematangsiantar, kata Erizal dinilai tidak peka terhadap keberadaan becak siantar yang sudah menjadi ikon kota. “Mereka bukannya mau melestarikan keberadaan becak siantar ini, malah hampir membuat keberadaannya punah,” katanya.
Beberapa kali desakan BOM’S dan tokoh masyarakat Pematangsiantar, akhirnya membuat DPRD dan Pemerintah Kota gagal merealisasikan perda baru yang memungkinkan peremajaan becak siantar dengan sepeda motor baru buatan Jepang maupun China.
“Becak Siantar ini jika dikelola dengan baik, sebenarnya justru bisa mendatangkan pendapatan asli daerah. Becak ini bisa menjadi kendaraan pariwisata bagi turis yang ingin datang ke Danau Toba maupun mengunjungi obyek wisata sejarah di Kota Pematangsiantar. Sayangnya pemerintah kota masih belum menyadari potensinya,” kata Erizal.
Anehnya lagi, lanjut Erizal, jika ada even-even tertentu seperti Konferensi Gereja se-Asia beberapa waktu lalu, justru keberadaan becak Siantar ini yang ditunjukan kepada tamu-tamu asing. “Namun setelah itu, keberadaan kami malah tak dihargai lagi,” katanya. (kcm/hut/gor)


Satu-satunya di Dunia
Barangnya sudah langka, suku cadangnya tidak lagi dijual di pasar. Perawatannya pun kian sulit. Kelangkaan itu justru membuat motor BSA yang dijadikan penarik becak khas Siantar ini menjadi barang koleksi menarik dan mahal. Banyak motor BSA di Siantar menjadi buruan kolektor motor antik dari penjuru Indonesia.
BSA keluaran 1952 milik Kartiman, salah seorang dedengkot pecinta BSA di Siantar, pernah ditawar Rp30 juta. "Belum mau saya jual karena harganya tidak cocok. Seingat saya, Betor BSA di Siantar yang khusus membawa penumpang umum ini satu-satunya di dunia. Walaupun sama-sama beroda tiga, becak Siantar memiliki ciri khas yang tidak ada pada becak-becak lain. Kalau becak di Jawa umumnya dikayuh oleh manusia, becak Siantar ditarik dengan sepeda motor," kata pria yang akrab disapa dengan panggilan Mbah Lanang ini.
Meskipun becak motor alias Betor juga ada di beberapa kota lain, becak Siantar tetap memiliki keunggulan. Di Sumatera Utara, alat transportasi becak motor juga ada di Padang Sidempuan dan Rantau Prapat. Kalau becak Padang Sidempuan bermesin Vespa 1970-an dan becak Rantau Prapat bermotor Yamaha 1970-an, becak Siantar lebih unggul karena ditarik BSA tua. Becak dengan motor tua yang semakin langka itu justru menjadi keunikan yang menghiasi Kota Siantar.
Sepeda motor buatan Inggris ini dijadikan alat transportasi tentara Inggris di Pulau Jawa pada Perang Dunia II. Rata-rata usianya telah mencapai 60-an tahun. Motor-motor becak itu buatan 1941, 1948, 1952, 1953, 1954, 1955, dan 1956, kata Kartiman, seorang tokoh penarik becak di Siantar, yang juga bekas Ketua Group Motor Tua Pematang Siantar (GMTS). Bila tak salah, sekarang jumlahnya tinggal sekitar 400-an buah.
Bertahan Karena Tangguh
Kapan masuknya becak ke Pematang Siantar agak sulit dipastikan. Menurut Kartiman, sarana angkutan roda tiga itu dirintis oleh P Siahaan pada 1956, dengan becak bermotor berkekuatan 125 cc, bermerek Frans Barnet, Alpino, Filler, KK, dan SAF. Sayangnya, becak generasi pertama ini tak bertahan lama.
Mengapa becak motor generasi pertama tak mampu bertahan di Siantar? Kota seluas 79,97 kilometer persegi ini berada pada ketinggian 400 meter di atas permukaan laut dengan permukaan tanah berbukit-bukit, sehingga jalan-jalannya naik turun. "Waktu itu jalanan malah masih berbatu koral dan sering berlumpur," sebut pria berusia 60 tahunan itu menuturkan.
Akibatnya, becak bermotor tak sanggup mengantar penumpang sampai ke dekat rumah warga karena jalannya sempit dan jelek. "Karena tak mampu mengatasi tantangan tersebut, akhirnya diganti," terangnya.
Baru pada 1960-an jalanan kota berpenduduk 240.831 juta ini diramaikan becak bermesin Triumph, Ariel, Norton, BSA, AJS, dan Machles. Motor tua ini dibawa almarhum Baren Purba dan Situmorang dari Jawa. BSA yang paling menonjol dari keenamnya dan mampu bertahan hingga kini. Pada masa itu juga, lahir organisasi abang becak pertama, yakni Persatuan Becak Mesin Siantar (PBMS).
Masing-masing pemilik becak bersaing menampilkan kelebihan becaknya, mulai dari mesin hingga aksesoris. Alhasil, dengan penyebab dan alasan masing-masing, satu demi satu becak berguruan. Yang bertahan cuma betor BSA 500 cc (Buatan tahun 1941 dan 1948) dan BSA 350 cc ( Buatan tahun 1952,1953, 1954, 1955, dan 1956). Lambat laun motor BSA kian langka.
Alami Perombakan
Becak Siantar semula berbentuk bak sampan, seperti becak mesin di Medan sekarang. Bentuk tempat duduk penumpang yang terletak di sebelah kiri setinggi satu meter untuk dua orang, hanya terbuat dari terpal. Pada sisi kanan dan kirinya diberi besi penyangga dan bisa dilipat-lipat.
Perombakan terjadi awal 1970-an. Selain menggunakan pelat-pelat besi membentuk tempat duduk dan penutup payung hujan, di bagian depan menggunakan dinding kaca. Di bagian bawahnya diberi tempat pijakan kaki. Ban di sebelah tempat duduk dipasang penutup sebagai penahan rembesan tanah atau lumpur. Di belakang tempat duduk disediakan bak kecil berpagar pelat besi, berfungsi untuk tempat barang-barang bawaan penumpang.
Perubahan juga terjadi pada suku cadang, dengan modifikasi suku cadang motor lain, semisal Honda. Mulai dari platina, karburator, busi, tidak ada lagi yang asli suku cadang BSA. Semuanya hasil pembubutan di bengkel-bengkel yang secara khusus melayani kebutuhan suku cadang penarik becak. Bengkel khusus itu ada Jalan Kampung Banten, Jalan Tombang, Jalan Pahlawan, Jalan Rami, dan Jalan Singosari, Pematangsiantar.
"Selagi masih ada las bubut, becak Siantar masih bertahan dan saya sendiri belum mau pensiun dari membecak," kata Kartiman, lelaki Jawa beristri perempuan Batak yang mengaku sudah membecak sejak sejak 1962 silam itu.
Penarik becak di Siantar biasanya bisa jadi montir karena umumnya juga menjadi pemilik langsung. Mereka terbiasa memperbaiki becak di rumah masing-masing tanpa harus ke bengkel. Walau sudah banyak onderdil yang tidak asli lagi, ciri khas motor BSA masih tampak. Misalnya, tangki mesin berisi 12 liter dengan logo BSA, stang berkrom, speedometer BSA (yang sudah tidak berfungsi), velg, lampu bulat, serta sayap depan dan belakang.
Penampilan betor BSA memang tampak garang. Itu luarnya. Namun, penumpang yang naik di dalamnya merasa nyaman karena pegas motor begitu kuat tapi lembut. Penumpang akan merasa duduk di kursi goyang. Hanya telinga saja yang mungkin terganggu karena suara mesinnya keras dan bulat, meraung-raung. Suara mesin ini juga masih asli dari Betor BSA.
Keunikan becak Siantar BSA kemudian menjadi ciri khas dan daya tarik bagi wisatawan ke kota ini. walau berangsur-angsur tersingkir oleh kehadiran mobil penumpang. Belakangan, setelah mobil penumpang bebas memasuki wilayah yang menjadi lahan penarik becak, penghasilan mereka merosot. (hut/gor)


Kisah Mbah Lanang dan Sejarah Becak Siantar
Rambut dan kumisnya berwarna putih semua. Jalannya pun harus dibantu dengan tongkat. Namun, jika bicara semangat, dia tak kalah dengan biker mana pun. Namanya Kartiman, tetapi semua biker di Pematang Siantar mengenalnya sebagai Mbah Lanang.
Jika ingin mencari tahu sejarah becak siantar, becak bermesin sepeda motor BSA buatan Inggris tahun 1941-1956, Mbah Lanang adalah orang yang paling tepat untuk menceritakannya.
Memang masih ada pionir becak siantar yang masih hidup, seperti Muhammad Rohim (67) yang usianya lebih tua beberapa bulan dibandingkan dengan Mbah Lanang dan menguasai seluk-beluk mesin sepeda motor BSA yang merupakan kependekan dari The Birmingham Small Arms Company. Ada juga Tikno dan Mbah Sari. Merekalah orang pertama yang kreatif menjadikan sepeda motor tua peninggalan Perang Dunia II sebagai becak di Pematang Siantar, Sumatera Utara.
Akan tetapi, di tangan Mbah Lanang, catatan sejarah hingga foto-foto dokumentasi berbagai jenis serta modifikasi becak siantar disimpan. Mbah Lanang membuat catatan sederhana tentang perjalanan becak siantar dari waktu ke waktu. Dia juga mencatat beberapa bagian dari spare part atau suku cadang sepeda motor BSA yang sudah bisa dibikin oleh bengkel-bengkel dari industri rumahan di Pematang Siantar.
Becak Siantar pernah mencapai 2.000 unit, dengan mayoritas menggunakan sepeda motor BSA sebagai penariknya, adalah jasa orang-orang seperti Mbah Lanang. Meski beberapa di antara sepeda motor BSA itu merupakan peninggalan pasukan sekutu, terutama dari Inggris saat mereka di Pematang Siantar dan juga bekas milik pengusaha perkebunan dari Eropa, jumlahnya paling banyak hanya 200 unit. Sebagian besar becak Siantar ini menggunakan sepeda motor BSA yang didatangkan dari luar kota Pematang Siantar oleh orang seperti Mbah Lanang.
Kini, mengisi sisa hari-hari tuanya, Mbah Lanang didapuk sebagai sesepuh sekaligus penasihat BSA Owner Motocycles Siantar (BOM’S), organisasi yang mewadahi ratusan pengemudi becak Siantar dan puluhan penggemar sepeda motor BSA di kota ini. etiap siang hingga sore menjelang senja, Mbah Lanang biasa berkumpul dengan bikers muda maupun pengemudi becak di Sekretariat BOM’S, Jalan Kartini, Pematang Siantar.
Jual beli
Kakek 12 cucu ini dulunya hanya penjaga tempat penitipan sepeda di Pasar Horas, Pematang Siantar. "Tahun 1962 saya kerja di tempat penitipan sepeda di Pajak Horas. Kerjanya menjaga agar jangan sampai ada sepeda yang masuk ke dalam pajak (pasar). Setiap pulang saya selalu naik becak dan minta ke penariknya agar saya yang bawa becaknya," cerita Mbah Lanang.
Dari kebiasaan membawa sendiri becak yang mengantarnya pulang kerja, Mbah Lanang mulai belajar seluk-beluk sepeda motor BSA. Tak lama setelah menikahi Atom Saragih tahun 1963, Mbah Lanang membeli sendiri becak siantar. Saat itu, harga becak Siantar bermesin sepeda motor BSA tipe ZB31 sebesar Rp 220.000.
"Kalau disesuaikan dengan emas, harga sebesar itu sama dengan harga emas 12 mayam," katanya.
Baru satu tahun dibeli, becak tersebut kemudian dijualnya. Namun, Mbah Lanang tetap menarik becak. Hanya saja, kali ini dia menarik becak punya orang lain. "Dalam waktu dua tahun saya sudah bisa beli becak sendiri lagi," ujarnya.
Pengalaman jual-beli becak kemudian membawa Mbah Lanang pada profesi baru sebagai penjual becak Siantar. Apalagi saat itu jual beli becak Siantar tengah booming. Pekerjaan sebagai pengemudi becak siantar masih sangat menjanjikan. Berbekal pengalamannya itu, dia berani mencari sepeda motor BSA hingga ke seluruh pelosok Sumut.
"Mulainya di Pematang Siantar, setelah enggak ada lagi, saya mulai cari ke kota-kota lain di Sumatera Utara. Setelah di Sumatera Utara enggak ada lagi, saya cari hingga ke provinsi lain, tetapi masih di Sumatera. Baru setelah di Sumatera sudah kehabisan, saya mencari di Pulau Jawa," tutur lelaki kelahiran Pematang Siantar, 1 Februari 1941, ini.
Sejak tahun 1980-an, Mbah Lanang mulai mencari sepeda motor BSA hingga ke pelosok kota-kota di Pulau Jawa dan Bali. "Saya datangi kota di Jawa, mulai dari Ngawi, Kediri, Surabaya, malah sampai ke Bali. Sekali berangkat paling banyak saya dapat tiga unit dan langsung dibawa ke Pematang Siantar," katanya.
ALS dan KM Tampomas
Menurut Mbah Lanang, di kota-kota Pulau Jawa waktu itu dia sering menemukan kondisi sepeda motor BSA teronggok begitu saja tanpa perawatan. "Banyak yang diletakkan di kandang ayam dan tak terurus," ucapnya.
Dengan menggunakan transportasi darat naik bus Antarlintas Sumatera (ALS), sepeda motor BSA itu dipereteli sebelum dibawa ke Pematang Siantar. Selain jalur darat, terkadang Mbah Lanang mengangkutnya melalui jalur laut dengan KM Tampomas, yang telah tenggelam di perairan Masalembo tahun 1981.
Kegiatan jual-beli sepeda motor BSA dilakukan Mbah Lanang hingga tahun 1990-an. Dia pun tetap setia menarik becak saat tak sedang mencari sepeda motor BSA untuk dibeli. Ketika jumlah sepeda motor BSA yang dijadikan becak di Pematang Siantar mencapai puncaknya, sampai ada 2.000 unit, terjadilah titik balik. Belakangan ini justru banyak orang luar yang meminati sepeda motor BSA yang telah dijadikan becak di Pematang Siantar.
"Kolektor sepeda motor tua membelinya dengan harga Rp 10 juta hingga 17 juta. Saat jumlah BSA mulai berkurang, baru orang sadar kalau dibiarkan terus bisa tidak ada lagi yang tersisa di Pematang Siantar," ujar ayah empat anak ini.
Kini, bersama para pengemudi becak siantar dan bikers yang tergabung dalam BOM’S, Mbah Lanang gigih mengampanyekan kelestarian becak siantar. Dia pun berada paling depan saat Pemerintah Kota Pematang Siantar dan DPRD setempat merancang Perda peremajaan becak motor.
Dengan Perda tersebut, memungkinkan sepeda motor baru buatan Jepang atau China menjadi penarik becak di Pematang Siantar. Sesuatu yang selama ini eksklusif untuk sepeda motor tua, seperti BSA. "Biarlah, kalaupun becak Siantar ini harus mati, matilah dengan alami. Bukan punah karena Perda," ujarnya. (kcm/hut/gor)
Menjaga Ikon Pematang Siantar

Niat Kusma Erizal Ginting (48) membangun kota itu agar lebih berbudaya tak pernah surut. Bersama ratusan pengemudi becak motor siantar, ia berusaha mempertahankan orisinalitas kendaraan angkutan umum melegenda bagi masyarakat Pematang Siantar.
Erizal menyaksikan saat sado, kendaraan tradisional yang ditarik kuda, harus hilang dari Pematang Siantar, sejak akhir 1970-an. Dia membandingkan dengan Yogyakarta, kota tempatnya meraih gelar sarjana hukum, yang tetap mempertahankan orisinalitas kendaraan tradisional tersebut sebagai salah satu transportasi wisata.
"Dulu, sado sempat menjadi ikon transportasi tradisional di Pematang Siantar. Rasanya sedih tak bisa lagi melihat kendaraan tersebut. Apa sih susahnya menyandingkan sesuatu yang tradisional dengan yang modern, tanpa menggusur salah satunya?" ujarnya.
Tahun lalu DPRD dan Pemerintah Kota Pematang Siantar sempat menggagas peraturan daerah (perda) yang mengatur peremajaan becak motor. Peremajaan itu dirasakan sebagai ancaman bagi keunikan becak siantar yang selama ini menjadi andalan untuk mobilitas warga Pematang Siantar.
Becak motor siantar unik karena digerakkan oleh mesin sepeda motor merek BSA (Birmingham Small Army) buatan Inggris, yang kini tak ada lagi pabriknya. Umumnya sepeda motor BSA yang digunakan tipe M 20 buatan tahun 1941 hingga 1948 berkapasitas mesin 500 cc, dan tipe ZB 31 buatan tahun 1950 hingga 1956 berkapasitas mesin 350 cc.
Prihatin akan ancaman kepunahan becak motor siantar, Erizal menggalang para pengemudi becak dan penggemar motor tua bermesin besar mendirikan satu wadah. Saat DPRD dan Pemko Pematang Siantar sedang gencar menggodok Perda peremajaan becak motor, Erizal dan para pengemudi becak serta penggemar motor tua di kota itu mendirikan BSA Owner Motorcycles Siantar yang disingkat BOM’S.
Dipenuhi
Pria kelahiran Pematang Siantar, 2 Januari 1959, ini tak datang dari kalangan menengah- bawah seperti kebanyakan pengemudi becak motor siantar. Ayahnya pengusaha perhotelan, yang kini usahanya diteruskan Erizal. Sejak kecil, karena melihat banyaknya sepeda motor tua buatan Inggris dijadikan mesin penarik becak, Erizal pun kemudian menjadi "maniak" terhadap produk-produk BSA, mulai dari sepeda hingga sepeda motor.
Melalui BOM’S, dia bersama ratusan pengemudi becak Siantar berjuang agar perda peremajaan itu tidak disahkan. Perjuangan mereka berhasil. Pemerintah dan DPRD urung membuat Perda tersebut. Bahkan, dua dari empat tuntutan BOM’S dipenuhi pemerintah daerah.
Tuntutan agar pemerintah daerah memerhatikan kelestarian becak Siantar dipenuhi, antara lain dengan mengecat dayung (kabin tempat penumpang) becak motor dan membantu memperbaiki kondisi sepeda motor tanpa menghilangkan orisinalitas BSA. Pemko juga mengirim surat kepada Gubernur Sumut dan Dinas Pendapatan Provinsi Sumut agar becak Siantar diputihkan pajaknya karena BSA ini rata-rata bekas rongsokan Perang Dunia II.
Tuntutan yang masih belum dipenuhi adalah menjadikan becak Siantar sebagai satu-satunya kendaraan pariwisata di kota ini, menjadikannya sebagai benda cagar budaya, menjadikan becak Siantar ikon kota ini serta membuat dan mengesahkan perda yang mengatur pemutihan pajak motor jaman behaula ini.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992, benda cagar budaya adalah buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Dari definisi itulah, kata Erizal, becak siantar bisa dikategorikan sebagai benda cagar budaya. Becak siantar sebagai benda muncul sekitar tahun 1956. Namun, penggeraknya, mesin sepeda motor BSA, usianya jauh lebih tua.
"Mungkin kamilah satu-satunya di dunia yang saat ini masih bisa mengoperasikan sepeda motor BSA dalam jumlah besar," ujarnya.
Melegenda
Di Sumut keberadaan becak siantar melegenda. Selain unik karena menggunakan sepeda motor BSA, becak Siantar telah melewati rentang waktu relatif panjang sejak pertama kali beroperasi di wilayah itu.
Kecintaannya pada Kota Pematang Siantar ingin diwujudkan oleh lulusan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, ini dengan membangun kota itu agar lebih berbudaya. Untuk itu, Erizal berjuang agar becak Siantar menjadi ikon di kota tersebut.
Kini, dengan memimpin BOM’S, dia secara langsung membantu para pengemudi becak. Misalnya, Erizal memotong jalur distribusi pengadaan suku cadang becak siantar. Ia membeli ban becak dari distributor pertama. Jika di toko-toko ban harga satu ban becak Rp 125.000- Rp 130.000, di markas BOM’S yang sekaligus dijadikan toko peralatan becak motor hanya dihargai Rp 115.000. "Perbedaan harga Rp 10.000-Rp 20.00bagi pengemudi becak ini berarti," ucapnya.
Erizal juga berusaha menjadikan becak Siantar sebagai cagar budaya dan tetap bertahan di Pematang Siantar dengan mengampanyekan ide-ide pelestarian becak Siantar lewat dunia maya. Dia membuat situs www.boms-ssc.com sebagai sarana kampanye ke seluruh dunia.
"Komunitas bikers di Indonesia dan luar negeri salah satu yang membantu kami agar becak siantar tetap terjaga kelestariannya," katanya.
Di sisi lain, Erizal berusaha keras menjaga agar lebih dari 800 unit becak siantar bermesin sepeda motor BSA ini bisa tetap beroperasi. Perjalanan waktu telah membuktikan keandalan mesin sepeda motor BSA melewati rute naik-turun, ciri topografi Pematang Siantar yang terletak di punggung bukit ini.
"Sebisa mungkin becak Siantar tetap menjadi ikon budaya kami," katanya. (kcm/hut/gor)Valentino Rossi dan Becak Siantar

Sepeda motor merek Birmingham Small Arm (BSA) adalah kendaraan perang pabrikan Inggris buatan tahun 1940 hingga 1960-an. Ukuran mesinnya bervariasi dari 150cc hingga 500cc. Namun yang paling banyak digunakan adalah yang 250cc dan 500cc. Nah tuh, kebayangkan kekuatan mesinnya?
Di Siantar, jumlahnya masih cukup banyak, Sebagian besar sudah dimodifikasi. Secara umum, motor BSA masuk ke Indonesia pada masa peralihan tentara Jepang ke tentara Sekutu (Belanda-Inggris). BSA kemudian menyebar ke daerah-daerah jajahan Belanda, termasuk ke Siantar. Tapi tak banyak yang mengetahui jika masuknya motor BSA dalam jumlah besar ke Siantar justru bukan dibawa oleh tentara Belanda.
“BSA adalah sisa-sisa perang dunia kedua. Belanda yang membawanya ke sini. Tapi walau sebelumnya sudah ada motor BSA dalam jumlah kecil di Siantar, masyarakat Siantar sendiri yang berperan besar membawa BSA masuk ke kota berhawa sejuk ini,” kata Erizal Ginting.
Masa sih? Ketika penjajah minggat dari Indonesia, motor-motor BSA kehilangan tuannya. Tak ada sparepart dan teknisi yang mumpuni di Indonesia. Nasib Motor BSA pun berakhir tragis. Ada yang ‘tergolek’ di gudang atau yang terdampar di jalanan. Motor BSA jadi barang rongsokan. Adalah Mbah Lanang (67 tahun), sesepuh BOM’S yang mengawali cerita ini semua.
Menurut Mbah Lanang, tahun 1958, ia dan rekan-rekannya berburu BSA hingga ke pulau Jawa: Surabaya dan Jakarta. Kedua provinsi ini adalah sarangnya motor BSA. Lalu motor BSA diangkut dengan "Almarhum" Kapal Tampomas II dalam jumlah besar. Kemudian sekitar tahun 1960-an, Mbah Lanang dan rekan-rekannya memodifikasi motor BSA untuk dibuat sebagai becak. Sejak itulah awalnya Kota Siantar dikenal sebagai ‘Kota Becak BSA’.
“Saya mengetahui sejarah masuknya BSA ke Siantar. Mbah Lanang menjadi salah seorang saksi sejarah yang mendatangkan BSA ke Siantar ini,” ujar Erizal Ginting yang juga seorang budayawan Siantar.
Sejarah BSA di Kota Siantar pun dimulai. Ketiadaan sparepart dan teknisi mulai bisa dipecahkan agar nasib motor BSA tidak tragis seperti di Surabaya dan Jakarta. Dengan kerja keras, orang-orang Siantar menciptakan sendiri sparepart BSA yang tak mungkin didatangkan bahkan dari tempat kenderaan ini dibuat (Birmingham,Inggris). Orang-orang Siantar pun, terutama pemilik motor BSA, mulai belajar membedah mesin BSA.
Mereka sudah bisa menciptakan sendiri onderdil untuk motor BSA. Ada beberapa pabrik-pabrik mini yang mampu memproduksi spare part motor BSA di Siantar. Mulai dari karburator, hingga pelek. Dengan sedikit kreatifitas, disulaplah karburator Kawasaki Binter menjadi karburator BSA. Juga, jangan heran melihat pelek dan blok mesin motor tua ini kinclong bak motor keluaran tahun mutakhir. Becak BSA pun tetap tegar menjelajahi jalanan di Kota Siantar. Suaranya hingar-bingar, terkadang kalo lewat di depan rumah, siaran TV pun ikut bergetar. Brum..brum...duk..duk...duk...brum pletak... (kok pletak?).
Iya, kadang knalpotnya mengeluarkan letupan seperti suara meriam bambu. terutama untuk mesin yang berukuran 500cc. Apalagi terkadang abang-abang becak ini suka iseng mengisi bahan bakar BSA nya dengan minyak tanah bukan bensin. "Biar murah!" kata mereka. Hehehe, ada-ada saja.
Karena suaranya ini pula, seorang rekan dari Medan menyebutnya Helicak alias Helikopter Becak. "Suaranya kaya' Helicopter tapi kok ternyata becak", selorohnya.
Goyangan di kursi penumpangnya mantap karena dipasang per mobil di bawah gandengan, sehingga penumpang becak ini seakan naik ayunan. Geot...geot...naik turun, nyaman sekali.
Pada tahun 1980-an, ketika PSMS medan sedang jaya-jayanya di kompetisi Perserikatan PSSI, banyak supporter dari Siantar berduyun-duyun ke Stadion Teladan Medan naik Becak ini. Ini luar biasa, mengingat jarak Siantar-Medan mencapai 128 Km. Ayo, becak mana yang mampu menempuh jarak sejauh itu? Kalo becak di Jogja melakukannya, wah bisa gempor mengkayuhnya! He...he...he...he.
Mungkin, becak Siantar merupakan becak tercepat didunia, bahkan mungkin tercanggih juga. Bayangkan, kapasitas mesinnya 500cc! Bisa ikutan MotoGP gak ya? Jadi pengen ngebayangin Valentino Rossi--raja MotoGP itu--pake BSA!! Bisa senewen tujuh turunan dia. Ha..haaa..haaa. (net/hut/gor)
Pabriknya Sudah Jadi Stadion

Jika berbicara becak Siantar, kita akan melintas masa masuknya sekutu pada tahun 1945, untuk kembali menjajah di tanah air, BSA yang diproduksi oleh pabrik yang khusus memproduksi keperluan peralatan-peralatan kecil tentara. BSA sendiri kependekan dari Birmingham Small Arm atau peralatan- peralatan kecil tentara, produksi Birmingham.
Maka becak Siantar juga dapat kembali menceritakan sejarah pergolakan pada masa tahun 1945, dimana pada masa itu juga adalah untaian dari Perang Dunia ke II dan sebahagian besar negara-negara di dunia terlibat dengan masalah kolonialisme. Kehadiran BSA di Siantar adalah fasilitas tentara sekutu untuk operasi di daerah ini.
Pada sisi lain, bahkan di daerah atau negara Inggris tempat BSA diproduksi, BSA sudah menjadi barang langka. Soalnya pabrik kendaraan roda dua dengan cc besar ini telah terbakar tahun 1972 dan tidak dihidupkan lagi. “Lokasi pabriknya telah berkembang menjadi lokasi stadion utama klub sepak bola Birmingham sekarang ini,” terang pria yang sudah pernah melakukan perjalanan ke daerah asal BSA tersebut.
Pada tahun 1980-an, ada sekitar 2000-an ranmor BSA di Siantar. Angka tersebut yang tertinggi di seluruh dunia, bahkan dibanding Inggris sendiri. Hanya saja, angka estimasi terakhir, BSA di Siantar tinggal sekitar 800 unit. “Sekarang sudah terbalik, jumlah BSA di Birmingham sudah lebih banyak ketimbang di Siantar. Data terakhir yang saya peroleh di Birmingham ada sekitar 1.400 unit BSA,” kata Rizal.
BSA Siantar katanya belakangan banyak yang sudah jual kepada peminat dari luar daerah, bahkan dibawa keluar negeri. Terjualnya BSA tersebut menurutnya paling utama adalah akibat faktor ekonomi. Padahal, mestinya pemerintahan yang peduli dengan Siantar sejak dahulu melakukan langkah proteksi kepada hilangnya BSA dari Siantar menunjukkan kepeduliannya terhadap BSA melalui berbagai statemen dan tindakan. Erizal sendiri cemas dengan kehadiran becak jenis kendaraan lain yang akan membuat BSA tidak beroperasi lagi, jadi rongsokan atau akan dijual ke orang-orang berduit di luar Siantar.
Siantar, tentunya akan kehilangan bagian dari sejarahnya. Sementara, sesuai perjalanan dan perkembangan peradaban dunia, orang-orang atau kelompok yang tidak mencermati dan menghargai nilai sejarah adalah orang yang tidak beradab.
“Semestinya nilai sejarah Siantar dengan BSA-nya perlu direkonstruksikan dan dikemas dalam bentuk yang lebih bernilai dan laku dijual seperti dalam bentuk kepariwisataan,” sebutnya.(nt/hut/gor)

Ritual Kerajaan Dolok Silou






Nilai Luhur yang Nyaris Terlupakan
Marga Purba Tambak, istilah yang digunakan untuk menyatakan keturunan dari satu golongan dari Kerajaan Silau. Purba dalam bahasa Simalungun diartikan sebagai timur serta Tambak artinya kolam untuk mengambil ikan dengan menggunakan bubu. Selain menangkap ikan, menanam bawang merupakan bagian dari pekerjaan Purba Tambak.
Berdasarkan catatan sejarah, turunan Purba Tambak berasal dari Pagaruyung yang mengembara dan berpindah-pindah ke Natal, Singkil hingga kebahagian Timur dan akhirnya berhenti di suatu tambak. Lokasi tmabka kemudian dijadikan perkampungan sehingga resmilah dikenal sebagai Purba Tambak. Belakangan, gelarnya kemudian bertambah karena kemampuanya menguasai tanaman bawang yang ditanam di sekitar tambak. Lengkaplah gelarnya menjadi Purba Tambak Bawang.
Tambak Bawang dan Ultob
Keturunan Purba Tambak pertama bernama Jigou. Gelar sebagai Penghulu Tambak Bawang makin populer karena kemahirannya mempengaruhi dagangan bawang di sebuah kampung yang termasuk daerah Kerajaan (Dolog) Silau. Keturunan kedua bernama bernama Tuan Sinderlela, menngembara ke daerah Serbajadi, Kesultanan Serdang. Kegemarannya berburu dengan mengunakan ultob atau sumpitan membuat dia dikenal sebagai Tuan Pangultob-ultob. Belakangan hari, bubu dan ultop menjadi simbol Kerajaan Dolok Silau.
Tak hanya gelar Pangulto-ultob, gelar Pangulu Tambak Bawang juga turut melekat pada Tuan Sindarlela hingga dirinya dinobatkan menjadi Raja Silau yang berkedudukan di Silau Bolak, sekaligus memulai sejarah adanya Kerajaan Dolok Silau. Hal ini berdasarkan catatan sejarah yang dimulai dari Raja Lurni. Namun sayang, catatan riwayat hidup Tuan Lurni, hingga kini belum didapati, namun penerus kedudukannya sebagai Raja Dolok dilanjutkkan oleh Tuan Tanjarmahei Purba Tambak bergelar Raja Dolok Silau yang ke XI dan selanjutnya kepemimpinan Raja Dolok XII dilanjutkan oleh putranya bergelar Tuan Ragaim Purba Tambak dan Raja Dolok Silau yang ke XIII bergelar Tuan Bandar Alam Purba Tambak, hingga terjadinya revolusi sosial di Sumatera Timur.
Menjawab Panggilan Leluhur
Ironis rasanya bila anak tidak mampu memberikan hal yang terbaik guna meneruskan benang merah keberadaan leluhurnya, apalagi jika menyangkut kepentingan masyarakat, khususnya kebesaran keluarga besar Marga Purba Tambak. Sejarah telah membuktikan, raja Kerajaan Dolok Silou merupakan salah satu dari sekian banyak raja-raja yang ada dibumi pertiwi yang anti dengan penjajah.
"Ompung Raja Dolok Silou ke XI cukup dikenal keberanianya dalam menentang penjajah. Berbagai bukti pertempuran dapat dilihat dan ketegasanya dalam menolak untuk berkompromi dengan Kolonial Belanda jelas masih dapat dibuktikan,” ungkap Tanjar Gaim Purba Tambak, putra Raja Dolok Silou ke XIII.
Sebagai penghormatan terhadap leluhurnya, pelaksanaan ritual pengantian peti hubur para raja Kerajaan Dolok Silou merupakan perwujudan dari kepedulian para keturunan dan keluarga raja untuk meneruskan tradisi budaya kerajaan Dolok Silou yang masih tersisa. "Apa yang telah dirintis orangtua kami sebelumnya sebagai Raja ke XIII dari Kerajaan Dolok Silou harus tetap kami lakukan. Upaya untuk mempersatukan peninggalan sejarah Kerajaan Dolok Silou merupakan karya yang tiada dapat dinilai keagunganya," katanya.
"Keturunan Kerajaan Dolok Silou masih ada, demikin juga keluarga besar kerajaan serta keturunan pemangku-pemanku adat Purba Tambak masih mampu meneruskan tradisi budaya yang telah turun-temurun dilaksanakan. Tidak ada alasan bagi kami keturunan dan keluarga besar Purba Tambak untuk tidak melanjutkan apa yang telah diwariskan oleh leluhur kami. Dengan bimbingan para pemangku adat, tahap demi tahap ritual yang menyangkut pelaksanaan pergantian peti hubur para leluhur kerajaan Dolok Silou dapat berjalan dengan baik," kata Tanjar.
"Tidak ada maksud untuk mencari popularitas dalam acara ritual ini, tetapi acara ini sudah merupakan keharusan dan merupakan panggilan bagi setiap keturunan langsung dan keluarga besar Raja Purba Tambak dari Kerajaan Dolok Silou untuk tetap mempertahankan tradisi yang telah diwariskan secara turun–temurun. Masyarakat umum juga sudah selayaknya turut membantu terpeliharanya kelangsungan tradisi yang merupakan cagar budaya yang ada di Tanoh Simalungun sehingga mampu menjadi tuah bagi masyarakat. Dengan demikian, tepatlah ucapan para orang bijak, bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa para pahlawanya," paparnya.
Pentingnya Kajian Khusus
Bukti kebesaran Kerajaan Dolok Silau nyaris punah meski generasi dinasti Raja Dolok Silau ke XIII hingga kini masih sehat walafiat. Namun sayang, situs peninggalan kerajaan nyaris hilang ditelan ketidak pedulian pemerintah akan pentingnya memelihara aset budaya yang terpendam seiring perkembangan jaman.
“Tugas anak bangsa ini khususnya bagi generasi dinasti Kerajaan Dolok Silau yang masih ada, kami harus mampu mempertahankan tradisi kerajaan. Ini merupakan aset yang tak ternilai bagi kebesaran bangsa dan negara Indonesia,“ kata Ir.Rohman Purba Tambak, Ketua Panitaia pesta Peresmian Balai Hubur Raja yanag berlangsung 19 sampai dengan 20 Agustus 2008 lalu di Dusun Barubei, Desa Saran Padang, Kecamatan Dolog Silou Kabupaten Simalungun.
Lebih lanjut Rohman menambahkan, bukti kebesaran Kerajaan Dolog Silou jelas terlihat hingga ke daerah Serdang Bedagai, dan Singkil. Sayangnya, tak satu pun situs peninggalan keberadaan istana yang kini tersisa. Yang tinggal hanya sebahagian kecil yang berhasil diselamatkan oleh sanak-keluarga kerajaan Dolok Silou yang hingga kini masih hidup.
"Namun dengan kebesaran Tuhan, kini masyarakat di Indonesia umumnya dan masyarakat Simalungun khususnya, masih dapat menyaksikan bagian dari jasad para raja-raja Dolok Silau yang hingga kini masih rapi tersimpan di Balai Hubur Raja-raja Dolok Silou. Ini belum cukup. Diperlukan kajian khusus untuk kembali menggali potensi budaya yang masih banyak terbenam di bumi Simalungun ini, khususnya hal yang menyangkut bukti-bukti kebesaran Kerajaan Dolok Silau yang ada di Kecamatan Dolok Silou. Tentunya agar nantinya dapat dikelola dengan baik hingga mampu memberikan sumber pendapatan asli daerah, yang secara otamatis memberikan peluang bagi masyarakat sekitarnya untuk meningkatkan derajat kesejahteraan hidupnya," imbuh Rohman.
Penuh Nuansa Mistis
Gondrang yang ditabuh dan tarian huda-huda serta tarian topeng mengiring langkah para kerabat kerajaan memasuki areal Balai Hubur hingga ke pintu masuk. Walau terasa ramai, namun tak mampu menutup aura mistis yang berada di sekitar Balai Hubur. Bangunan balai berdiri tegak di atas lahan yang luasnya berkisar 20 kali 20 meter tersebut, terlihat anggun meski tidak dihiasi ragam ornamen yang mencolok.
Bangunan Balai Hubur terletak di lokasi yang terbuka tetapi keberadaanya menimbulkan beragam cerita rakyat akan peristiwa unik yang menjadi buah bibir penduduk setempat. “ Sesekali kami melihat ular yang sepintas melintas di areal Balai Hubur ini. Wujudnya agak aneh karena yang kelihatan hanya sebahagian saja. Panjangnya lebih kurang satu meter dari bagian ekor sampai kepala. Besarnya hampir sebesar paha manusia dewasa namun sebahagian lagi yang mengarah kepala tidak kelihatan. Peristiwa tersebut kerap terjadi,“ ungkap Hotdi Saragih, salah seorang pekerja yang turut membersihkan dan membangun Balai Hubur.
Kentalnya aroma magis di lingkungan Balai Hubur Raja Dolok Silou makin terasa saat keluarga besar Purba Tambak berebut untuk memperoleh bagian yang tersisa dari bekas peti hubur para raja yang diganti. Suasana itu menimbulkan suasana tersendiri akibat saling berebut sisa–sisa yang tertinggal di peti hubur yang lama. “Bagian yang tertinggal di peti hubur yang diambil oleh warga merupakan perlambang kebangaan dan kebesaran bagi warga, khususnya bagi sanak-keluarga Diraja Purba Tambak,“kata Marlianto Purba Tambak.
Lebih lanjut Marlianto yang juga masih terhitung keluarga besar Raja Dolok Silou menambahkan, sisa peninggalan leluhur tersebut juga dipercayai akan mampu memberikan faedah dan menghindarkan pemiliknya dari berbagai bahaya, terutama bahaya yang berasal dari ilmu mistik.
Tatanan Kerohaniaan
Ritual pergantian peti hubur Raja Dolok Silou sarat dengan tahapan yang patut menjadikan pelaku ritualya makin dekat dan sadar akan kekuasaan Tuhan. Sebelum acara dimulai, terlebih dahulu Raja parhata mengarahkan agar tuan rumah yang terdiri dari Anak Boru Jabu melakukan ritual pengurasan atau pensucian lingkungan yang dijadikan lokasi ritual. Persiapan Tak hanya itu, pemberian demban (daun sirih) juga dikukan kepada tiap kelompok kerja yang telah diberikan amanah.
Sarana pensucian tediri dari gabungan air putih yang ditaruh dalam cawan mangkuk kaca dan bawang batak serta jeruk purut, dilengkapi dengan pembakaran kemenyan. Ini menjadi syarat utama pensucian. Setiap orang yang turut dalam acara hingga barang atau peralatan yang akan digunakan dalam acara pensucian tersebut serta hewan atau ternak yang akan dijadikan hidangan, tak luput dari ritual ini. Semuanya harus disucikan terlebih dahulu lengkap dengan iringan doa
Bagi Suhut Jabu yang betugas menyediakan hidangan, diharuskan memperlakukan bahan yang akan dijadikan hidangan dengan perlakuan khusus. Tidak terkecuali apakah bahan dasar hidangan berasal dari hewan atau beras. Demikian juga dengan minuman yang akan dihidangkan. Semunya mesti dilakukan dengan tata-cara yang khas sesuai dengan tradisi adat. Ritual pemindahan dan pergantian peti hubur pun tidak terlepas dari ritual Parsantabian atau mohon ijin terlebih dahulu kepada leluhur sebelum memulai rangakaian acara demi acara hingga selesai. Tak lupa iringan doa senantiasa dipanjatkan dengan harapan agar acara dapat berjalan dengan aman, lancar dan berterima bagi leluhur. Tentunya agar mendatangkan berkah bagi pelaku acara ritua(ded)

Gejolak Museum Simalungun


Bicara soal museum, kita tentunya memahami kalau museum merupakan sebuah wadah atau tempat menyimpan berbagai benda purbakala dan mempunyai nilai sejarah yang diwariskan oleh nenek moyang atau para pendahulu kita. Pemahaman seperti itu sah-sah saja, walau banyak museum yang tak hanya menyimpan dan merawat benda-benda purbakala. Yang pasti, musem menyimpan benda-benda yang punya nilai historis, sebagai bukti sebuah tahapan kemajuan peradaban manusia di masa lalu.
Tentunya, sebagai bangsa yang menghargai sejarahnya, peninggalan adi luhung tersebut harus dirawat ataupun dilestarikan agar kelak dapat bermanfaat bagi anak cucu kita. Mereka dapat menggali jejak serarah para pendahulunya melalui benda-benda peninggalan yang ada di museum.
Tetapi, bagaimana jika konsekuensi ini tidak berjalan dengan baik karena kepentingan individu maupun kelompok untuk meraih keuntungan praktis? Benda purba kala itu digelapkan ataupun dijual di pasar gelap dengan harga yang mahal. Agar kejadian seperti ini tidak terjadi, jauh-jauh hari pemerintah telah membuat produk hukum, baik secara perdata maupun pidana. Tujuannya agar benda cagar budaya dan barang bersejarah itu tetap terjaga secara utuh.
Di Kota Pematangsiantar, dapat ditemukan sebuah museum yang sudah berdiri sekitar tahun 1960-an. Lokasinya berada di Jalan Sudirman, berdekatan dengan Mapolres Simalungun. Museum ini berdiri atas gagasan sebuah yayasan yang disebut Yayasan Museum Simalungun (YMS).
Jika anda memasuki ruangan museum itu, di sana dapat dilihat beragam benda kuno yang sudah tertata rapi. Bahkan disebut-sebut beberapa diantara benda itu diyakini memiliki kekuatan supranatural. Koleksi ini merupakan suatu bukti catatan sejarah asal-usul tanah dan suku Simalungun dan sebagai bukti keberadaban suku Simalungun itu sendiri.
Namun, sangat disayangkan jika keberadaan museum itu kini mengalami pergumulan yang cukup serius. Peneyebabnya, ada dua kelompok yang saling berseteru dan saling mengklaim kalau sebagain benda koleksi musem dan dana perawatannya digelapkan.
Seperti yang dibeberkan salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)Gerakan Masyarakat Penyelamat Harta Negara (Gerphan) yang berkantor pusat di Jalan Letjend Suprapto, Cempaka Mas Blok B No 19, Jakarta. Lembaga yang diketuai Janto Dearmando S ini mengungkapkan adanya dugaan tindak pidana yang dilakukan Ketua Yayasan Museum Simalungun, Jomen Purba dan juga penjaga Museum Sayur Lingga. Agar indikasi ini mendapat kejelasan secara hukum, LSM Gerphan kemudian menyampaikan berkas pengaduannya kepada Kapolres Simalungun, Kapolresta Pematangsiantar, Kepala Kejaksaan Negeri Simalungun dan Kepala Kejaksaan Negeri Pematangsiantar pada 11 Agustus 2008 lalu.
Menurut lembaga ini, kedua pengurus yayasan Museum Simalungun diduga melakukan pencurian benda-benda purba kala dan diduga menggelapkan bantuan pemerintah serta dengan sengaja membakar bangunan work-shop yang berada di lahan Museum Simalungun. Hal itu disampaikan setelah pihak Gerphan mempelajari adanya laporan pengaduan dari Lembaga Masyarakat Marbulawan, laporan pengaduan dari Majelis Kebudayaan Simalungun Indonesia (MKSI) serta laporan pengaduan dari Badan Kepurbakalaan Nasional Simalungun Indonesia (Bakensi).
Pengaduan yang diterima Gerphan dari tiga lembaga itu turut disertai dengan alat bukti berupa rekaman. Poin penting dalam pengaduan Gerphan ini disebutkan, benda purbakala koleksi Museum Simalungun yang dulunya didata ataupun didaftar oleh Ketua Yayasan Museum Simalungun, almarhum Tuan Moesa Sinaga pada 1 Maret 1980 lalu, berjumlah 267 buah.
Namun setelah Gerphan menelusuri keakuratan jumlah itu, dinyatakan kalau benda tersebut telah banyak yang hilang dan diduga keras telah dicuri oleh Jomen Purba dan Sayur Lingga. Gerphan menduga, benda purbakala yang asli telah dicuri dan digantikan dengan barang-barang duplikat.
Selain itu, menyangkut adanya bantuan dari Pemerintah Daerah kepada Yayasan Museum Simalungun yang diterima oleh Jomen Purba dan Sayur Lingga sebesar Rp265 juta melalui APBD Tahun 2001, 2002 dan 2003, diduga dana itu raib alias sama sekali tidak berbekas. Disebutkan, Rp40 juta dari total dana itu diperuntukan untuk membangun gapura museum di Pamatang Purba. Dana ini diyakini tidak direalisasikan ataupun sama sekali tidak dipergunakan sebagimana mestinya.
Tidak hanya itu, Gerphan juga mengharapkan pihak penegak hukum untuk menelusuri kemana saja dana bantuan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Simalungun dan Pemerintah Kota (Pemko) Pematangsiantar yang dianggarkan pada tahun 2004, 2005, 2006, 2007 dan 2008. Agar ada pertanggungjawaban dan kepastian hukum, penggunaan dana itu diminta diusut tuntas. Lembaga ini menduga keras dana tersebut telah digelapkan oleh Jomen Purba dan Sayur Lingga.
Kemudian, Gerphan juga menduga keras kalau Jomen Purba dan Sayur Lingga dengan sengaja membakar bangunan work shop yang nota bene di dalamnya berisi benda-benda purbakala dengan tujuan menghilangkan jejak pencurian yang mereka lakukan.
Dengan membeberkan dugaan pelanggaran hukum pidana ini, Gerphan mengharapkan aparat penegak hukum bertindak proaktif seperti kinerja yang ditunjukan pihak Kepolisian di Jawa Tengah dan Kepolisian di Jogyakarta yang berhasil membongkar kasus kejahatan pidana pencurian benda-benda purbakala dari Museum Jogyakarta.
Menurut mereka, sudah terhitung delapan tahun lamanya pengaduan tentang Museum Simalungun disampaikan, namun belum juga diusut secara hukum. Organisasi ini juga melayangkan surat tembusan pengaduan ini kepada Jaksa Agung, Kapolri, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Kejatisu, Kapoldasu, Kepala Permuseuman Sumut, Bupati dan Ketua DPRD Simalungun, Walikota dan Ketua DPRD Kota Pematangsiantar, Ketua Presidium Partuha Maujana Simalungun Indonesia (PMSI), Ketua Majelis Kebudayaan Simalungun Indonesia (MKSI), Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Simalungun Indonesia (KNPSI) yang diketuai Jan Wiserdo Saragih, Ketua Umum Yayasan Pdt. J Wismar Saragih, Drs Jan V.V Saragih, Ketua Umum Front Pembela Simalungun (FPS), Lurah Proklamasi serta kalangan pers dan yang dianggap perlu.
Upaya Menggeser Wacana
Apa tanggapan Ketua Yayasan Museum Simalungun (YMS), Jomen Purba? Saat ditemui localnews untuk mengklarifikasi dugaan tindak pidana yang dituduhkan LSM Gerphan kepada dirinya, dia menyatakan dengan tegas kalau tudingan yang dialamatkan kepadanya hanya sebuah upaya untuk menggeser wacana yang kini tengah menguat diperbincangkan kalangan masyarakat. Wacana itu berupa dugaan korupsi atas dana rehabilitasi gedung museum sebesar Rp95 juta pada tahun 2002 lalu.
Jomen mengaku, dirinya selaku Ketua Yayasan Museum Simalungun telah melaporkan dugaan KKN tersebut dan diduga dilakukan oleh Ketua Umum Majelis Kebudayaan Simalungun Indonesia (MKSI), Jaiman Saragih. Dikatakannya, dana tersebut telah diterima Jaiman Saragih secara bertahap. Tahap pertama sebesar Rp30 juta dengan kode surat perintah membayar uang (SPMU) No 760/BT/PBB/Pemb tertanggal 23 Desember 2002 dengan nomor 922/770/PBS/Sim/2002/P. Kemudian kedua kalinya Nomor Kode SPMU 799/BT/PBB/Pemb.tertanggal 23 Desember 2002 sebesar Rp65 juta. Dalam surat pembayaran ini juga ditandatangani oleh Robert D Simatupang sebagai Kasubbag Perbendaharaan.
“Tolong dicatatkan, tindakan mereka sudah seperti mafia. Mereka berupaya mengalihkan wacana kasus dugaan KKN yang sekarang ini sedang diproses Kejaksaan Negeri Simalungun karena uang yang diterima MKSI itu tidak dipergunakan sepenuhnya untuk merehabilitasi Museum Simalungun. Kita bisa melihat langsung bagaimana kondisi bangunan yang terbengkalai di belakang museum itu. Itu jelas-jelas sangat memprihatinkan kita. Uangnya telah mereka terima. Saya tahu siapa LSM Gerphan. Ketua LSM Gerphan adalah anak Jaiman Saragih. Tidak sekali ini saja ada pengaduan dari kelompok mereka. Sebelumnya juga sudah ada gugatan mereka secara perdata. Tapi mereka tak pernah mau menghadiri sidang sehingga majelis hakim saat itu membatalkan gugatan mereka. Bahkan uang ongkos perkara pun tidak mereka bayar. Yang pasti mereka berupaya merubah wacana untuk mengaburkan kasus yang menimpa MKSI ,” Kata Jomen Purba dengan nada tinggi seraya meminta localnews mencatatkan pernyataan tersebut.
Lebih lanjut Jomen Purba yang juga menjabat sebagai Ketua Partuha Maujana Simalungun (PMS) Kabupaten Simalungun ini mengatakan, sejalan dengan tuduhan pencurian yang disampaikan oleh LSM Gerphan, dirinya menyatakan sama sekali tidak melakukan hal tersebut. “Semua benda yang dikoleksi di Museum Simalungun itu masih utuh. Tidak ada yang hilang karena semua benda mempunyai daftar. Saya juga yakin pihak kepolisian sudah mengetahui kasus ini. Agar kalian tahu, saudara Jaiman pada tahun seribu sembilan ratus tujuh puluh delapan sudah dipecat dari Yayasan Museum Simalungun karena banyak perbuatannya yang merugikan yayasan dan aset museum. Jadi semua ini tak betul,” katanya.(ren)

Diskusi Politik Dengan Akbar Tanjung




Mampu Berbuat Tanpa Janji Muluk-muluk

Jalan panjang proses demokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak orde lama, orde baru, hingga era reformasi, masih memerlukan pembenahan secara bertahap sampai ditemukan solusi terbaik mentasi berbagai problem yang dialami negara saat ini. Kelak, masyarakat harus benar-benar merasakan dan menikmati hasil politik yang berimbang yakni, antara hak dan kewajiban dalam negara demokrasi.
Jika direnungkan yang terjadi sebelumnya, proses pendewasaan pemahaman politik--termasuk penerapannya selama ini--tidak sedikit menimbulkan kekecewaan, bahkan penindasan akibat kebijakan otoriter dari elit politik. Untuk itu, perubahan menjelang momen pesta demokrasi yang sudah diambang pintu, partai politik yang sudah dinyatakan lulus verifikasi oleh Departemen Hukum dan HAM serta Komisi Pemilihan Umum (KPU), diharapkan mampu berbuat nyata tanpa janji muluk-muluk. Keterpurukan bangsa yang tengah melanda negeri ini sudah cukup berat. Hutang luar negeri berkepanjangan, aset negara yang dikontrakan pemerintah justru tidak menguntungkan negara. Tak kalah pentinganya, dampak korupsi memerlukan tingkat kesadaran para penegak hukum untuk berpihak pada rakyat.
Baru-baru ini terungkap di berbagai mass media yang memberitakan oknum penegak hukum seperti Jaksa Urip di Kejaksaan Agung, justru terlibat dalam sindikat koruptor. Demikian juga keterlibatan orang terhormat yang duduk di kursi legislatif dan mantan anggota legislatif. Keadaan ini sangat memilukan. Memang beberapa diantara mereka teleh diseret ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menilep uang, seperti aliran dana Bank Indonesia dan dana lainnya.
Jika dicermati, uang yang dikorupsikan pun cukup besar, angka mencaai puluhan miliaran rupiah. Betapa senangnya masyarakat jika uang sebesar itu disalurkan untuk mengatasi keterupurukan ekonomi dan harga bahan makanan dan minyak bumi yang semakin melambung tinggi. Implikasi inilah yang perlu disadari oleh segenap bangsa dengan menyatakan komitmen memberantas pelanggaran hukum skala besar sampai ke tingkat daerah. Menurut kajian, faktor dominan yang bisa mengatasi itu, selain pemerintah, komitmen partai politik harus mengalami transisi dari sifat subjektif menjadi pola objektif. Kasus klasik inilah sebagai gambaran yang harus direalisasikan oleh anak bangsa.
Pernyataan ini disampaikan salah seorang tokoh politik nasional yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tandjung saat menghadiri acara Diskusi Pendidikan Politik Dalam Demokrasi, yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa dan Pemuda Simalungun (Himapsi) Kota Pematangsiantar, pekan lalu di Auditorium Universitas Simalungun (USI) di Jalan SM Raja Barat.
Hal ini disampiakannya, setelah menerima masukan dan kritisan peserta diskusi yang hadir dari berbagai latar belakang dedikasi dan profesi, yang mempertanyaan kira-kira seperti apa yang dapat dilakukan oleh seorang Akbar Tandjung sebagai politisi nasional dalam menentukan arah nasib bangsa ini kelak,.
Penentu Arah Kebijakan
Akbar Tandjung yang pernah diselimuti masalah pelanggaran hukum dan dinyatakan bebas oleh majelis hakim atas dalam dugaan KKN dana Bulog sekitar tahun 2000 lalu menyatakan, sudah saatnya keterpurukan bangsa ini diatasi dengan pembekalan pendidikan politik dalam demokrasi yang fair play (adil).
Menurut putra kelahiran Kota Sibolga ini, pendidikan politik merupakan penentu arah bangsa ini. Setelah ini dipahami, barulah demokrasi yang disuguhkan partai politik dapat dinilai seperti apa entry point yang akan dirasakan sebagai negara urutan ketiga terbesar di dunia. Perubahan baru dalam tatanan politik saat ini, kata dia, bukan hanya partai politik yang mempunyai wewenang dominan untuk menentukan siapa figur calon pemimpin bangsa yang patut diunggulkan masyarakat. Setelah terbitnya UU Pemilu No 10/2008, peraturan ini telah mengakoomodir calon perorangan independen untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin. Demikian seterusnya sampai ke tingkat daerah.
“Perubahan baru ini harus diketahui agar kelak rakyat tidak salah pilih dan tidak lagi merasa kecewa. Ada dua pilihan, apakah utusan dari partai politik atau calon perorangan. Mengenai calon legislatif, banyak pilihan yang akan disodorkan oleh partai politik mengingat jumlah parta yang lulus verifikasi mencapai 34 partai,” jelas Akbar Tandjung.
Akbar juga mengharapkan Kota Pemtangsiantar dan Kabupaten Simalungun dapat menjalankan hak politik melalui seleksi internal pribadi maupun kelompok untuk memilih siapa sebenarnya calon yang memiliki sifat kepemimpinan dan integritas. "Duduk di lembaga pemerintahan harus berbuat efektif dan responsif. Sebagai negara demokrasi, sudah masyarakat menentukan pilihannya sendiri. Artinya, sistim kelembagaan itu terlebih dulu diperkuat, kemudian menelurkan kebijakan mengatasi transisi politik ataupun rejim. Secara bertahap hal ini akan memperkuat institusi dan memperbaiki kekurangan dengan membangun sistim politik dan infrastruktur politik yang baik," sebutnya.
Disadari, dari transisi politik tahun 1999 sampai 2004 lalu, masyarakat masih diselimuti kekecewaan. Masa lalu, yang berdiri tegak hanya tiga partai politik yakni PDIP, PPP dan Golkar. Agar ada perubahan, sudah saatnya masyarakat menentukan pilihan tepat dengan bertambahnya partai politik menjadi 34 partai. Selain mencermati visi dan misi partai, masyarakat juga perlu mencermati kader partai yang diusung sebagai calon legislatif maupun kepala daerah, termasuk calon presiden.
“Apakah selama ini mereka sudah mempunyai prestasi politik untuk rakyatnya dan bagaimana selama ini perilaku dan integritasnya. Ini perlu kita cermati secara seksama,” tutur Akbar.
Pencitraan Diri
Selain itu, upaya pencitraan diri yang kini banyak dilakukan politisi semata-mata hanya untuk menggambarkan sosok politisi itu atau dengan kata lain hanya menampilkan dirinya saja. Pencitraan itu hanya bertujuan meraih kekuasaan dan akhirnya menghalalkan segala macam cara demi keuntungan pribadinya. Sebaliknya, upaya pencitraan yang ideal adalah bagaimana menampilkan diri dalam memperjuangkan kemajuan dan kepentingan masyarakat sesuai dengan apa yang dibutuhkan.
Berbicara tentang aset negara, pada prinsipnya, Akbar Tandjung mengatakan sumber daya alam (SDA) seperti bumi, air dan udara harus dikuasai oleh negara. Tetapi bukan berarti SDA ini tidak boleh diberi untuk dikelola oleh investor negara asing. Hanya saja pengalaman selama ini, kebijakan mengelola aset negara tidak mutlak dikuasai negara. “Kalau kita pelajari tentang ikatan kontrak yang sekarang dijalin dengan pemodal asing yang memproduksi minyak di Cepu, Exon Mobile, sudah sebaiknya dihentikan. Saya optimis dan yakin aset itu bisa dilepas oleh Exon Mobile dan ditangani oleh pihak Pertamina yang sudah mempuanyai pengalaman mapan. Kesempatan ini harus diutamakan pemerintah dalam rangka menggali SDA,” ungkap mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam ini.
Peran Legislatif
Saat mencermati peran lembaga legislatif yang memiliki fungsi hak budget (anggaran), hak pengawasan dan hak legislasi, lembaga ini memerlukan pembenahan akurat. Ketika DPR masuk dalam sistim pengambilan keputusan, sebaiknya terlebih dulu menganalisis tentang keseimbangan agar tidak menimbulkan asumsi berbeda.
“Peran partai politik itu, selain menerapkan seleksi calon pejabat politik, mesti diimbangi bagaimana kebijakan politik yang akan diterapkannya,” tukasnya.
Diskusi singkat Akbar Tandjung di Kampus USI selain dihadiri kalangan pelajar dan mahasiswa juga dihadiri perwakilan dari tokoh pemuda, akademisi dan tokoh politik. Sebelum Akbar meninggalkan lokasi diskusi, Ketua DPC Himapsi Kota Pematangsiantar, Jon Liben Saragih memberi siluah (cendera mata-red). Demikian juga Ketua DPRD Syahmidun Saragih menyematkan Hiou Pamotting (ulos) kepada Akbar Tandjung.
Sementara itu, dalam diskusi dengan Lembaga Pendidikan dan Pengkajian Pers Sumatera Utara (LP3SU), bekerjasama dengan Koalisi Media Pematangsiantar yang dipusatkan di Convention Hall, Siantar Hotel, Akbar memaparkan, dalam dunia politik, banyak oknum yang hanya mencari kekuasaan semata, bukan mau menjadi perwakilan rakyat. Perpolitikan di Indonesia tidak bisa mengangkat kehidupan masyarakatnya dari belenggu penderitaan, kemiskinan dan penggangguran. (ren/man)

Pro-Kontra Hak Angket DPRD



Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mencari solusi dari sebuah persoalan atau masalah tanpa menonjolkan kekuatan fisik. Tak bisa dimungkiri, solusi inilah yang hendak dicari untuk menuntaskan persoalan yang kini membelit lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif di Pematangsiantar.
Pekan lalu, dua kubu hampir saja terlibat bentrok fisik di Jalan Merdeka, tepatnya di depan Gedung DPRD Siantar. Komite Rakyat Bersatu (KRB) bersuara, keputusan yang diambil DPRD untuk menjalankan hak angket (hak penyelidikan umum-red) tidak tepat. Sementara kubu lainnya yang menamakan kelompoknya Masyarakat Pendukung Keadilan dan Kebenaran, memberi dukungan penuh atas kinerja DPRD untuk menjalankan hak angket agar penyelesaian dugaan KKN proyek rehab bangsal RSU gate segera diselesaikan secara hukum.
Sejak awal, DPRD Siantar telah mencium aroma KKN atas proyek itu dan semakin yakin setelah dipertegas melalui putusan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) yang sudah inkrah (punya kekuatan hukum tetap,red). Surat KKPPU menyatakan, kebijakan termasuk penggunaan wewenang dilakukan Walikota Siantar, RE Siahaan dan Wakil Walikota, Imal Raya Harahap yakni, penyimpangan pelaksanaan tender proyek rehab bangsal RSUD dr Djasamen Saragih yang menggunakan dana dari APBD Propinsi Sumatera Utara (Sumut) tahun 2005 lalu.
Penanganan kasus ini telah diselesaikan KPPU Pusat di Jakarta. Dinyatakan juga, selain pasangan Kepala Daerah Kota Pematangsiantar bersalah, turut juga pihak rekanan, Sudung Nainggolan serta panitia tender proyek ini dipersalahkan. DPRD pun merasa perlu berbicara dan bersikap tegas bagaimana kelanjutan penuntasan kasus ini.
Agar tidak simpang-siur, Jumat pekan lalu, DPRD Siantar menetapkan 17 anggota DPRD untuk diangkat sebagai anggota tim penggunaan hak angket atau yang biasa disebut hak penyelidikan umum untuk mengungkap tabir RSU Gate tersebut. Tim angket dilegitimasi dengan Surat Keputusan DPRD No 10 Tahun 2008 tertanggal 1 Agustus 2008. Surat itu ditandatangani Ketua DPRD Siantar Lingga Napitupulu, Wakil Ketua Saut Simanjuntak dan Sirwan Hazly Nasution.
Pemberlakuan Surat Keputusan ini membuat Komite Rakyat Bersatu (KRB) merasa gerah. Kelompok ini kemudian mendatangi Gedung DPRD guna menyampaikan aspirasi penolakan hak angket. Dengan menggunakan peralatan berupa satu unit mobil untuk mengangkut sound system, mereka menyebarkan kertas selebaran tentang pernyataan sikap mereka. Aksi itu dikoordinir Syamsudin Sembiring.
Kurang lebih satu jam mereka berorasi di depan gedung dewan. Arus lalu lintas pun macet dan memaksa pihak Kepolisian dari Mapolresta Siantar turun menertibkan jalur lalu lintas. Massa pendukung pelaksanaan hak angket berkerumun sambil memblokir gerbang masuk gedung DPRD agar massa dari KRB tidak memasuki gedung dewan. Di lokasi terlihat dengan sebuah keranjang ukuran besar yang biasa digunakan untuk mengangkut hewan ternak babi. keranjang itu ditempatkan persis di depan gerbang pintu masuk.
Mendapat perlawanan dari massa ini, akhirnya KRB bertahan di jalan raya membacakan penyataan sikap mereka sebagai bagian dari masyarakat Siantar. Mereka dengan tegas menolak dan tidak mengakui keberadaan panitia angket yang dibentuk DPRD karena dinilai bertentangan dengan hukum dan peraturan yang berlaku, baik dari sisi substansi maupun sisi tahapan prosedural. Selain menolak kebijakan hak angket, massa KRB juga menuding DPRD yang nota bene telah memberi persetujuan prinsip atas agenda ruilslagh gedung dan asset SMAN 4 malah tidak konsisten dan melempar tanggungjawab ke pihak eksekutif.
Tak hanya itu, tuntutan mereka ini juga semakin melebar yakni mengenai dugaan tindak pidana kasus notulen palsu yang harus ditindaklanjuti oleh penegak hukum. Selain itu, mereka menuntut DPRD untuk menjalankan tugas dan fungsinya dalam menindaklanjuti delapan draft Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) yang telah diajukan oleh Pemerintah Kota (Pemko) Pematangsiantar.
“DPRD jangan hanya terjebak pada kepentingan sempit dan sektoral tapi justru abai pada hal-hal dan kebijakan-kebijakan yang benar-benar dibutuhkan warga,” kata Syamsudin Sembiring saat menyampaikan pernyataan sikap mereka.
DPRD juga diminta menjalankan amanah PP 53/2005 tentang Pedoman Penyusunan Tata-tertib DPRD, Struktur dan Alat Kelengkapannya. “Selamat datang demokrasi sejati, silahkan pergi kepada wakil rakyat palsu, pelaku demokrasi palsu dan segala jenis kepalsuan,” teriak Syamsudin.
Sementara, juru bicara massa dari KRB, Torop Sihombing dan Rocky Marbun usai aksi, menyayangkan sikap kaku yang dipertontonkan anggota DPRD. Tak satu pun anggota dewan bersedia menerima kedatangan mereka. Sialnya lagi, kedatangan mereka malah dihadang oleh massa lain yang mengaku sebagai pihak pendukung hak angket. Maksud kedatangan massa KRB ini sebenarnya ingin mempertanyakan kenapa DPRD langsung menjalankan hak angket tanpa terlebih dulu menjalankan hak interpelasi.
“Kebijakan DPRD jangan meloncat-loncat. Kapan DPRD melakukan interpelasi? Kenapa langsung menggunakan hak angketnya? Kasus RSU sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Biar saja proses hukum berjalan. Kenapa DPRD menjalankan urusan yang bukan lagi dalam kapasitas mereka? Ada apa dibalik semua ini? Kenapa massa KRB mau menyampaikan aspirasi ke gedung DPRD malah dihalang-halangi oleh massa yang ada disana?" tanya Rocky Marbun.
Sementara itu, disela-sela aksi, juru bicara massa yang mendukung segera dilaksanakannya hak angket DPRD Siantar, Imran Simanjuntak menyatakan, mereka tetap komit mendukung DPRD untuk menjalankan hak angket. Pria ini juga menyayangkan aksi yang dilakukan KRB yang disinyalir sengaja mengeksploitasi warga untuk ikut turun ke jalan. Sikap KRB dituding berkaitan erat dengan kepentingan petinggi di Pemko Siantar yang sengaja mengarahkan mereka untuk menolak hak angket.
“Saya duga, mereka (KRB) merupakan perpanjangan tangan oknum-oknum di Pemko Siantar yang gagal dalam pertarungan politik di parlemen. Silahkanlah kalau mau bertarung, ya bertarung di parlemen. Jangan mengeksploitasi massa!” tegas Imran Simanjuntak.
Masih menurut pria yang pernah aktif di dunia aktivis ini, hak angket yang dijalankan DPRD merupakan bentuk keberpihakan DPRD sebagai gerakan politik menghempang kebijakan buruk yang dilakukan Pemko Siantar. “Saya rasa ini paradigma picik Walikota Siantar,” tukasnya.
Menyurati
Ketua DPRD Lingga Napitupulu kepada localnews mengatakan, sejauh ini DPRD telah menyurati pihak kepolisian dan Pengadilan sebagaimana juga dituangkan dalam UU No 6/54 tentang pelaksanaan hak angket. Salah satu unsurnya adalah mendaftarkannya kepada pihak pengadilan.
Dikatakannya, tim DPRD yang diangkat menjalankan hak angket telah bekerja dan telah berangkat ke Jakarta guna mendapatkan cara yang elegan menjalankan hak angket. Mengenai aksi masyarakat dari KRB, Lingga menyatakan sangat menyayangkannya.
“Saya sudah mengingatkan Pak Walikota semalam (sehari sebelum aksi massa) agar beliau jangan memulai hal-hal seperti ini lagi. Saya sudah bosan dengan cara-cara seperti ini. Sudahlah, jangan dipancing lagi!” sebut Lingga.
17 Orang Tim Hak Angket
Sementara itu, mengamati jalannya rapat paripurna istimewa di gedung DPRD, tampak jelas kata interupsi silih berganti. Mereka dominan meminta pimpinan DPRD Lingga Napitupulu dan Saud Simanjuntak segera mengakoomodir pelaksanaan hak angket DPRD.
Menurut Fraksi Barisan Nasional (Barnas) yang diketuai Maruli Silitonga, pihaknya menjamin empat orang anggotanya disertakan dalam tim, sedangkan Fraksi Perjuangan Kebangsaan sebanyak delapan orang dan Fraksi Demokrat lima orang. Saat itu, belum ada keputusan final apakah permintaan hak angket akan dijalankan. Namun berselang beberapa hari--setelah beberapa anggota DPRD pulang dari Jakarta melakukan konsultasi--kembali digelar rapat paripurna.
Hasilnya, Ketua DPRD Lingga Napitupulu, Wakil Ketua Saud Simanjuntak dan Sirwan Hazly Nasution akhirnya membubuhkan tandatangan dalam Surat Keputusan (SK) No 10/2008 tertanggal 1 Agustus 2008 dan mengangkat 17 anggota DPRD bekerja menjankan fungsi hak angket sejak surat putusan itu diterbitkan.
Tim ini diketuai Aroni Zendrato, Wakil Ketua M Yusuf Siregar dan Sekretaris Grace Christiane Saragih. Anggota tim terdiri dari Mangatas Silalahi, Maruli Silitonga, A Mangantar Manik, Mukhtar E Tarigan, Alosius Sihite, Julian Martin, Josmar Simanjuntak, Unung Simanjuntak, Pardamean Sihombing, Muslimin Akbar, Jonny Siregar, Tonggo Sihotang, Dapot PM Sagala serta Toga Tambunan.
Mulai Berjalan
Bahan lainnya yang sedang diselidiki sebagai bentuk proses hukum pidana kini tengah dikerjakan oleh pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Siantar. Lembaga yang dipimpin Nelson Sembiring SH MH ini sedang melakukan penelusuran alias penyelidikan. Ini dilakukan sejalan dengan pelimpahan wewenang penanganan kasus dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyerahkan kasus ini kepada Kejaksaan Agung (Kejagung). Kejagung kemudian melimpahkan tugas itu ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) dan beberapa hari yang lalu pihak Kejatisu menyerahkan tugas ini ke Kejari Siantar.
“Karena locus delictie-nya (tempat perkara) berada di Kota Siantar, Kejari Siantarlah yang akan mengusut kasus ini,” sebut Nelson Sembiring kepada localnews saat ditemui di ruang kerjanya Senin kemarin.
Hanya saja, Nelson belum bisa memberi penjelasan secara rinci apa kira-kira strategi yang akan dilakukan mengusut kasus RSU Gate ini. Demikian juga mengenai putusan dari KPPU yang sudah inkrah pada tahun 2007 lalu, juga belum bisa dikomentarinya berhubung pihaknya belum menerima berkas putusan dari KPPU itu.
“Saya masih baru bekerja di sini. Jadi saya belum paham betul mengenai kasus ini, apalagi soal putusan dari KPPU itu. Saya belum bisa memberi keterangan. Tapi yang jelas besok (hari ini Selasa), kami memulai pemeriksaan. Pokoknya kalian pantaulah di kantor ini siapa yang akan datang untuk diperiksa. Saya tidak bisa memberitahukannya sekarang pada kalian,” kata Nelson.
Putusan KPPU
Sementara, mengenai putusan dari majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada bulan Oktober tahun 2006 lalu telah menetapkan Walikota RE Siahaan dan Wakil Walikota Imal Raya Harahap terbukti bersalah melakukan tindakan persekongkolan dengan pihak rekanan dalam proses tender rehab bangsal Rumah Sakit Umum (RSU) Kota Pematangsiantar dengan menggunakan dana dari APBD tahun 2005 lalu sebesar Rp2 miliar.
Berbagai elemen masyarakat juga beberapa kali berbondong-bondong mendatangi gedung DPRD mendesak membentuk Panitia Khusus (Pansus) terhadap pelanggaran sumpah jabatan dilakukan Walikota RE Siahaan dan Wakilnya Drs Imal Raya Harahap. Desakan itu merujuk pada putuskan hasil pemeriksaan KPPU tertanggal 13 November 2006 yang telah inkrah pada 3 Mei 2007 lalu. Lintas fraksi-fraksi DPRD juga pernah melakukan klarifikasi di bulan Nopember 2007 lalu kepada pihak KPPU soal kebenaran putusan tersebut. Bahkan saat itu Fraksi ini mendapat jawaban bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum menindak lanjuti kasus tersebut sebagaimana rekomendasi dalam putusan KPPU. Barulah beberapa hari lalu di bulan Agustus 2008 pihak Kejari Siantar menerima tuga mengusut kasus ini secara hukum pidana.
Putusan KPPU itu tertuang dalam surat No 06/KPPU-L/2006 oleh majelis yang terdiri dari Erwin Syahril, SH sebagai Ketua Komisi, Dr. Pande Radja Silalahi dan Ir. Mohamad Iqbal sebagai anggota majelis. Merujuk pasal 35 huruf e UU No. 5 tahun 1999, KPPU merekomendasikan KPK mengambil tindakan hukum pidana terhadap Walikota, Wakil Walikota dan Hasudungan Nainggolan selaku pemborong atas kerugian negara senilai Rp 381. 440.000, termasuk panitia tender, Santo Simanjuntak SH dan Ichwan Lubis SH.
Isi putusan lainnya juga menghukum Sudung Nainggalan tak diperkenankan mengikuti tender diselenggarakan oleh Pemko selama setahun sejak putusan mempunyai kekuatan hukum 3 Mei 2007 lalu. Pemborong juga diwajibkan membayar ganti rugi dan menyetorkannya ke kas Negara sebesar Rp. 127.146.666,67 sebagai penerimaan bukan pajak.
Selain itu, surat itu memutuskan Walikota RE Siahaan dan terlapor lainnya secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 UU 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. (ren)

SOC Mempererat Silaturahmi



Tekad untuk menjalin keakraban dan mempererat hubungan para biker akhirnya melahirkan sebuah wadah yang dinamakan Scooter Otomotif Club (SOC). Organisasi ini diharapkan menjadikan sarana pemersatu para pehobi otomotif jenis Vespa di Kota Pematangsiantar. Acara pelantikan pengurus klub itu digelar Sabtu pekan lalu di Jalan Kartini, Pematangsiantar.
M.Syafii SKom, salah seorang biker yang juga menjabat sebagai Sekretaris Umum Scooter Otomotif Club (SOC) mengatakan, munculnya SOC tidak terlepas dari dukungan para biker di kota berhawa sejuk ini. Awalnya SOC muncul berkat niat dan kepedulian dari sesepuh biker yang melihat begitu besarnya penggemar dan pengguna jalan raya. Dosen Amik Tunas Bangsa ini menambahkan, SOC dibentuk untuk menambah koleksi para biker sebagai wadah silaturahmi para biker yang ada di Pematangsiantar.
Semantara itu, Ferry Zulfan ST yang terpilih sebagai Ketua Umum SOC Kota Siantar mengutarakan, terjalinnya kerjasama antar biker merupakan penambahan komunitas dan diharapkan akan membentuk potensi dan melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, khususnya di Kota Pematangsiantar.
"SOC sementara ini masih sebatas di Kota Pematangsiantar, tapi nantinya kita akan memperluas komunitas ini ke daerah lain. Indonesia sebagai negara merdeka dan memiliki potensi budaya yang sangat beraneka ragam yang dapat kita kembangkan dan dapat kita lestarikan, dimana budaya itu sendiri sudah semakin terlupakan. Inilah salah satu bentuk dan tekad kami membentuk SOC.Melalui SOC kita berperan melestarikan budaya dan dapat membina para penggemar otomotif atau komunitas biker. Jadi berdirinya atau terbentuknya SOC bukan sebagai kompetitor (pesaing) bagi club-club otomotif sejenisnya," katanya seraya mengharapkan SOC bisa tampil sebagai pilot project klub otomotif yang ada di Pematangsiantar.
Kartiman, salah seorang sesepuh biker di kota ini dalam kata sambutannya mengatakan, SOC dibentuk pada dasarnya untuk menunjukkan keakraban para penggiat otomotif. Posisinya sebagai sebagi anggota dewan kehormatan merupakan beban dan tanggungjawab yang sangat besar. Kartiman mengharapkan agar para pengurus yang dilantik dapat meneruskan dan meningkatkan potensi para biker serta senantiasa meningkatkan silaturahmi antar biker serta masyarakat Kota Pematangsiantar.
"Vespa adalah salah satu sebagai bukti nyata pengakuan dunia terhadap kemerdekaan Republik Indonesia, jadi kita sebagai penggemar otomotif, seni dan budaya harus menumbuh kembangkan dan melestarikannya. Saat ini, sejarah dan budaya yang sudah ada sejak jaman dahulu sudah mulai punah. Jadi melalui wadah ini khususnya Kota Pematangsiantar yang sejuk dan berbudaya, kita dapat meningkatkan potensi dan SDM, khususnya para remaja biker. Marilah kita sama-sama menjadikan kota Pematangsiantar menjadi kota yang bersahabat dan menumbuhkembangkan budaya. Jadi wadah ini bukan pertandingan atau persaingan bagi club otomotif lainnya yang ada di kota Pematangsiantar. Jadilah kota yang bersih berbudaya dan berpotensi," ucap H.K Rizal SH yang juga dusuk sebagai dewan penasehat SOC.
Dalam prosesi acara yang berlangsung secara sederhana dan penuh semangat kebersamaan itu, acara terlihat dihadiri beberapa komunitas pencinta otomotif seperti BOM'S (BSA), SYMC, SOSIS (VESPA).
Utusan dari undangan SYMC mengharapkan munculnya wadah ini menjadikan kota Pematangsiantar menjadi barometer bagi penggemar otomotif yang menjadikan suatu kekompakan bagi para biker.
Setelah acara prosesi pelantikan usai, acara dilanjutkan dengan hiburan. Dukungan dan partisipasi hiburan itu sendiri disponsori Rhystem Studio yang menaungi beberapa musik band di daerah ini. Band yang tampil pada acara tersebut antara lain Vivo Band, Speciality Band, Plasma Band, Sihuahua Band, X Dip band dan Mutilasi Rakyat Band.
Dalam acara itu turut dijelaskan arti logo yang digunakan klub ini. Gambar geer melambangkan kebersamaan atau keakraban, sayap burung Garuda melambangkan bahwa SOC mengharapkan merambah atau memperluas jaringan ke daerah lain serta pita merah putih melambangkan kebenaran di atas keberanian

Susunan Kepengurusan SOC
Dewan Kehormatan : Kartiman
Dewan Penasehat : H.K Rizal Ginting SH
Ketua Umum : Ferry Zulfan ST
Sekretaris Umum : M.Syafii SKom
Bendahara : Dony S

(tumanggor)

Kejaksaan Simalungun Jerat Trafficking yang Meragukan

Jaksa Penuntut Umum Pengganti Janmaswan Sinurat SH

Majelis Sidang yang diketuai AM.Siringoringo SH dan Panitera pengganti Boby

Penasehat Hukum Terdakwa Aslia Robianto Sembiring SH



Para terdakwa dari kiri ke kakan, Linda, Dinar, Sonty, V.S.Moorthy dan Isterinya Malathi Alagu





Jerat Trafficking yang Meragukan
Awal Januari 2008 lalu, Linda boru Sijabat dan saudaranya Dinar boru Panjaitan sengaja berkunjung ke Saribudulok, Simalungun. Tujuan kedua warga Jalan Medan, Pematangsiantar ini adalah untuk bertahun baru ke rumah mertuanya. Tak ada persoalan saat itu. Namun kunjungan ke rumah mertua tersebut, akhirnya menjadi persoalan rumit. Tak hanya mereka berdua yang terlibat, saudaranya yang lain, Sonty boru Sijabat, warga Tebing Tinggi, serta sepasang suami-isteri, V Sathia Moorty dan isterinya Malathi Alagu alias Melati, keduanya warga Petaling Jaya, Malaysia, turut terlibat.
Kelimanya didakwa terlibat dalam kasus trafficking (perdagangan orang) dengan ancaman hukuman sepuluh tahun penjara. Namun ada yang aneh dalam kasus ini. Kelima terdakwa menuding, mereka sengaja dijebak oleh seorang oknum polisi yang ingin melakukan pemerasan terhadap kenalan mereka, yakni pasangan suami-isteri asal negeri jiran tersebut. Persoalan pun bergulir hingga ke Pengadilan Negeri Pematangsiantar, masing-masing dalam berkas terpisah. Pekan lalu, giliran Sathia Moorthy dan isterinya Malathi Alagu alias Melati yang disidang walau sidangnya batal karena Jaksa Penuntut Umum terlambat hadir.Benarkah kasus ini adalah rekayasa oknum-oknum tertentu untuk memperoleh sejumlah uang dengan cara tak halal?
Versi Jaksa Penuntut Umum
Dalam surat tuntutan Jaksa dikatakan, kasus yang melibatkan kelima terdakwa bermula pada 8 Januari 2008 lalu. Linda dan Dinar yang sedang berkunjung ke rumah mertuanya di kawasan Saribudolok, bertemu dengan Loraida boru Haloho, warga Dusun Salbe, Simalungun. Saat itu menurut versi Jaksa, perempuan yang dikatakan baru berumur 15 tahun itu sedang berada di kantin sebuah pabrik kerupuk ubi di Pematang Purba Simalungun. Tujuanya untuk berlindung dari guyuran air hujan yang turun saat itu.
Secara kebetulan, Linda dan Dinar bertemu dengan Loraida di kantin itu. Sambil menunggu hujan reda, mereka terlibat dalam obrolan. Lima belas menit berselang, Linda menawarkan sebuah pekerjaan di sebuah koperasi simpan pinjam di Kota Siantar, sedangkan Dinar menawarkan pekerjaan di sebuah perusahaan VCD di Siantar. Mendengar tawaran kedua wanita itu, Loraida mulai curiga. Namun atas bujuk rayu kedua wanita ini, akhirnya saksi korban bersedia untuk ikut ke Kota Siantar.
Sesampai di Siantar sekitar pukul 18.30 WIB, Linda boru Sijabat, Dinar boru Panjaitan dan Loraida boru Sihaloho bertemu dengan Sonty boru Sijabat. Ketika melihat Loraida, Sonty tiba-tiba menawarkan pekerjaan sebagi pembantu rumah tangga di negeri Malaysia kepada saksi korban. Gajinya mencapai satu juta perbulan, plus dibelikan baju dan kalung baru. Namun korban tidak menjawab. Kecurigaannya makin bertambah. Malamnya, sekitar pukul 21.00 WIB, Sonty mengajak Loraida ke Kampung Manggis, Tebing Tinggi, yang menjadi kediaman Sonty selama ini. Sesampai di sana, Sonty kemudian mengontak Malathi Alagu di Malaysia via telepon seluler. "Ini loh kak, aku udah punya beberapa budak yang ingin dipekerjakan di Malaysia," ucap Sonty saat itu. Kemudian Malathi Alagu menyuruh wanita ini mengontak seseorang bernama Martha di Kota Medan.
Mendengar ucapan itu, Loraida makin ketakutan dan ingin melarikan diri. Belum sempat menghubungi Martha, tiba-tiba seorang tetangga memberitahukan kalau Linda ditangkap polisi karena anak yang dibawa Sonty ke rumahnya tidak punya ijin dari orangtuanya. Tak lama berselang, suami Dinar boru Panjaitan, Antonius Sihite, kembali menghubungi Sonty dan meminta agar Loraida dipulangkan. Dinar pun menyuruh hal yang sama. Tetapi sebelum saksi korban pulang, Sonty sempat berpesan agar Loraida tidak memberitahukan kalau dirinya akan dikirim sebagai pembantu ke Malaysia.
Malam itu juga, Antonius menjemput Loraida dari kediaman Sonty dan menyerahkan korban ke Mapolres Simalungun.
Begitu sampai di Mapolres, Antonius kembali menghubungi Sonty dan memberitahukan kalau dirinya sudah bertemu dengan orangtua Loraida. Sayangnya orangtua Loraida menolak berdamai. Kamis 10 Januari 2008, sekitar pukul 17.00 WIB, petugas kepolisian menjemput Sonty dari rumahnya dan menahan wanita itu. Untuk menyelidiki kasus ini, Jumat 11 Januari 2008, petugas kepolisian melakukan jebakan dengan membawa terdakwa untuk bertemu dengan Malathi Alagu dan Sathia Moorthy yang berjanji akan datang ke Medan pada 11 Januari 2008 untuk melihat Loraida.
Di tengah perjalanan, telepon genggam Sonty berdering. Ternyata yang menghubungi adalah pasangan suami isteri asal Malaysia tersebut. Mereka berjanji untuk bertemu di Hotel Antares, Jalan Sisingamangaraja, Medan. Terdakwa dan kenalannya asal Malaysia tersebut akhirnya bertemu di loby hotel. Tak lama kemudian, mereka meluncur ke Kota Siantar. Sesampai di jalan Pendeta Wismar Saragih, Sonty menuju sebuah rumah dan menunjukkan tujuh orang perempuan yang menunggu di sana. Salah satunya adalah Loraida. Kedua pasangan suami-isteri itu masih sempat menasehati ketujuh wanita yang akan dipekerjakan di negaranya tersebut. Tak lama kemudian, mereka berbincang dengan Sonty untuk menyepakati pembayaran. Saat itu Malathi Alagu menyerahkan uang sebesar 600 Ringgit Malaysia kepada Sonty dengan perjanjian kekurangannya akan ditransfer melalui bank. Melihat tangkapannya sudah masuk jebakan, petugas kepolisian kemudian melakukan penggerebekan. Petugas menangkap ketiga teradakwa bersama barang bukti berupa uang kontan senilai 600 Ringgit Malaysia, sebuah Hp merek Nokia type 6070 dan sim card-nya.
Banyak Kejanggalan
Menyimak tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), kuasa hukum kelima terdakwa, Aslia Robianto Sembiring SH menyatakan, kelima kliennya sengaja dijebak dan dijadikan sasaran pemerasan oleh beberapa orang oknum polisi.
Menurut Robianto, kasus ini bermula pada 6 Januari 2008 lalu sekitar pukul 16.30 WIB. Saat itu, Loraida dimarahi orangtuanya karena menghabiskan uang sekolahnya. Dua hari berselang, wanita itu memutuskan pergi dari rumah untuk mencari pekerjaan. Akhirnyanya dia memutuskan untuk pergi ke pabrik pembuat keripik ubi di Pematang Purba, Simalungun. Ternyata di sana tidak ada lowongan pekerjaan. Sore sudah tiba, Loraida kebetulan bertemu dengan Dinar Panjaitan dan Linda Sijabat.Saat itu, saksi korban sambil menangis memohon kepada kedua wanita itu agar dia ikut bersama mereka. Melihat kondisi itu, Loraida pun dibawa ke rumahnya di Siantar. Sesampai di Sintar, tepat menuju simpang ke rumahnya, mereka bertemu dengan Sonty Sijabat, kakak kandung Linda br Sijabat. Sonty memang sengaja datang ke rumah adiknya tersebut untuk menanyakan kenapa tak datang bertahun baru ke rumahnya di Tebing Tinggi.
Setelah mendapat penjelasan kalau mereka baru saja pulang dari rumah mertuanya di Saribudolok,
Sonty kemudian menanyakan siapa wanita yang bersama mereka. Keduanya pun menceritakan soal keberadaan Loraida. Mendengar kisah Loraida yang sengaja lari dari rumah karena dipukuli bapaknya, Sonty menawarkan agar saksi korban tinggal di rumahnya untuk menjaga anak-anaknya dan ibunya yang sedang sakit. Loraida pun setuju dan akhirnya berangkat ke Tebing Tinggi bersama Sonty.
Namun pada 9 Januari 2008 malam, suami Dinar Panjaitan menjemput wanita tersebut dari rumah Sonty dan selanjutnya diserahkan ke kantor Polres Simalungun. Setiba di sana, ayah Loraida sudah menunggu. Esok harinya Loraida pulang ke kampungnya bersama orangtuanya. Pada 11 Januari 2008, Loraida kembali ke kantor Polisi. Di kantor Polisi Loraida mengaku, dia ikut dengan Linda dan Dinar untuk mencari perlindungan karena tidak ada tempat tinggal. Namun beberapa saat kemudian, Loraida dibawa oleh seorang anggota Polisi bernama Suwandi Sinaga ke salah satu rumah dengan mengendarai mobil kijang warna merah. Sesampai di rumah tersebut, dia mendapatkan enam orang perempuan yang dia tidak kenal. Dari sinilah kasus ini bermula.
Anehnya menurut Jaksa Penuntut Umum, Malathi dan Suaminya V.Sathia Moorthy tiba di Pematangsiantar pada 8 Januari 2008. Padahal, sesuai dokumen atau paspornya, kedua terdakwa baru tiba di Kota Medan pada 11 Januari 2008 pukul 8.30 WIB. Tujuan kedua terdakwa pun bukan untuk mengurus Loraida yang ingin bekerja di Malaysia, melainkan mengunjungi keluarganya yang baru saja kemalangan, Rama Moorthy, yang tinggal di Medan.
Keanehan lainnya, Kata Robianto, dalam surat tuntutannya, Jaksa menyebutkan Sonty Sijabat berserta Malathi dan suaminya V.Sathia Moorthy ditangkap di Jalan Pendeta Wismar Saragih saat melakukan transaksi atas tujuh perempuan--termasuk Loraida--untuk diperkejakan di Malaysia. Rumah yang dijadikan tempat kejadian perkara adalah rumah milik seorang oknum polisi, bukan rumah milik Sonty seperti disebutkan dalam tuntutan.
Lebih jauh dipaparkan kuasa hukum terdakwa, setelah dikembalikan kepada orangtuanya, pada 11 Januari 2008, tiba-tiba Loraida sudah berada di salah satu rumah di Jalan Pendeta Wismar Saragih. Keberadaan perempuan itu di sana setelah dibawa seorang petugas kepolisian bermarga Sinaga. Memang di sana, Loraida bertemu dengan enam perempuan lainnya yang sama sekali tak dikenalinya. Tak lama kemudian, atas petunjuk Loraida, Sonty bersama kedua warga negara asing itu datang ke rumah itu.
"Polisi sengaja menjadikan Loraida sebagai umpan untuk menjebak klien saya. Tak mungkin terdakwa (Malathi dan Sathia Moorthy,red) bisa membawa ketujuh perempuan itu karena mereka tidak punya paspor.Kalau pun dikatakan mau diurus, keduanya cuma punya waktu dua hari di Indonesia. Hal ini sesuai dengan boking tiket yang dimiliki keduanya. Lagi pula, kunjungan dua hari kedua terdakwa adalah hari libur, jadi sangat tak mungkin untuk mengurus adminitasi paspor ketujuh perempuan itu," paparnya.
Kejanggalan lain, lanjut Robianto, barang bukti berupa uang yang dijadikan polisi sebagai barang bukti adalah hasil rekayasa juga. Keberadaan uang itu bermula ketika ketiga terdakwa berada di rumah tersebut. Menyadari mereka dijebak, ketiga terdakwa tidak bisa berbuat apa-apa. Saat itu, Teddy Purba dan Surjit Saputra--keduanya petugas kepolisian--memaksa agar Sonty meminta uang kepada Sathia Moorthy. Jika uang tak diberikan, kedua pasangan suami-isteri itu tak bakal diijinkan kembali ke Medan. Mendengar ancaman itu, Sathia Moorthy pun menyerahkan uangnya sebanyak 600 Ringgit Malaysia kepada Sonty. Begitu uang berada di tangan Sonty, polisi langsung melakukan penangkapan.
"Dalam surat tuntutannya, Jaksa menyebutkan kalau saat itu Sathia Morthy sempat memfoto ketujuh perempuan yang akan diberangkatkan ke Malaysia tersebut. Tapi dalam sidang, kamera milik terdakwa tidak disita sebagai barang bukti dalam perkara ini. Dalam kasus traficking, bukti foto merupakan bukti sangat penting dalam persidangan. Lagi pula, enam perempuan lainnya yang disebut-sebut juga akan dikirim ke Malaysia tidak dapat dihadirkan dalam sidang dengan alasan sudah pindah dan alamatnya tidak diketahui. Surat keterangan dari Lurah yang menyebutkan mereka sudah pindah sangat berbeda dengan surat keterangan standar kelurahan di Pematangsiantar. Selain itu, si pemilik rumah yang dijadikan sebagai tempat kejadian perkara tak diperiksa sebagai saksi. Rumah yang disebut sebagai TKP juga tak jelas nomornya, RT atau RW. Yang dijelaskan hanya alamat rumah itu di Jalan Pendeta Wismar Saragih. Apakah memang rumah atau pasar, itu juga tak dijelaskan. Jadi patut kita duga, kasus ini sarat dengan rekayasa antara kepolisian dan kejaksaan," sebutnya.
Robianto juga memaparkan, Malathi Alagu memang bekerja sebagai agensi P&V SDN.BHD yang resmi dari pemerintah Malaysia. Tugasnya menyalurkan tenaga kerja sesui dengan prosedur resmi dari pemerintah Indonesia dan Malaysia. "Bukti soal pekerjaan Malathi juga kita lampirkan dalam sidang. Logika lainnya, tak mungkin pasangan suami-isteri itu sengaja hadir ke Siantar atau Medan hanya untuk menjemput Loraida. Tentunya dari segi biaya, jelas sangat tidak ekonomis," katanya.
Hal lainnya, lanjutnya, sesuai keterangan ayah Loraida, Jawardin Sihaloho, pada 6 Januari 2008, dirinya memang memarahi anak perempuannya karena menghabiskan uang sekolahnya dan kemudian lari dari rumah untuk mencari pekerjaan di pabrik kerupuk ubi di Pematang Purba. Setelah dicari, 9 Januari 2008, Loraida ditemukan di kantor polisi. Besoknya, pria itu membawa anaknya pulang ke kampungnya di Dusun Salbe. Namun pada 11 Januari 2008, dia kembali membawa anaknya ke kantor polisi untuk kepentingan pemeriksaan.
"Loraida juga bukan berumur lima belas tahun seperti disebutkan Jaksa dalam tuntutannya. Dia lahir 19 April 1992 sesuai dengan bukti dalam berkas perkara," katanya.
Tak Tepat Waktu
Sidang perkara kasus traficking yang melibatkan kelima orang terdakwa, memang cukup melelahkan. Penyebabnya, sejak sidang perdana digelar beberapa waktu lalu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) sering kali terlambat hadir dalam sidang. Tak tanggung-tanggung waktunya. Jadwal sidang yang seharusnya direncanakan pukul 11.00 WIB, malah molor jadi sore harinya sekitar pukul 17.00 WIB. Bahkan pekan lalu, sidang ditunda karena Majelis Hakim bosan menunggu JPU yang tak juga hadir dalam persidangan hingga sore hari.
Dalam gelar sidang Selasa pekan lalu, Ketua Majelis Hakim, AM.Siringoringo SH memerintahkan kepada JPU, Maria Magdalena Sembiring SH dan Janmaswan Sinurat SH, agar tepat waktu hadir dalam sidang selanjutnya. Jaksa Penuntut Umum berjanji akan tepat waktu seperti yang sudah disepakati yakni pukul 11.00 Wib pada tanggal 29 Juli 2008 mendatang. Sebelum sidang dibatalkan, kedua JPU sempat membujuk rayu Ketua Majelis Hakim di depan Kantor Pengadilan Negeri Pematangsiantar untuk menggelar sidang, namun ditolak. (tumanggor)

Kesaksian Sonty
Saya Dipaksa dan Diancam
Kepada localnews, Sonty Sijabat menceritakan: Pada 10 Januari 2008 lalu, saya ditangkap polisi saat berbelanja di Kota Tebing Tinggi. Saat di perjalanan menuju kantor polisi, HP saya diminta polisi. Tak lama kemudian ada pesan yang masuk ke HP saya. pesaitu berasal dari Malathi yang mengatakan kalau besoknya dia turun ke Medan. Saya bermaksud membalas SMS tersebut untuk mengatakan, tak boleh jumpa dengan saya karena saya ada masalah. Tapi polisi menyuruh saya agar membalas SMS tersebut dengan mengatakan: datanglah kak biar saya jemput. Lalu Malathi menjawab: Oke!
Besok paginya saya dipaksa Polisi untuk menjemput Malathi ke Medan. Di sepanjang perjalanan, saya diintimidasi dengan mengatakan: Kamu harus bisa menjerat Malathi, kalau tidak kamu akan susah. Kalau kamu bisa membawa Malathi ke Siantar, kamu akan tertolong. Saya selalu menangis karena saya terus diancam Polisi. Polisi kemudian menyediakan dua buah mobil, lalu saya dipaksa untuk mengatakan kepada Malathi setelah ketemu nantinya kalau mobil satu lagi saya sewa dan satu lagi sponsor untuk membuat paspor. Saya selalu menangis karena Polisi merencanakan sesuatu yang tidak benar, padahal si Malathi tidak tau apa-apa.
Di perjalanan kami masuk ke satu rumah yang tak saya kenal di Kota Medan. Di bawah ancaman, saya disuruh ganti baju dan ganti kolor. Setelah saya memakai pakaian yang disediakan Polisi, kami pergi ke Hotel Antares, Medan. Sebelum sampai di Hotel Antares, saya kembali dipaksa Surjid Syahputra dan Teddy Purba (oknum Polisi) untuk mengatakan kepada Malathi kalau mereka itu pembantu saya. Saya berhasil membawa Malathi dan suaminya ke siantar. Setelah sampai di Siantar, kami masuk ke salah satu rumah. Tiba-tiba kami melihat perempuan tujuh orang. Enam diantaranya tak saya kenal, sedangkan salah satunya adalah Loraida. Polisi Menyuruh saya meminta uang kepada Malathi dan suaminya. Saat itu saya mengatakan uang tersebut untuk membayar sewa mobil. Awalnya Malathi tidak mau memberikan uang itu karena dia bilang dia tidak punya uang.
Namun karena saya di bawah ancaman, saya memaksa Malathi memberikan uang itu untuk membayar sewa mobil. Dalam keadaan terpaksa, akhirnya Malathi menyerahkan uang sebanyak RM 600. Setelah uang itu dikeluarkan Malathi, mereka langsung buat penangkapan untuk kami dan uang itu dijadikan barang bukti. (tumanggor)

Kesaksian Malathi dan Suaminya V.Sathia Moorthy
Kami Dicoba Diperas
Bagaimana sebetulnya hubungan pasangan suami-isteri asal Malaysia ini dengan Sonty boru Sijabat? Kepada localnews, kedua wara negara tetangga ini memaparkan, awalnya mereka mengenal Sonty pada akhir Desember 2007 lalu, melalui tetangganya di Malaysia bernama Sanggeetha. Sang tetangga merupakan teman Sonty. Sebelum berangkat ke Indonesia, Malathi memang menghubungi Sonty agar menjemput mereka di Bandara Polonia.
"Kami boking tiket berangkat tanggal 11 Januari 2008 dan pulang kembali tanggal 12 Januari 2008. Saya dan suami saya tiba di Medan tanggal 11 Januari 2008 Pukul 08.30 Wib. Saya dan suami ke Indonesia untuk kunjungan keluarga ke rumah saudara kami bernama Rama Moorthy. Isterinya baru meninggal dunia. Itu bisa dibuktikan dari paspor kami," tandasnya.
Karena Sonty belum datang, pasangan suami isteri ini memutuskan berangkat ke Hotel Antares Medan dengan menyewa taxi. Dari Hotel Antares, Malathi kemudian menghubungi Sonty untuk memberitahukan posisi mereka di hotel yang berada di Jalan Sisingamangaraja, Medan tersebut. Beberapa saat kemudian Sonty datang dengan membawa mobil. Ternyata di dalam mobil ada dua orang laki-laki, masing-masing menyopiri kedua mobil jenis kijang itu. "Kami berjumpa dan berbicara di loby hotel. Saat itu saya membatalkan kunjungan ke rumah rekan saya bernama Martha di Medan karena Sonty mengajak kami berkunjung ke rumahnya di Tebing Tinggi. Namun dalam perjalanan, saya dan suami bukannya ke rumah Sonty, tetapi dibawa ke Pematangsiantar. Selama di perjalanan, saya bersama suami memang sudah curiga, tetapi karena si Sonty meyakinkan, kami mengikut begitu saja. Sesampai di salah satu rumah di Kota Siantar, saya mendapatkan di rumah tersebut ada tujuh orang perempuan yang tidak kami kenal," sebut Malathi.
Di rumah tersebut, Sonty memaksanya menyerahkan uang dengan alasannya untuk membayar sewa mobil yang mereka gunakan tadi. Saat itu saya menjawab kepada Sonty,“ Kenapa tidak di Medan saja kamu minta uangnya, di sini kan saya tidak bawa uang". Beberapa saat kemudian salah seorang dari pria yang menyopiri mobil itu mengatakan kepada wanita ini, jika uang tersebut tidak diberikan, mereka tidak akan mengantarkan pasangan itu kembali ke Medan. "Dalam keadaan terpaksa, saya pun menyerahkan uang kepada Sonty. Saat saya menyerahkan uang itu, datanglah sejumlah Polisi menangkap kami," katanya.
Di tengah perjalanan, papar Malathi, oknum Polisi tersebut meminta uang kepada dirinya. "Kita runding atau nego saja disini,” kata terdakwa menirukan ucapan si oknum polisi tadi. Lalu saya menjawab,”Kalau saya salah, bawa saja saya ke kantor polisi. Belakangan menurut pengakuan Sonty kepada saya, dia melakukan semua itu karena dipaksa dan diancam oleh oknum Polisi tersebut. Akhirnya dibawa kami ke Polres Simalungun," sebutnya. (tumanggor)

Kasus Trafficking di Sumut
Setahun sudah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) disahkan oleh Pemerintah Indonesia. Kehadiran UU ini membawa angin segar bagi aparat penegak hukum dan penggiat pendampingan korban perdagangan manusia dalam menangani kasus-kasus perdagangan manusia yang terjadi saat ini. Meskipun demikian, masih banyak pihak terutama stakeholder (pengambil keputusan) yang terkait dalam penanggulangan trafficking memiliki pemahaman terbatas tentang trafficking. Oleh mereka, trafficking masih dipahami sebatas perdagangan perempuan Indonesia untuk tujuan eksploitasi seksual atau dijadikan sebagai pekerja seks komersial (PSK). Trafficking juga juga dalam bentuk pekerja rumah tangga baik di dalam maupun di luar negeri, situasi kerja paksa, eksploitasi ekonomi, menjadikan sebagai pekerja anak jalanan, atau pengambilan dan penjualan organ tubuh yang sangat sulit dalam pengungkapan kasusnya.
Propinsi Sumatera Utara sebenarnya merupakan salah satu propinsi yang cukup terdepan dalam advokasi penanganan permasalahan trafficking. Tiga tahun sebelum disahkannya UU No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO tersebut, Pemprovsu telah mengeluarkan 2 (dua) Peraturan Daerah, yaitu Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2004 tentang Larangan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak dan Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak. Setahun kemudian, Pemerintah Propinsi Sumatera Utara mensahkan Rencana Aksi Propinsi Sumatera Utara untuk Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAP.P3A) dengan Peraturan Gubernur No. 24 Tahun 2005. Pengesahan tersebut diikuti dengan dibentuknya Gugus Tugas Propinsi sebagai Pelaksana Rencana Aksi dimaksud, yang merupakan kolaborasi dari unsur pemerintah, aparat penegak hukum, akademisi dan lembaga swadaya masyarakat.
Kendati sudah banyak upaya dilakukan oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Utara untuk memerangi aksi trafficking tersebut, namun kasus traffciking di daerah ini justru tidak mengalami penurunan yang signifikan. Walaupun diketahui peningkatan itu juga dipengaruhi letak geografis Sumut yang menyandang tiga fungsi, yaitu sebagai daerah pemasok (asal), daerah transit dan daerah tujuan sindikat perdagangan manusia di Indonesia. Dalam kenyataannya, banyak korban yang berasal dari daerah Jawa dan Nusa Tenggara yang menjadi korban atau terungkap kasusnya di Propinsi Sumatera Utara.
Pertanyaannya adalah, apakah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara tidak bertanggung jawab terhadap korban yang bukan merupakan warganya dan sejauhmana pertanggungjawaban tersebut yang tentu akan banyak berimplikasi pada persoalan yang lain misalnya dana untuk rehabilitasi dan reintegrasi korban. Misalnya kasus 14 (empat belas) korban trafficking asal Jawa Barat dan Jawa Tengah yang didampingi Pusaka Indonesia pada Februari 2008 lalu. Pusat Pelayanan Terpadu Penanganan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang berfungsi sebagai shelter tidak maksimal memberikan pelayanan kepada korban karena minimnya dukungan yang diberikan APBD. Demikian juga untuk dana reintegrasi korban ke keluarganya, tidak ada satupun instansi yang dapat menjamin pengalokasiannya karena tidak adanya cost untuk kegiatan tersebut. Kondisi ini tentu mengalami penurunan di banding Tahun Anggaran 2006 yang mengalokasikan dana bagi penanganan korban trafficking.
Dengan telah disahkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), Peraturan daerah No. 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Traffciking) Perempuan dan Anak, serta Rencana Aksi Propinsi tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAP.P3A) dan Pembentukan Gugus Tugas sebagai pelaksana RAP, tentu bukan merupakan akhir dalam menjawab kasus-kasus trafiking. Hal yang paling penting adalah komitmen untuk tetap melaksanakan isi RAP.P3A sesuai dengan tupoksi lembaganya masing-masing, serta melakukan evaluasi terus menerus terhadap kinerja yang dilakukan guna memberikan perlindungan bagi korban trafiking dan mengeliminir jatuhnya korban traffciking.
Deskripsi Temuan
Berikut dikemukakan beberapa data yang menjunjukan bahwa kasus-kasus trafficking kerap terjadi di Sumatera Utara, terhitung sejak 1 Januari – 31 Maret 2008. Dalam kurun waktu tiga bulan pertama terdapat 34 kasus trafficking. Angka-angka tersebut merupakan hasil inventaris berita (kliping) dari tiga harian yakni Sumut Pos, Analisa, dan Waspada serta kasus-kasus yang ditangani Pusaka Indonesia.
NO USIA KORBAN JUMLAH
1 01 - 03 Tahun 2
2 13 - 14 Tahun 1
3 15 - 16 Tahun 9
4 17 - 18 Tahun 4
5 19 - 20 Tahun 4
6 21 - 22 Tahun 4
7 23 - 24 Tahun 4
8 24 - 25 Tahun 2
9 25 Keatas 3
10 Tidak diketahui
Total 34
Dari 34 kasus trafficking yang terdata dapat disimpulkan, setiap bulannya rata-rata terjadi 12 kasus trafficking tiap bulannya. Dari 34 kasus tersebut, 18 diantarnya ditangani oleh Pusaka Indonesia dan sampai saat ini kasus tersebut masih ditangani oleh pihak Poldasu. Tiga tersangka sudah ditahan Poldasu diantaranya pemilik lokalisasi, supir ALS, dan satu orang yang merupakan kaki tangan yang menjemput korban dari terminal bus antarkota di Medan untuk dibawa ke lokalisasi Barak EKA di Bandar Baru. Ketiga tersangka diancam dengan UU No. 21 tahun 2007 tentang Perdagangan Manusia dengan ancaman 3 -15 tahun penjara.
Hasil investigasi Pusaka Indonesia dan proses pendataan terhadap korban diketahui, anak dan perempuan jadi korban trafficking biasanya mereka sulit keluar dari situasi yang membelenggu mereka. Hal ini karena latar belakang pendidikan yang rendah, kurangnya akses terhadap perlindungan hukum, dan keberanian untuk melawan atau lari dari jaringan yang mengeksploitasinya. Data Pusaka Indonesia menyebutkan, usia korban yang rentan menjadi korban traffciking adalah usia 15-16 tahun sebanyak 9 kasus, berikutnya usia 17 – 24 tahun masing-masing 4 kasus.
Selain itu Pusaka Indonesia juga mencatat, perdagangan bayi di triwulan pertama ini mulai menebar ancaman bagi kita semua. Dari tabel di atas dimana terlihat perdagangan bayi yang berusia 0-3 tahun telah ditemukan 2 kasus, dan ini menjadi warning bagi kita semua, mengingat kasus-kasus trafficking seperti gunung es.
NO USIA PELAKU JUMLAH
1 Dibawah 20 Tahun 1
2 21 – 25 Tahun 3
3 26 – 30 Tahun 1
4 31 – 35 Tahun 2
5 36 – 40 Tahun 5
6 46 – 50 Tahun 1
7 51 – 55 Tahun 1
8 Tidak diketahui 11
Total 25
Terdapat perbedaan jumlah korban dengan jumlah pelaku, hal ini disebabkan karena ada beberapa kasus yang pelaku satu tetapi korban lebih dari satu. Berdasarkan tabel diatas pelaku trafficking yang paling menonjol berusia 36 – 40 tahun dan paling sedikit berusia 51-55, Tidak diketahui usia juga menjadi catatan, karena kebanyakan beberapa media diatas acap kali tidak menyebutkan usia pelaku.

NO HUBUNGAN PELAKU JUMLAH
1 Calo/Agen 8
2 Teman 2
3 Teman Baru Kenal 5
4 Germo 1
5 Famili 1
6 Orang Tidak dikenal 6
7 Majikan 2
Total 25
Karesteristik traficker (pelaku) yang paling menonjol adalah para calo atau agen ditemukan 8 kasus, umumnya calo atau agen menjanjikan pekejaan dengan gaji yang cukup mengiurkan. Kasus yang menimpa 4 ABG asal Jawa Barat yang ditangani Pusaka Indonesia awalnya mereka dijanjikan bekerja menjadi Pembatu Rumah Tangga di Medan dengan gaji Dollar, tergiur dengan gaji tersebut akhirnya korban terbuai dan menjadi korban. Teman baru kenal menempati urutan kedua, modus ini dilakukan para traficker untuk membujuk korban, biasanya dilakukan dengan cara mengajak jalan-jalan, makan, setelah terjalin saling percaya maka traficker selanjutnya membujuk korban. Anehnya korban mau saja apa yang diminta oleh traficker tersebut, seolah-olah korban sudah dihipnotis.
Modus baru yang dikenal juga dengan ilmu gendam ini dengan cara seorang perempuan (calon korban) di tepuk pundaknya, diajak berjabatan tangan dan semacamnya oleh orang yang tidak di kenal, lalu korban tidak sadar dan akan menuruti perintah atau ajakan dari si pelaku gendam. Korban baru sadar dan kaget setelah dirinya berada di kompleks lokalisasi. Meskipun modus ini sulit di buktikan dan tidak ditemukan langsung siapa yang menjadi korban, tetapi menurut penuturan para nara sumber pola ini banyak merambah wilayah di Jawa Timur. (Kebijakan dan Program Penanggulangan Women and child Trafficking. Belajar dari Kasus Propinsi Jawa Timur, Bagong Suyanto, Majalah Pledoi Vol. 1 No. 1 Edisi April 2006).
NO DAERAH ASAL JUMLAH
1 Deli Serdang 1
2 Langkat 1
3 Medan 8
4 Serdang Bedagai 1
5 Simalungun/P. Siantar 1
6 Luar Pulau Sumatera 17
7 Tj. Balai 1
8 Binjai 1
9 Tebing Tinggi 1
10 Lampung 1
11 Pekan Baru 1
Total 34
Dari 34 kasus tersebut, 17 diantaranya berasal luar Pulau Sumatera, yakni Jawa Tengah, Lombok, Jawa Barat, diurutan kedua daerah asal korban berasal dari Medan. Hal ini di dasari bahwa Sumatera Utara selain pemasok korban trafiking juga merupakan daerah transit untuk tujuan ke Malaysia dan Riau, daerah ini juga mempunyai lokalisasi yang cukup mengiurkan bagi lelaki hidung belang. Ada dua lokalisasi yang terkenal di wilayah Sumatera Utara yakni Bandar Baru Deli Serdang dan Bukit Maraja Simalungun selain tempat tempat objek wisata lainnya seperti Parapat yang dikenal Danau Tobanya, Berastagi dan lainnya. Hal ini dapat dilihat dari tabel dibawah dimana lokalisasi Bandar Baru Deli Serdang Sumatera Utara menjadi urutan pertama tujuan traficker untuk menjual para korban trafficking.
NO DAERAH TUJUAN JUMLAH
1 Bukit Maraja / Simalungun 3
2 Bandar Baru /Deli Serdang 14
3 Pekan Baru/Dumai/Riau/Kepri 4
4 Batam 1
5 Malaysia 11
6 Tidak diketahui 1
Total 34
Tujuan akhir korban yang paling dominan dalam kurun tiga bulan terakhir adalah menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK). Dari kasus yang ditangani Pusaka di triwulan pertama ini 14 orang menjadi PSK dan 4 orang yang belum diketahui tujuan akhirnya, karena sebelum sempat berangkat ke Malaysia pihak Poldasu terlebih dahulu mengamankan 4 orang ABG asal Lombok dan Jawa Barat
NO TUJUAN AKHIR JUMLAH
1 PSK 23
2 Pembantu Rumah Tangga 4
3 Perdagangan Bayi / Penculikan anak 2
4 Organ Tubuh -
5 Tidak diketahui 5
Total 34
Kesimpulan dan Rekomendasi
Untuk menanggulangi kasus-kasus trafiking tidak hanya diserahkan kepada pemerintah saja, betapapun telah tersedia sejumlah peraturan perundang-undangan dan kebijakan lokal jika tidak diimplementasikan dengan baik, maka jiwa dan tujuan dibentuknya suatu peraturan tentu tidak akan tercapai. Peran masyarakat sangat dibutuhkan, baik secara kelembagaan maupun perseorangan.Orang tua, guru, tokoh agama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, harus bahu membahu menyadarkan para pihak yang berpotensi terjadinya tindak pidana trafiking.
Dari catatan triwulan pertama diatas perlu dilakukan segera dalam upaya penanganan terhadap korban-korban trafficking diantaranya :
1. Setiap korban trafficking tanpa memandang asal usul kedaerahannya harus diberikan perlindungan dan penanganan yang baik, sehingga korban dapat kembali ke masyarakat, termasuk memberikan jaminan perlindungan dari ancaman pelaku trafficking yang mungkin mengancam keselamatan korban.
2. Upaya penegakan hukum dan penuntutan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap pelaku trafiking, perlu diimbangi dengan memberikan dukungan terhadap para korban trafficking, terutama dalam mencari bukti, perlindungan saksi untuk kebutuhan sidang di Pengadilan.
3. Adanya komitmen dari masing-masing stakeholders yang terlibat dalam Gugus Tugas Propinsi Sumatera Utara untuk mengimplementasikan RAP.P3A yang telah disusun secara bersama, sesuai dengan tupoksinya masing-masing.
4. Perlunya membangun jaringan dan mengembangkan peran dari berbagai stakeholders dalam rangka kerjasama antar Propinsi baik dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi korban, tetapi juga dalam hal pemutusan jaringan trafiking antar Propinsi. (***)

Gallery

Gallery